Wednesday 11 January 2017

Kebetulan yang Tidak Murni Kebetulan

Sebab tidak pernah ada yang namanya kebetulan, Coincidence dalam bahasa Inggris dan Guan Feng dalam bahasa Mandarin (yang terakhir ini saya diajari oleh Xin Chen, pribumi Cina sana yang dengan isengnya belajar gamelan di ISI Surakarta; saya tidak mencari tahu lebih jauh pelafalannya).

Awalnya saya mau menuliskan judul Ibu dan Anak-Perempuan-dan-Langit-Malam. Dengan pembuka tulisan: “Siapa anaknya? Ya jelas saya dong. Maaf mengecewakan harapan Anda bahwa ‘akhirnya siput ri berkembangbiak’ sebab saya tidak berminat beranak biologis demi tidak menambah populasi manusia di Planet Bumi”. Namun, tampak terlalu dramatis. Selain itu, baru saja terjadi apa yang sering diekspresikan sebagai: “ishhh, pas banget!”

Mari disusun secara kronologis.

Kemarin malam, saya mendadak merasa mendapat serbuan halusinasi audio, seolah ada suara Kanjeng Mami manggil “Nak”. Saya kaget, tetapi lebih tepatnya khawatir blio hendak minta tolong. Ternyata, dengan saya keluar kamar – bahkan keluar rumah dan bertengger di lorong kecil dapur Warung Nasi menu Padang garapan Babe Aing, saya bisa melihat langit malam yang sedemikian indah. Terharu dong, gue.. Tepatnya terharu karena akhirnya ada halusinasi yang berguna. Terakhir saya mengalaminya, tepatnya kali pertama, itu tidak ada faedahnya sama sekali. Dan sebenarnya, dokter saya lah yang mengistilahkannya. Mungkin dia lelah. Alaaakh.. Mungkin dia khawatir saya naik status. Sebagai tambahan informasi, halusinasi dibagi menjadi audio bila berupa suara dan visual bila berupa wujud. Kalau audio visual? Itu televisi namanya.

Saya langsung teringat pada keilmuan hibrida, maaf – istilah benarnya keilmuan lintas disiplin. Apakah itu? Fotografi Astronomi. Sebelumnya, saya teringat kembali keinginan menghadiahi diri sendiri yang tidak kunjung kesampaian: Teleskop. Mahils ajaaaaa!

Malam ini, langit kembali cerah. Dan bahkan lebih bagus, bagus pakek banget, daripada semalam. Saya menikmati sebisa saya. Merekam dalam ingatan. Berharap akan ada rejeki-anak-soleh dan mendadak ada yang menghadiahi teleskop.

Apa korelasi ulasan tiga paragraf di atas dengan “kebetulan”?

Kebetulan ada ibu-ibu pengunjung yang iseng banget ngobrolnya, dan malesin. Jadi dia ngotot bahwa saya harusnya mencari jodoh duluan, ketika saya menjawab “cari uang lah Bu”. Kenapa malesin? Usut punya usut, dia yang ribet ngasuh cucu, si anaknya yang – kebetulan perempuan – akhirnya menikah dan berkembangbiak dan tidak lagi bekerja tapi ya sudahlah perempuan ini. Mudah ditebak bahwa dia penganut konstruksi anak perempuan pengangguran tidak berfaedah kecuali dia menikah; atau tepatnya semua manusia harus menikah. Sebentar, mungkin saya salah tangkap dengan keluhan dia. Siapa suruh dia ganggu duluan. Kelanjutannya adalah, saya laporan ke Kanjeng Mami, bahwa anak blio si ibu iseng yang dia bahas dengan tidak kalah iseng, adalah teman sekolah si adik: lupa saya, teman di SD atau di SMP. “yekhaliiiik adik gua inget ama anak lu” dan Kanjeng Mami merespon dengan cengiran yang kalau diterjemahkan kira-kira “kok kamu persis mama banget”. Maka kebetulan yang sesungguhnya adalah, Kanjeng Mami dan Babe Aing sudah lumayan insyaf dari konstruksi komunal kecuali: kamu mana duitnya sini buat bayar operasional rumah dan warung. Walaupun tidak benar-benar seperti itu, setidaknya saya senang bahwa saya dan mereka telah agak sepaham. Maaf ya ibu iseng, Anda belum beruntung. Kali lain, cobalah di warung sebelah. Mungkin anda akan menemukan lawan bicara yang tidak kritis seperti saya. Oh memang, saya memang sombong kok walau masih suka malas mandi.

Pesan moralnya: isenglah dengan berfaedah – kalau perlu seriusilah, dan, kurangilah iseng yang ganggu.

Kebetulan selanjutnya adalah saat si teman amuba (demikian saya menyebutnya), merespon pilihan lagu saya ‘Tentang Seseorang oleh Anda Bunga’ dengan “… da aq mah apa atuh, kecoa apa fungsinya”. Saya langsung teringat si Sahabat Terbuncis, yang takut kecoak dan yang hendak menikah. Jadi saya bertanya padanya, kapankah sebenarnya jadwalnya. Saya sungguh-sungguh ingin hadir, demi mengingat perjalanan pertemanan di antara kami sejak, kata si Buncis “… tahun 2005 tepatnya caturwulan tiga”. Sekadar informasi yang menurut boros saya penting tetapi tidak berfaedah, saya tidak hobi memenuhi undangan jenis pernikahan, yaitu jenis kegiatan pertemuan ramah-tamah duniawi di mana saya tidak yakin akan menemukan manfaat spesifik. Selang beberapa menit kemudian, ada kecoa seliweran dekat bantal. Sebagai kebetulan tambahan, perlu diketahui bahwa saat tulisan ini baru dimulai, akhirnya blio, si kecoa, sukses kabur memerdekakan diri. Mungkin blio khawatir diajak ngobrol oleh saya.

