Thursday 10 June 2021

Cerita Tentang Ketakutan

(hari sepuluh #IbadahMenulis sepanjang Juni 2021)



“Di sorga ada naga, ya? Jadi, di sorga nanti kita berperang melawan naga?”

Aku hanya bisa bengong beberapa saat.

Ini dia maksudnya apa, deh. Kirim pertanyaan seperti ini.

Bukannya apa.

Terakhir setahuku, dia baru bisa memberanikan diri untuk pergi dari rumahnya, rumah suaminya tepatnya, dan tinggal di rumah orang tuanya.

Sialnya, di rumah orang tua pun dia seperti tertolak.

Segala kisah kesengsaraannya bersama si suami, mental begitu saja, di hadapan ibunya.

Menurut ibunya, apa pun yang terjadi, dia harus menurut pada suami.

Tolong diberi garis bawah di bagian tadi: apa pun yang terjadi.

Akhirnya kuputuskan untuk membalas kiriman pesannya itu dengan candaan saja.

“Wah. Kita, nih? Lumayan deh, pakai kata kita.”

Tak lama berselang, muncul stiker berupa tawa dari nomor WhatzUpp dia.

Kulihat penampakan ‘sedang mengetik’ di nomornya itu.

“Kasihan banget ya gue, sudah menderita saat hidup, kok saat mati nanti masih harus perang melawan naga.”

Giliranku yang tersenyum lebar.

“Ya gitu sih. Baru mau kubilang begitu. Tapi ngga tega.”

Demikian balasan pesanku padanya.

Tidak ada balasan lagi darinya, sampai keesokan paginya ada pesan suara masuk.

Hanya suara tangis tersedu tertahan, tersengguk, ter-entahlah. Kulihat jam saat pesan suara itu masuk.

Hadeeeh. Absurditas jam tiga pagi.

Spontan terlintas di benak, saat kulihat angka 03.45 tertera di pesan suara tersebut.

Gilak. Bisa dikira suara setan itu, jam segitu.

Eh. Sebentar. Ateis macam apa ini, kok takut setan segala.

Terkutuklah kalian film-film horor.

“HEEEY. Kamu kenapa?”

Sambil terus sibuk mengoceh dengan diri sendiri di kepala, kubalas begitu saja, dia. Selang tiga puluhan menit kemudian, muncul balasan pesannya. Panjang sekali. Tepatnya, terdengar lama dan membingungkan.

Sebab, pesannya berupa rekaman suara.

“Katanya aku murtad. Sudah berani baca-baca injil, ngga lagi baca-baca quran. Katanya nanti aku bakalan dipisah dari anakku kalau aku berani minta pisah ke dia. Dia bilang pasti menang kalau aku berani nantang duluan. Kata dia aku ibu tidak ada tanggung jawab, menelantarkan anak dan suami, fokus hanya ke kuliah saja. Yang coba-coba jualin jualan teman juga dibahas. Terobesi sama kuliah buat aku jadi latah cari-cari nafkah padahal dia selalu kasih biaya bulanan. Aku …”

Belum selesai kudengar, sudah ada lagi pesan suara lain.

Kali ini singkat saja.

“Aku pasti kalah. Anakku pasti dipisah dariku. Ngga bisa. Aku ngga mau cerai. Nanti anakku gimana?”

Bingung aku dibuatnya, oleh balasan pesan sepanjang ini. Pesan yang tadi belum selesai kudengar itu lho, celotehnya yang terdengar frustrasi.

Belum juga aku berhasil sekadarnya merespons, pesan lain darinya sudah muncul.

“Ibuku juga bilang aku tidak tahu diuntung. Tidak tahu diri. Lagian kan aku ngga pernah digebugin sama dia. Jadi tidak ada alasan buatku untuk minta pisah darinya.”

Segera kubalas dia, dengan pesan suara juga.

“Ya ngga ngerti, maumu bagaimana jadi? Kan kamu yang menjalani. Tapinya, ada kok persoalan kekerasan verbal. Kalau mau, itu juga.”

Sore itu juga, kami akhirnya bertemu. Di sebuah restoran dekat area rumah orang tuanya.

“Kamu ngga mau ngetawain aku, gitu?” demikian sapanya saat kami akhirnya bertemu.

“Lha, ngapain?” balasku tak kalah konyol.

“Ngapain ya dulu, aku nikah segala.” celetukan itu segera disambung oleh ucapan lain yang berhamburan di antara sela tawanya sendiri. “LHAH IYA, KAN KEBURU HAMIL YAK. HAHAHAHA LUPA SAYA.”

“Si bego.” balasku, masih sekenanya.

Kami menikmati jus buah dan beberapa macam kudapan sambil bertukar cerita. Tepatnya, dia yang sibuk bercerita.

“Terus ini gimana ini?” tanyanya.

“Ya, gimana? Mau dibantuin cari pengacara? Memang punya duit?” tanyaku balik.

“Ngga sopan.” sergahnya sambil melirik manja.

“Tadi malam itu, takut banget sih. Walau buatnya tidak sengaja, tapi ya aku sayang banget lah sama anakku ini.” lanjutnya.

“Terus bagaimana maunya? Sudah kenal sejak SD kan bukan berarti aku berhak ikut campur urusanmu.” sahutku.

“Ya jangan ikut campur, dong. Pinjami saja aku duit untuk biaya mengurus perceraian.”

“LHAH.” seruku tanpa ragu.

Dia hanya merespons dengan tawa. Sementara langit di luar memperlihatkan semburat merah berapi menuju oranye… ah entahlah, aku tidak buta warna tetapi aku tidak paham ini warna apa saja.

Tiba-tiba dering ponsel berbunyi. Miliknya.

“Ssstttt. Laki gue. Diem dulu.”

Dia bangkit dari duduknya, ke arah sudut luar tempat ini, di dekat beberapa pot bunga.

Kembali kulihat langit.

Hanya dalam hitungan detik, perubahan sensasi warna yang kulihat memberi semacam sensasi rasa bergejolak di hati.

Pertanyaan yang pernah muncul sekitar sebelas dua belas tahun silam kembali seliweran di benak.

Bila memang perempuan lebih banyak yang masuk neraka, kenapa tercipta segala.

Seiring kemunculan pertanyaan ini, langit berubah warna.

Sisa terang perlahan menggelap. Dan terus menggelap.

Kunyalakan sebatang rokok, sebagai penghalau gelisah.

Kuhembuskan perlahan sisa asapnya, seraya ekor mataku mencoba menangkap hadirnya.

Celetukan lain muncul pula di benak.

Ya kalau ngga ada perempuan itu manusia bagaimana cara bisa berkembang biak.

Kali ini aku menyesap rokok sambil senyum-senyum geli sendiri.

Sementara dia masih terlihat berjibaku dengan panggilan telepon di dekat para pot bunga.

Betapa ajaib. Manusia.



(neto: 830 kata)

Provinsi Bigot Jawa Barat,

10 Juni 2021

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home