Tuesday 15 June 2021

Tentang Bertanggung Jawab

(hari lima belas #IbadahMenulis di sepanjang Juni)

 

“Malam ini, ngga boleh ada penghalang lagi.” celetukan tak terduga muncul dari bibirnya yang barusan kulumat, sebab bibirku sudah berpindah kesibukan.

Sambil mengatakan itu, dia menarik tanganku yang hendak meraih pengaman; alias kondom.

“Lho kok gitu?” ujarku setengah linglung.

Terasa ada yang hilang semangat di bawah sana.

“Iya dong, karena aku pengen hamil. Aku harus hamil. Suami istri macam apa, kok pakai kondom.” sahutnya.

Semakin hilang, semangat yang tadi tegak berdiri.

Perlahan, kugeser tubuhku menjauh dari tubuhnya.

Sepertinya dia pun kehilangan hasrat juga.

Bersama-sama, kami saling membungkus tubuh bugil kami masing-masing, untuk kemudian bergeser perlahan seolah tak terjadi apa-apa. Sudah seperti pasangan mesum saja ini, yang tertangkap tangan sedang melakukan.

Dia pergi meninggalkan kamar.

Kalau bukan mau menangis di ruang kerjaku, sepertinya dia mau mabuk sendirian di dapur.

“Jangan habiskan Cognac aku.” seruku setengah tertahan.

Bertepatan dengan celetukanku, dia menoleh sambil melempar tatapan wajah kesal.

Kuraih ponsel. Kucari lagu, entah apa pun.

Secara acak, ketemu. Jadilah, kuklik “putar” di lagu itu.

Sepertinya aku sangat kenal lagu ini.

 

“Aku ingin terbang tinggi.
Seperti elang.
Melewati siang-malam.
Menembus awan.”

Jemari tanganku mengetuk-ngetuk paha, mengikuti irama.

“Ini tanganku untuk kau genggam.
Ini tubuhku untuk kau peluk.
Ini bibirku untuk kau cium.
Tapi tak bisa kau miliki aku.”

Tiba-tiba dia kembali datang membawa segelas minuman.

“Nih. Cognac.”

Kumatikan lagu tadi.

Kugenggam tangannya, kuajak dia ke ruang kerjaku.

Ya, agar bisa merokok sih.

Ini kan masih di kamar.

Dalam sekian menit obrolan yang dimonopoli olehnya, aku mulai mengerti. Kenapa.

“Kita kan sama-sama sepakat.”

Aku menyela monopoli pembicaraan darinya, memberi jeda untuk menyesap Cognac dan mematikan puntung rokok, lalu melanjutkan.

“Lagian, maksudnya tidak bertanggung jawab,”

Lagi, kuberi jeda pada ucapanku. Kali ini kutatap matanya, berharap dia mengerti cintaku.

“maksudnya laki-laki tidak bertanggung jawab, itu apa? Apa aku menghamilimu sebelum kita menikah? Apa aku meninggalkanmu setelah kita saling menemui orang tua masing-masing? Apa sekarang ini, aku tidak pernah menafkahimu?”

Dia terlihat sibuk berpikir. Entah mulai setengah mabuk. Kulihat botol Cognac milikku sudah berkurang banyak.

“Aku disebut mandul, katanya karena kita sudah berapa tahun menikah, tidak kunjung punya anak. Terus nanti kamu mau cari istri lagi, biar bisa punya anak.” ucapnya lirih.

Aku spontan menahan ekspresi ingin tertawa, tetapi apa daya wajahku sudah seperti yang ingin ketawa.

“Lho, harusnya kamu bilang saja, lhah wong aku kok yang mandul. Malah, harusnya aku yang takut, kalau kamu cari suami baru atau suami tambahan. Harusnya aku, yang takut, kalau kamu sampai poliandri.”

Kukatakan itu semua, masih sambil menahan senyuman.

“Gitu ya? Kok ngga kepikiran.”

Dia merengut manja.

“Kan kita sudah komitmen sejak awal, bahwa kita tidak akan punya anak. Adopsi juga tidak perlu.”

Kali ini kukatakan itu, sambil menaruh gelas di meja, dan merengkuhnya ke dalam pelukan.

Kuajak dia melanjutkan yang tadi tertunda.

 

Provinsi Bigot Jawa Barat,

15 Juni 2021

 

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home