Kebetulan terakhir adalah, saya tidak menemukan kebetulan lain lagi dan tulisan ini perlu segera diakhiri sebelum keluar dari jalurnya. Sebagai tambahan, rujukan penjelasan Kebetulan yang Tidak Murni Kebetulan mungkin akan dapat Anda temui dari gagasan Mestakung – Semesta Mendukung – oleh prof. Yohannes Surya, buku The Alchemist (walau yang saya baca versi Bahasa Indonesianya) oleh Paulo Kwelyu (ternyata si tulisan Coelho ini kabarnya adalah bahasa Brazil – atau Amerika Latin? – dan dilafalkan Kwelyu), danMisteri Soliter oleh Josten Gardner.

Mungkin saya salah ingatan dan Anda tak menemukan apa yang diharapkan. Namun, yakinlah bahwa Veronika Memutuskan Mati oleh Paulo Coelho dapat terjadi pada siapa saja yang, beruntung, memiliki kemewahan waktu untuk berpikir. Kira-kira, Betrand Russel bilang, “ … people would rather die than think”. Ngapain mikir sih, buat hidup susah aja.

Kamar di Rumah, 11 Januari 2017.

Labels: ,

Sunday 8 January 2017

Menyelamati Diri Sendiri

Tersebab terlalu banyak orang menyelamati, mengucapkan selamat, pada orang lain.

Tahun 2016 berlalu dengan banyak hal, salah satunya isi mpostink cumak 1. Salah duanya, saya sudah wisuda. Salah tiganya, jiwa saya pulang: utuh; sebenar-benar pulang, semakin menelusuri ke dalam. Perjalanan hidup memang senantiasa ke depan, tetapi spion memang ada untuk dipakai melihat sejenak ke belakang. Apa? Kiwin? Hell to the O, hellll-o. Ada banyak pencapaian dalam hidup keleus. Hambokyaaaa situ pertanyaannya kreatip dikit.

Oh iya, saya berkemajuan walau sedikit. Punyak cerpen dua bidji dimuat di Radar Cirebon. Bah! Pemalas keterlaluan! Gak latian nyerpen, gak nge(go)blog.

Tahun 2017 telah berjalan seminggu. Sementara itu, si adik sematawayang sedang memenuhi apa yang saya namakan "Ph.D before 30". Selama tiga tahun ke depan, dia akan bertengger jauhan dikit dari rumah. Namun, jika dia mau, saya tentu bersedia membantu proyek Buat-Buku-trepeling dia. Jadi, saya berniat mengatur plot hidup saya 3 tahun ke depan. Ada beberapa, jelas:

1) Freiburg. Itu jelas. Di antaranya ada Thailand, Perancis, dan Inggris. Dan mungkin bisa disensus lagi.
2) Melipir keluar negara Cirebon. Macam-macam. Ada Sigli, kabupaten Pidie dan setotal Aceh; termasuk musieum dan Titik Nol. Si adik sud melipir ke Titik Nol saat PKL. PKL gitu istilahnya? Ada kota Padang, Plembang, Lampung, Lombok? Flores sih. Bali. Kendari. Tidore. Apalagi yak?
3) Butir pertama dan kedua adalah karena ada tujuan korespondensi, yang bermakna: ada yang dikenal untuk ditanya. Bisa disederhanakan sebagai: teman. Oh, di Heresford adanya sepupu setengah bule. Jadi, kedua butiran esalah butir di atas, dieksekusinya sambil direncanakan sepenuh jiwaraga.
4) 2018 perlu membuat Buku Puisi jilid II, merayakan sewindu sejak pertama. Tentunya dengan momentum tersendiri. Materinya ada memang? Entah pun. Tambahan, jika anda mengira puisi adalah semacam syahdu-syahdu amsyong macam Rangga dalam AADC pleus menghilang 13 purnama setelah pamitan di Bandara, plis ini mah plis banget. Anda perlu piknik bacaan jauhan dikit.
5) Lhoh, tiba-tiba butir kelima. Terakhir deh. Agar lima pasal, saingan dengan Pancasila: ada lima. Menggelar lapak kupi, sejenis Kedai Kopi semi pribadi. Sebab ini cita-cita munculnya bersaing sehat dengan gagasan membuat Kantor dengan WaiFi, area merokok, dapur kupi mini dan bar mini, pleus perpustakaan.

Meskipun demikian, alllaaaakh resmi sekali, saya jugak sangat kepingin ngicipi sekolah di luar negara. Agar empirisme, maksudnya mengalami sendiri. Bisa naik jenjang atau tuker tambah gelar. Termasuk keurseus-keurseus musim panas gitu kan. Summer course. Pleus jadi rektor? Ishhh, 3 tahun sih manada. Yoweslah itu cita-cita edisi lain saja.

Apakah kesemuanya itu penanda rakus? Tidak jugak. Saya hanya sedang menantang diri sendiri. Termasuk dengan tetap rutin mengisi mBlog saya ini, dan berhenti berdalih: "aduh tampilan mBlog eikeu nista syalalaa..". Katanya lebih piteng fungsi dan isi, daripada bungkus. Bijimana dah ah.

Daripada keburu melantur, saya sudahi dulu postink di sini. Sebagai penanda, "si Blogger bernama Putri Sarinande is back!", si gueh yang hidupnya, alhamdulillah wasyukurilah wasudahlah, senantiasa punyak cita-cita.

Minggu, jelang absurditas jam 3 pagi.
8 Januari 2017.
~ Kamar Tertjinta ~

Labels: