Wednesday 21 February 2007

HARGA BERAS NAIK HARGA HANDPHONE TURUN?

Sebenernya tidak ada yang salah dengan menjadi sendirian. Selain karena bosan, saya kebetulan lagi memiliki buku asik untuk dibaca. Dan ternyata teman-teman saya pun sibuk dengan dunianya masing-masing. Jadi saya dan teman-teman saya sendiri-sendiri dan sibuk masing-masing.
Tapi gara-gara sendirian maka saya yang ceroboh menjatuhkan handphone tua saya. Lalu saya jadi sedikit menerawang sambil mengusap-usap si handphone tua, merangkai-rangkai cita-cita saya yang sederhana yaitu pengen punya handphone berkamera dengan resolusi lumayan dan harga hemat. Dan demi mengingat handphone tua saya itu saya beli 4 tahun silam dengan harga sejuta rupiah lebih, saya sakit hati melihat di daftar harga handphone yang saya baca di koran bahwa harga si handphone tua yang saya miliki sekarang ini hanya sekitar enam ratus ribu rupiah saja, apalagi kalau yang bekas dan apalagi kalau yang batangan (dijual tanpa kotak dan surat-surat, umumnya terjadi pada handphone curian). Memang orang sering bilang kalau mau beli handphone lebih baik nunggu beberapa bulan samapi harga kira-kira turun dan kecenderungan itu berlaku bagi pada banyak macam benda elektronik selain handphone. Tapi kalau mau jadi orang pertama yang pakai itu tipe handphone, maka sebaiknya membeli segera dengan resiko harganya pasti seamit-amit.
Lain dengan harga beras yang akhirnya naik (lagi). Seperti yang dibahas dua orang ibu di sebuah rumah makan sederhana di suatu sudut di Jatinagor, tempat saya akhirnya makan karena lapar tetapi ingin mengirit. Kenapa dibilang irit? Biasanya saya sebagai anak yang indekost sering beli makan di luar. Kalau lagi ingin makan enak dan nyaman, kadang butuh biaya banyak. Tapi kadang beli makan di warung makan sederhana gitu gengsi juga. Padahal enak lho. Dan murah juga. Rasa enak kebersihan dan kenyamanan pun lumayan. Ini bukan semata promosi.
Seorang ibu berperawakan gemuk berteriak memanggil si mbak jualan. ”Mbak aku makan sini wae ya. Males masak.” Sambil berkata begitu si ibu gemuk mulai mengambil sendiri nasi dan lauk pauknya.
Si mbak jualan keluar dari pintu dapur yang juga berfungsi sebagai tempat dia tinggal. Ketika si ibu gemuk berkata dengan harga nasi sepaket di piring itu ingin nambah bonus baso, si mbak langsung bilang ”Punten aja mbak, itu harga nasi aja udah saya bonusin. Harga beras sekarang naik.”
Dan si bu gemuk mulai makan tanpa banyak bertanya. Ketika melihat saya yang juga makan sendirian di situ, kami saling tersenyum. Lalu ia mulai mengajak saya bercakap-cakap.
”Repot ya neng sekarang sih. Harga beras yang tadinya enam ribu eh jadi enam ribu limaratus. Sekalinya harga beras naik, harga lain pasti ikutan pada naik. Saya sih gemuk udah bakat badannya gini, bukan karena doyan makan.” Saya tersenyum dan ikut berkomentar bahwa mungkin ibu saya di rumah pun sedang mengalami kepusingan yang sama.
Si mbak jualan ikut menambahkan ”Iya neng, saya kan ngerantau dari Jawa. Harga beras naik lha harga pupuk juga naik. Harga naik begini jadi berkurang deh kiriman buat anak-anak saya di kampung. Soalnya saya ndak bisa langsung naikin harga tiba-tiba. Kalau ada anak yang beli nasi seribu, walau berat saya layanin juga daripada dia engga makan kan kasihan. Dulu saya jualan bisa 2 kali masak, pagi masak dan siang habis langsung masak lagi. Sekarang sih boro-boro. Entah ini apa karena harga beras naik semua naik dan jualan makan begini jadi sepi.”
Sunyi menyerbu. Kami kembali diam dan berkutat dengan diri masing-masing. Si mbak balik lagi ke dalam, mau mencuci katanya. Si ibu gemuk kembali asik menikmati makan dalam piringnya. Dan saya ikut diam dan meneruskan makan sambil berpikir. Berpikir juga sedikit tentang kemnungkinan jenis beras yang harganya enam ribu rupiah itu dan sekarang naik jadi enam ribu rupiah, sekilo-nya tentu saja.
Berarti si mbak jualan nasi itu baik hati juga mau memikirkan kepentingan para anak indekost seperti saya. Untuk para mahasiswa rantau yang ketika harga beras naik tetapi uang sakunya tidak naik karena gaji orangtuanya pun tidak naik. Atau mungkin memang irit makan, karena uangnya ingin dipakai untuk beli handphone? Ah, tapi itu bukan saya.
Kalau begini siapa yang salah? Petani karena tidak mau menjual berasnya dengan harga yang lebih murah? Buktinya banyak petani miskin. Kalau gitu para penjual handphone? Lha, memang mereka apanya yang salah? Lha wong mereka jualan handphone juga biar bisa dapat uang untuk makan. Kalau gitu yang beli handphone? Ini lebih bodoh lagi. Kenapa mereka disalahkan? Karena bisa membeli handphone? Ya suka-suka mereka dong mau menghabiskan uangnya untuk membeli handphone atau beras.
Ya sudah, tidak ada yang salah berarti. Lebih baik membeli handphone daripada beras kalau begitu. Tapi kalau tidak ada beras tidak bisa makan. Budaya orang Indonesia, seperti tante saya, yaitu walau sudah makan mie ayam semangkuk dan roti setangkup besar tapi kalau belum ada nasi masuk mulut berarti belum makan. Padahal badan tante saya kecil mungil. Atau tidak bisa makan karena tidak bisa membeli beras dan lauk pauknya? Jual saja handphone-nya. Apa yang mau dijual, sudah tidak punya apa-apa lagi kok.
Baiklah. Saya usulkan bagaimana kalau kita menjadi pedagang handphone dan pedagang beras sekaligus. Terus siapa yang mau jadi petani dan siapa yang mau membeli handphone dan beras? Sulit memang.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home