Monday 1 June 2020

Patahnya Mantra Hujan Di Bulan Juni



#MenulisDiBulanJuni #HariPertama


Terima kasih, pemanasan global. Terima kasih, perkembangan peradaban manusia.


Begitulah, yang terpikirkan; ketika hendak memulai aktivitas "kurang kerjaan" ini: pemanasan global dan populasi manusia yang, masih cukup banyak sepertinya. Aktivitas kurang kerjaan berupa menulis sehari sekali selama sebulan penuh layaknya sedang ibadah puasa bulanan merek sebelahnya sebelah. Saya namakan saja, Ibadah Menulis.


Sejak belasan tahun silam, sekitar suatu tanggal di tahun 2007, kala pertama kalinya saya berkenalan dengan bacaan bertipe puisi, saya terkadang penasaran. Mengapa ada kegiatan yang dinamakan "deklamasi". Hingga detik ini, saya tak pernah menyukai kegiatan berisik macam membaca bersuara; alias "read aloud". Namun, ya sudahlah. Sepertinya, itu termasuk bagian dari selera.


Bagaimana nasibnya ini, judul tulisan ini?


Entah kapan persisnya, sekitar beberapa tahun silam, saya merasa menemukan jawaban bahwa: ya, terbukti adanya pasal dalam Systemic Functional Linguistics bahwa teks tak dapat hadir tanpa konteks. Kurang lebih demikian, isi salah satu dari lima pasal itu. Saya malas memeriksanya di buku teks panduan kuliah Functional Grammar satu itu.


Konteks, adalah bagian kala teks tersebut dihadirkan. Tak hanya teks, rupanya, bahkan lukisan bunga matahari Vincent van Gogh pun mengikuti apa yang disebut sebagai konteks itu tadi.


Perubahan iklim global membangun perubahan pada puisi legendaris Hujan Bulan Juni, sedangkan perkembangan genetika makhluk hidup membangun perubahan pada lukisan bunga matahari karya seniman tragis Vincent van Gogh. Mungkin demikian, saling silang terkaitnya. Atau, anggap saja: cucoklogi.


Bicara perubahan iklim global, saat tulisan ini dibuat, momen masa wabah zombie korona 2019 masih sedang berlangsung; semoga lekas usai, vaksin ditemukan, wabah bisa berhenti maksimal, dan dunia kembali riuh gegap-gempita oleh kerumunan manusia di sejumlah titik. Karena wabah zombie korona 2019 ini, lalu lintas internet dengan tarif biaya yang sama rupanya menjadi sibuk; saya menyebutnya macet yang tak kalah dengan jalanan Jakarta kala jam pergi dan jam pulang kantor dan sekolahan. Cukup menyebalkan, bagi saya yang sudah lama terbiasa bekerja via internet. Pekerjaan yang dapat menghemat biaya perekrut agar tak perlu mempekerjakan saya secara tetap dengan gaji bulanan dan tunjangan; misalnya menulis, mengalihbahasakan, mengedit, mengoreksi, dan sejenisnya.


Saya sebenarnya tak terlalu "kesambet" dengan sang puisi legendaris ini, tetapi justru karena mantranya telah patah saya jadi sedih. Hujan di bulan Juni, sungguh jauh dari mustahil. Ini saja, saat saya menuliskan ini, hujan deras sekian puluh menit silam sudah mereda menjadi gerimis gemas. Syukurlah, sebuah tulisan di media daring telah mengulasnya dengan lebih rapi tinimbang celotehan saya ini.


Silakan baca saja selengkapnya di tulisan tahun 2013 ini: Hujan Bulan Juni di rubrik Sains miliknya Kompas daring.


Sekalian cucoklogi, deh. Perubahan iklim global yang terpantau akibat patahnya mantra Hujan Di Bulan Juni sepertinya pernah jadi bahan "bacotan" kaum environmentalis-ala-ala (demikian saya menyebutnya). Zombie Korona 2019 hadir sebagai bagian dari upaya (planet) Bumi untuk memulihkan diri.


Bah! Omong kosong. Enak ngoceh seperti itu, bila Anda bukan bagian dari data statistika yang terdampak berat, yang sah secara de-facto dan de-jure kenak zombie-korona, pun yang sakses meninggal akibat sang virus.


Di sisi lain, manusia yang diistilahkan dalam bahasa sebelahnya sebelah sebagai "social animals" memang sepertinya cukup sukar diajak untuk saling berjaga jarak fisik; udahlaaaaaah ruang gerak manusia sebenarnya semakin menyempit hingga mengganggu "rumah" makhluk-makhluk hidup lainnya yang non-manusia. Setidaknya, demikianlah yang terlihat dari halaman parkir emoL tetangga yang telah kembali dipenuhi kendaraan atau sejumlah kabar-bising di media so(k)sial. Terserah bagaimana baiknya, tetapi seperti kata Kanjeng Mami: saya sih jangan.


Saya memang tak terlalu gemar berkerumun dengan banyak manusia. Namun, ketika mengalami langsung situasi yang lengang karena para warga sekitar (sungguh membahagiakan) menuruti anjuran resmi untuk memaksimalkan diam pada porosnya dan mengurangi berkeliaran bila tiada ada faedahnya, ngerik jugaaaaaaa yhaaaaaaaa. Seperti perpaduan latar suasana di film atau serial genre horor dan/atau perang. Mereka yang mengalami peristiwa ke-"ngeri"-an politik, merasakan suasana lengang yang mencekam. Benar, orang tua saya bilaaaaang: iyagitudeeeeeeh, semiripan, ngerik-ngerik sedep.


Omong-omong niiiiiih. Gerimis gemas, kembali menjadi gerimis deras. Sepertinya, saya cukupkan dulu sampai di sini.


Lanjut hari-hari berikutnya. Sekalian menghidupkan kembali Lemari Arsip di BlogSpot ini.



Putri Sarinande,

Senin, 1 Juni 2020


NB: Selamat tanggal lahir, Pancasila! Semoga negara ini semakin menjadi lebih baik, dan berkurang dari bacot yang lagaknya cem dia bisa Brain Drain saja "sibuk" prihatin dengan negeri ini dan isinya, lengkap dengan jajaran pengurusnya. Kritik singkong, kritik pisang, kritik nangka: enak. Julyd sih, ndak enak.


NB.NB: Dalam bahasa Indonesia, yang dipakai itu NB, alih-alih "PS". Kalau "Pi eS", itu sih di bahasa Inggris. Ini penting. Bahasa Indonesia masih belepotan, tetapi lagak macam betul saja bisa Brain Drain. Kalau gak tau Brain Drain, broseng geh sana~~~

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home