Tuesday 2 June 2020

Dia yang Memandangi Bulan

#MenulisSelamaBulanJuni #HariKedua

#fiksi ~ #cerita

. . .

milik pribadi ~ campursari Ave Satan dan Sailor Moon
. . .


[Bagian Sini]


Konon, takdir adalah suatu keniscayaan yang mutlak. Walau demikian, ada pula yang bilang kalau manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Aku memilih yang terakhir. Aku memilih untuk menentukan takdirku sendiri.

Konon, purnama adalah suatu keniscayaan yang mutlak. Walau demikian, ada pula yang mengandaikan purnama dengan pelbagai cara dan cerita. Aku memilih yang pertama. Aku memilih untuk meyakini bahwa purnama adalah suatu keniscayaan yang mutlak.

Mungkin takdir yang mempertemukanku dengannya di antara siraman pendar purnama. Mungkin aku sendiri yang menciptakan takdir itu. Mungkin aku, adalah orang yang menciptakan pertemuanku sendiri denganmu. Mungkin. Yang tersisa hanyalah sejumlah kemungkinan. Selain, beberapa pengandaian.

Andai kami tak pernah saling mencari purnama.

"Aneh, ya. Kenapa purnama adanya di tengah bulan?" tanyanya dengan ekspresi wajah dramatis. Dramatis kagetnya. Sepertinya dia cocok untuk bermain teater.

"Lho. Mana saya tauuuuuk." balasku sekenanya.

"Jangan-jangan karena..." sahutnya lagi seraya menghela napas yang membuat penasaran.

"Kamu mau berubah jadi vampir?" tanyaku sambil mencoba meniru gayanya.

"Kamu kriuk sekali seperti krupuk..." sahutnya seraya menoleh dan, lagi-lagi, memperlihatkan ekspresinya yang entah keberapa. Sungguh dia cocok untuk bermain teater.

Percakapan kami yang biasanya tak pernah lebih dari tujuh menit, sudah tak pernah terjadi lagi beberapa bulan terakhir ini. Akibat adanya wabah zombie korona yang belum kunjung usai, aku berhenti dari jadwalku menikmati kopi sambil bercengkerama di beberapa kedai kopi langgananku. Jadwalku itu biasanya dua minggu sekali, kadang pula semiggu sekali. Di salah satu kedai kopi sekitaran stasiun, adalah untuk pertama kalinya siraman pendar purnama menyiramku dengan pendar berlian.

Dia yang duduk tenang, menyeruput kopinya sendirian. Terlihat sesekali dia berkutat dengan ponselnya. Sempat pula kulihat dia pergi ke luar ruangan dan menengadah menatap langit malam. Kemudian dia kembali ke dalam, lalu sibuk menggoreskan pulpennya di sesuatu yang seperti terlihat seperti buku catatan. Jangan-jangan, buku catatan utang.

Aku beranjak dari kursiku dan ke luar dari ruangan. Kuintip langit malam. Purnama. Pendarnya sangat memesona. Pantas ada yang menyebut perempuan cantik bagaikan purnama; indah dengan pendarnya nan membuat hati diliputi gelombang ketenangan yang aneh. Padahal, permukaan bulan kan penuh bopeng.

Percakapan kami tak pernah lebih dari tujuh menit sebab jam-jam selanjutnya tak dapat disebut sebagai percakapan. Perkenalan yang kulakukan dengan nekat, berakhir dengan cukup baik. Diskusi, debat, bonus ngotot, berbagi cerita bodoh, disambi perampokan rokok, dan sesekali pemaksaan pembayaran tagihan minum kopi. Sebenarnya ini menarik. Aku merasa, seperti manusia.


[Bagian Sana]


Konon, takdir adalah suatu keniscayaan yang mutlak. Walau demikian, ada pula yang bilang kalau manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Dia memilih yang terakhir. Dia memilih untuk menentukan takdirnya sendiri.

Konon, purnama adalah suatu keniscayaan yang mutlak. Walau demikian, ada pula yang mengandaikan purnama dengan pelbagai cara dan cerita. Dia memilih yang pertama. Dia memilih untuk meyakini bahwa purnama adalah suatu keniscayaan yang mutlak.

