Friday 18 June 2021

Obrolan Cangkir Kopi

(hari tujuh belas #IbadahMenulis di sepanjang Juni)


--- Episode Satu ---


“Sini…” seruku sambil melambaikan sebelah tangan.

“... woooi… uiiii.” lanjutku masih sambil melambaikan si tangan yang sama.

Ah, dia malah celingukan tidak melihat lambaian tanganku.

Kuhentikan usahaku untuk memanggilnya.

Jadi, kuperhatikan saja si sesosok yang sedari tadi jadi arah dan tujuan lambaian tanganku.

Mungkin perpaduan bising suasana dan iringan suara musik akustikan meredam seruanku, yang sebenarnya tidak terlalu lepas. Malu, lah.

Wabah masih belum usai, tetapi kedai kopi rasa kafe ini sudah mulai didatangi pengunjung.

Oh, iya. Ini kan hari Jumat.

Pantas saja.

“NGGA BILANG.” serbu sebuah suara.

Giliranku yang celingukan sejenak.

Rupanya dia sudah menemukanku, saat aku sibuk mengobrol dengan diri sendiri.

“Ngga bilang gimana?” tanyaku bingung.

“DI BULUKUMBA HOUSE. KIRAIN DI DEKAT KANTOR.” jawabnya dengan suara cukup tinggi.

“Kantor siapa?” tanyaku lagi.

“KANTORMU LAH. MANA ADA TEMPAT NGOPI DEKAT KANTORKU.” balasnya masih dengan suara penuh seruan.

“Oh. Sori, bos.”

Kami akhirnya mulai melebur bersama suasana, dan tentu saja kedua hidangan kopi sesuai pesanan masing-masing.

“Ngga usah protes nyuruh-nyuruh minumnya ngga pakai gula.” selanya sambil melirik sinis padaku.

Aku yang hendak menyalakan rokok menghentikan gerakanku, hanya untuk tertawa setengah menertawakannya.

“Yah,,, elaaaah.” Demikian responsku.

Obral-obrol kami yang beda kantor tetapi setipe di jenis pekerjaan beredar topik ke sana dan kemari.

Tentu saja ditemani rokok.

Apalah artinya hidup ini bila ngopi tanpa udud.

Luar biasa. Bisa didamprat menteri kesehatan ini, kelakuan kami ini.

Obrolan semakin seru, sebab kami mulai saling membongkar aib sambil berghibah dan tak lupa menghujat.

Aku, bagian yang menghujat.

Keseruan semakin syahdu, hingga akhirnya, ketika kopi jatahku sisa beberapa seruput lagi, “Hah? Ngapain? Anda disuruh kawin?”

Spontan aku menghembuskan asap rokok ke depan wajahnya.

Dia segera mengibaskan tangan, menghalau asap.

Perbuatan yang sia-sia.

“Ngga tahu juga. Lagi mikir aja. Kan asyik tuh, nanti dapat tunjangan istri.” jawabnya santai.

Gantian dia yang mengepulkan asap rokoknya ke wajahku, saat aku masih bengong.

“Hmmmm, itu kan buat istrinya. Si tunjangan. Bukan buat Anda, hey.” sahutku setelah sebelumnya, juga melakukan perbuatan sia-sia. Mengusir si asap.

“Kan daripada uangnya balik lagi, ngga keterima pegawai?” balasnya dengan nada bertanya.

“Tapi nih ya, pernah dengar ada tunjangan suami?”

Gantian aku yang merespons dengan nada bertanya.

“Iya juga ya. Berarti, kamu nikah ngga nikah, ngga ngaruh. Beda dengan saya.” ujarnya sambil menyalakan rokok, lalu menyodorinya padaku.

“Nih, lanjut dulu. Agar ngga bego.” katanya tenang tanpa dosa.

Kuterima rokok hasil bakarannya.

Saat dia menyalakan sebatang lagi buat dirinya sendiri, aku mengeluarkan celetukan iseng.

“Sungguh tidak berkeadilan gender. Kenapa ya, kok sampai setua bangka ini, belum pernah dengar belum pernah tahu, ada itu tunjangan suami.”

Dia menatapku dengan wajah penasaran.

“Iya juga ya, kok saya baru kepikiran sekarang.” katanya sambil memicingkan mata.

 

--- bersambung ---

 

Provinsi Bigot Jawa Barat,

(saat Injury Time) 17 Juni, 2021

Labels: , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home