Monday 14 June 2021

Tentang Dia yang Ketakutan

(hari empat belas #IbadahMenulis sepanjang Juni 2021)


Dia hanya merespons dengan tawa. Sementara langit di luar memperlihatkan semburat merah berapi menuju oranye… ah entahlah, aku tidak buta warna tetapi aku tidak paham ini warna apa saja.

Tiba-tiba dering ponsel berbunyi. Miliknya.

“Ssstttt. Laki gue. Diem dulu.”

Dia bangkit dari duduknya, ke arah sudut luar tempat ini, di dekat beberapa pot bunga.

Kembali kulihat langit.

Hanya dalam hitungan detik, perubahan sensasi warna yang kulihat memberi semacam sensasi rasa bergejolak di hati.

Pertanyaan yang pernah muncul sekitar sebelas dua belas tahun silam kembali seliweran di benak.

Bila memang perempuan lebih banyak yang masuk neraka, kenapa tercipta segala.

Seiring kemunculan pertanyaan ini, langit berubah warna.

Sisa terang perlahan menggelap. Dan terus menggelap.

Kunyalakan sebatang rokok, sebagai penghalau gelisah.

Kuhembuskan perlahan sisa asapnya, seraya ekor mataku mencoba menangkap hadirnya.

Celetukan lain muncul pula di benak.

Ya kalau ngga ada perempuan itu manusia bagaimana cara bisa berkembang biak.

Kali ini aku menyesap rokok sambil senyum-senyum geli sendiri.

Sementara dia masih terlihat berjibaku dengan panggilan telepon di dekat para pot bunga.

Betapa ajaib. Manusia.

Demikian aku piknik, sejak dalam pikiran.

Akhirnya, selesai sudah dua batang rokok dan tandas sudah isi minuman. Kulihat dia, sepertinya sudah dengan sambungan teleponnya.

Tergesa-gesa dia kembali ke meja kami.

“Bingung. Malah mengadu dia, ke orang tuanya. Pakai mengancam segala, katanya, kalau aku masih banyak tingkah, dia akan bilang ke Mama.”

Dia mengucapkan itu dengan perlahan, sambil memperlihatkan ekspresi wajah entah. Entah percampuran emosi apa ini, pikirku penasaran.

“Terus, gimana?” tanyaku singkat saja.

“Mami bisa kumat lah darah tingginya. Kan tahu sendiri, Mami gimana.” balasnya ketus.

Tentu saja aku paham. Aku mengenal Mami seperti aku mengenal Ibuku sendiri, seperti ibu kedua saja itu.

Walau dalam beberapa hal, kukira aku beruntung bahwa aku tidak dilahirkan menjadi anak beliau.

“Andai Mami kayak Mama.” lanjutnya.

Mami adalah ibunya, Mama adalah ibuku. Kami berbagi ibu, demi mengingat bahwa kami sudah berteman sejak di jenjang bangku sekolah dasar.

“Ya ngga gitu juga, Djoebaedah.” sahutku sambil menyeringai.

“Terus aku gimana ini?” tanyanya, lagi.

“Ya ngga gimana, dong. Kamu maunya gimana?” balasku dengan tanya.

“Aku sudah ngga ada kesanggupan lagi untuk tinggal bersamanya. Janji suci yang penuh cinta kala itu sudah pudar. Perlahan tapi pasti.”

“Dan kamu ingin ngapain, jadinya?” ujarku merespons celotehnya.

“Ingin lepas darinya, tapi bingung. Apa kata dunia, istri dosen kok menggugat cerai?”

Kali ini dia menyelesaikan ucapannya sambil meraih bungkus rokok milikku.

“Ini mau ngapain ini?” seruku sambil menarik tangannya yang sudah menggenggam si bungkus rokok.

“Lepas, ngga? Atau kamu mau aku nangis histeris di sini?” balasnya. Kulihat ekspresi penuh tekad di sorot matanya.

“Hm. Jangan bilang kalau ngga ada yang ngingetin lho, ya?” ujarku seraya melepaskan genggamanku atas tangannya.

