Friday 18 June 2021

Obrolan Cangkir Kopi bagian-kedua

(hari delapan belas #IbadahMenulis di sepanjang Juni)


[sebelumnya]

“Sungguh tidak berkeadilan gender. Kenapa ya, kok sampai setua bangka ini, belum pernah dengar belum pernah tahu, ada itu tunjangan suami.”

Dia menatapku dengan wajah penasaran.

“Iya juga ya, kok saya baru kepikiran sekarang.” katanya sambil memicingkan mata.

 

[episode dua]

 

“Ya kamu kan, …” sahutku sambil menghentikan tiba-tiba celetukan yang tadi sudah di ujung tanduk. Eh, di ujung mulut maksudnya.

“Saya apa? Saya kenapa?” tanyanya sambil masih memicingkan mata.

“Kenapa sih? Curigaan gitu?” balasku mengalihkan ucapanku yang tadi berjeda.

Hmmm. Kalau dapat tunjangan suami? Coba ubah dulu materi undang-undang yg menyebut kepala, imam, pemimpin keluarga adalah suami menjadi ke istri. Nah turunan-turunannyanya akan menyesuaikan.”

Kuperhatikan arah telunjuknya. Rupanya dia melanjutkan ucapannya seraya mengarahkan telunjuknya persis ke arahku.

“Oke, Rahma For Caleg 2024, maju, cepetan. Jalur independen.”

Selepas mengatakan itu, dia tertawa sendiri.

“WOE. Ngga gitu juga.” bantahku.

“Terus?” tanyanya dengan ekspresi mengejek.

“Ngga gitu konsepnya.”

Sambil gantian aku yang memicingkan mata, kuraih sebatang rokok lain lagi untuk dinyalakan. Dia hanya diam melihat ke arahku.

“Jadi gini..” lanjutku sambil menghembuskan secercah asap ilahiah.

“Apaan tuh ‘jadi gini’ sudah kayak nama grup gitu.” selanya masih dengan ekspresi mengejek.

“Kopi kita mulai habis nih. Satu lagi yuks, barengan. Yang berwarna aja.”

Selepas mengatakan itu, kuselesaikan urusan administrasi sambil memesan satu kopi berwarna.

Aku kembali ke tempatku tadi menaruh pantat. Sambil menunggu kopi berwarna patungan kami datang, aku bersiap untuk meneruskan yang tadi.

“Secara keterangan resmi itu, bunyinya ‘tunjangan suami garis miring istri’. Nah, berarti, sebenarnya, ada dong. Ngga ada urusan sama imam dan kepala keluarga. Atau mokondo sekalipun.”

“Apaan tuh mokondo?” selanya spontan.

“Modal…” Kuberi jeda lalu kuarahkan telunjukku ke, arah dia tetapi ke sebelah bawah.

“... itu doang.” lanjutku.

“OH. INI GUE?” serunya sambil menunjuk ke pengkuannya.

“Modal kontol doang. Oke, paham. Terus?”

Sejenak aku nyengir.

“Jadi, si tunjangan itu, diberikan ke salah satu, yang gaji pokoknya, lebih tinggi. Ya, itu sih, penjelasan untuk PNS. Ngga tahu saya, kalau pegawai swasta urusannya kayak mana. Atau, misalnya, apakah persoalan suami istri satu kantor. Tapikaaaan, ada larangan memacari orang satu kantor, karenaaaaaa…”

Kutahan ucapanku untuk menyesap asap suplai nikotin.

“... ya nanti jadi dramaaaa, kalaaaau kenapa-kenapa.”

Kulihat dia seperti sedang mengkalkulasi ucapanku.

“Oh. Berarti…”

Kali ini dia yang berjeda. Setelah selesai menambah lagi rokok untuk dinikmati, dia lanjut lagi.

“... kalau, si suami adalah bapak rumah tangga, ya kayak ibu rumah tangga gitu, lalu si istri yang bekerjanya, yang ngantor gitu-gitu, ada itu tunjangan suami?”

Kembali, giliranku yang terpukau, untuk mengkalkulasi ucapannya.

“Nah, kan. Yang begini nih. Menambah persoalan hidup yang tidak perlu.”

Sambil mengeryitkan muka, kulanjutkan bagianku sambil setengah muntah kata-kata.

“Jadi tuh kan gini ya, ibu rumah tangga biasanya dianggap pengangguran karena ya, tidak bekerja yang menghasilkan uang. Padahal kalau dipikir-pikir, bersih-bersih kost saja itu sudah pekerjaan berat. Cuci baju, mungkin? Lah terus? Itu bukan pekerjaan? Lah terus? Kan pada bikin anak, nih? Yang hamil siapa? Ya si istri lah, ngga si suami. Nah, itu… kan jadinya perlu ada… ada apa yah? Di mana ada laki-laki sudi menyebut dirinya bapak rumah tangga?”

Kututup celotehku dengan nada bertanya.

“Jadi, sebenarnya, tunjangan suami ini ada atau ngga? Kalau ada, nikah gih sana, kan asyik tuh, dapat tunjangan suami.”

Demikian dia merespons celotehku.

“Lhah gua mao nikah sama siapa deh?”


--- bersambung ---


Provinsi Bigot Jawa Barat,

18 Juni, 2021

Labels: , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home