Mungkin takdir yang mempertemukannya denganku di antara siraman pendar purnama. Mungkin dia adalah orang yang menciptakan takdir itu. Atau mungkin aku, yang menciptakan takdirku untuknya menciptakan takdirnya. Mungkin dia adalah orang yang menciptakan takdirnya denganku. Atau mungkin aku yang terus mengharapkan pertemuanku dengannya. Yang tersisa hanyalah sejumlah kemungkinan dan beberapa atau, serta sekumpulan pengandaian.

Andai kami tak pernah saling mencari purnama.

"Purnama itu, ada kata benda dan ada kata sifat. Aneh, ya? Lebih aneh lagi, kenapa tanggal satu nggak dimulai dari saat purnama ya?" tanyaku dengan ekspresi wajah dramatis. Dramatis kagetnya. Seharusnya aku ini cocok untuk bermain teater.

"Lho. Mana saya tauuuuuk. Memangnya saya ini kamus?" balasnya setengah bertanya sambil lalu.

Aku menghela napas sambil berharap dapat membuatnya penasaran.

"Kamu mau berubah jadi vampir?" tanyanya sambil mencoba meniru gayaku.

"Kamu kriuk sekali seperti krupuk..." sahutku seraya menoleh dan, lagi-lagi, memperlihatkan ekspresiku untuk membuatnya penasaran. Sungguh aku yakin aku ini cocok untuk bermain teater.

Percakapan kami yang biasanya tak pernah lebih dari tujuh menit, sudah tak pernah terjadi lagi beberapa bulan terakhir ini. Akibat adanya wabah zombie korona yang belum kunjung usai, aku berhenti dari jadwalku menikmati kopi sambil menikmati hiruk pikuk lalu lalang manusia di beberapa kedai kopi terdekat. Jadwalku itu biasanya bulan sekali, kadang pula sebulan dua kali tergantung keadaan dompetku. Di salah satu kedai kopi sekitaran stasiun, adalah untuk pertama kalinya siraman pendar purnama menyiram kedai kopi yang kusinggahi dengan pendar berlian.

Aku mencoba duduk tenang dalam gelisah, menyeruput kopi sendirian. Sesekali aku berkutat dengan ponsel, untuk memastikan bahwa keberadaanku tetap jauh dari jangkauan. Kala itu, aku ke luar ruangan dan menengadah menatap langit malam. Kemudian kembali ke dalam, lalu sibuk menggoreskan pulpen di buku BLOCKNOTE spiral lusuh. Mencatat segala utang, baik uang maupun non uang baik pada sejumlah nama dan pada diriku sendiri.

Kulihat dia beranjak dari kursinya dan ke luar dari ruangan. Sepertinya, dia pun mengintip langit malam. Memang memesona, setiap purnama tiba. Pendarnya mampu membius. Pantas ada yang menyebut perempuan cantik bagaikan purnama; indah dengan pendarnya. Padahal, permukaan bulan kan penuh bopeng. Pendar purnama benarlah sungguh membius, kerap membuat hati ini diliputi gelombang ketenangan yang aneh.

Percakapan kami tak pernah lebih dari tujuh menit sebab jam-jam selanjutnya sudah tak kusebut lagi sebagai percakapan. Dia menyapaku seperti seseorang menyapa anak baru di sekolah baru. Kuterima perkenalannya. Diskusi, debat, bonus ngotot, berbagi cerita bodoh, disambi subsidi silang rokok, dan sesekali pemaksaan pembayaran tagihan minum kopi. Sebenarnya ini menarik. Aku merasa, aku ingin menjadi manusia.

. . .



*bersambung, kalau #pendongeng ndak lupa~~~


Sudut Ingatanmu, 02-06-2020

Labels: , ,

2 Comments:

Blogger bobo said...

Di wajahmu kulihat bulan

6/03/2020 1:36 pm  
Blogger duniaputri said...

hahahahahhaa, bopeng doooooong. bulan kan bopeng~~~

6/03/2020 11:25 pm  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home