“Nyalain. Masih ngga bisa sampai sekarang.”

Dia menyodorkan sebatang rokok yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya, dengan gestur seperti adegan ‘slow motion’ di film-flm.

Kunyalakan, kusesap sekali, kusodorkan padanya.

“Nih.”

Dia menyesap dengan kesungguhan, seperti terasa nikmat sekali.

“Kalau gini, jadi terlihat pro. Bukan kaleng-kaleng.”

Aku menyeringai saat usai mengucapkan pujian tadi padanya.

“Diyaaaaaaaaam.” ujarnya sambil merajuk.

Dilanjutkannya ucapannya itu.

“Aku harus menyusun daftar pro dan kontra, daftar kekurangan dan kelebihan, juga daftar keuntungan dan kerugian. Seperti yang kamu bilang tadi…”

Ucapannya terputus karena dia agak tersedak si asap rokok yang disesapnya sendiri.

“Kapan? Bilang apa?” sahutku sambil mengambil bungkus Ztrepzil di saku baju. Kutaruh di area mejanya.

Yang ditawari diam bergeming saja, sombong.

Kebetulan yang bukan kebetulan, aku sengaja membawa si Ztrepzil pereda nyeri tenggorokan, karena aku tahu aku akan bertemu dengan seseorang yang sudah kukenal kebiasaannya. Kebiasaannya saat sudah lelah menangis dan meratapi hidup, lalu bila bertemu denganku, pasti berkeinginan untuk merampas sebatang dua rokok yang kupunya, yang kemudian tujuannya adalah agar bisa disesap penuh gaya.

Sialan juga sih ini, stigma perokok stres stiga perokok adalah orang yang stres atau minimal sedang stres, jadi semakin melekat.

Sebelum-sebelumnya pun, sudah pernah ada kejadian ini. Kalau sedang asyik, caranya menyesap, dia bisa lanjut ke batang rokok kedua. Setelah berjeda beberapa menit.

Kalau sedang tidak asyik. Kalau tidak sedang asyik.

“Nih, ah. Terusin. Kalau ngga, matiin yaaaaaa.”

Kuraih bekasnya yang masih tersisa sekitar setengan batang.

“Tahu, ngga? Ngantuk sangat ini. Mau pulang jam berapa? Mau diantar, sekalian?”

Sambil bilang begitu, kali ini, aku menguap sangat luas. Lebar.

Seperti baru kena bius saja ini rasanya.

Eh. Hiperbola.

Seperti baru habis minum obat warungan, yang bersifat ‘dapat menyebabkan kantuk’.

“Engga lah, situ ngantuk gitu.” jawabnya.

“iya juga, yah. Bentar, telepon si Fahmi ah.”

Aku nyeletuk sekenanya.

Namun, alih-alih menelepon, aku hanya mengetik pesan ke nomornya Fahmi di WhatzUpp.

Sepintas terlihat, dia sibuk tak tik tuk, entah mengetik apa.

“Konsen. Fahmi sudah dikontak? Ini sedang buat daftar… ya gitu lah pokoknya.”

Ucapannya mengalihkan pandanganku, dari ke arah layar ponsel jadi berganti ke arahnya.

Dia mengucapkan itu tanpa melihat ke arahku, sama sekali.

“Kalau takut, kenapa. Kalau mau, kenapa. Kalau bingung, kenapa. Kalau … apa saja ucapannya yang selama ini menyakitkan, yang selama ini buat si janji suci cinta sia-sia belaka.” lanjutnya, masih tanpa menoleh ke arahku.

“Marah, tapi takut.”

Kini, lirih terdengar. Suaranya.

Aku kembali konsentrasi, untuk mengontak si Fahmi.

Dan aku, semakin mengantuk saja ini rasanya.

Sedangkan dia?

Tak kuperhatikan kelanjutannya.

Rasa kantuk ini sungguh menyengat.

Sumpah. Ngantuk banget.



(neto: 915 kata)

Provinsi Bigot Jawa Barat,

14 Juni 2021

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home