Saturday 19 June 2021

Obrolan Cangkir Kopi bagian-ketiga

(hari sembilan belas #IbadahMenulis di sepanjang Juni)


[sebelumnya]

“Jadi, sebenarnya, tunjangan suami ini ada atau ngga? Kalau ada, nikah gih sana, kan asyik tuh, dapat tunjangan suami.”

Demikian dia merespons celotehku.

“Lhah gua mao nikah sama siapa deh?”


[episode tiga]

“Ya, sama siapa kek gitu? Cari yang kaya. Nanti, kalau banyak uang, kan saya bisa gampang minta tolong.” jawabnya santai.

“Iya juga yah.” kurespons dia sambil manggut-manggut linglung.

Sebentar. Ada yang salah ini. Demikian pikirku.

“Ini ada yang salah ini.” Akhirnya kukatakan juga itu.

“Hah? Apanya? Memang kenapa kalau cari suami kaya? Ya, saya ngga kaya kan, jadi, saya mungkin bagusnya cari istri kaya. Lah tapi kan itu dia, ini juga rumit kayaknya ini. Di mana ada perempuan yang mau menikahi laki-laki yang di bawahnya dia. Salah itu, yang pada protes ke para perempuan, kalau mereka terlalu kaya terlalu pintar terlalu mampu berdaya, jadi ngga ada laki-laki yang mau. Lah ngapain coba, buat merekanya?”

Aku hanya menyimak dia yang sibuk berbicara tanpa jeda.

Saat dia melihatku setengah bengong, dijentikkannya jarinya untuk memanggilku ke alam kesadaran.

“Bengong? Kenapa? Keren ya, pemikiran saya? Laki-laki berkeadilan gender dong, saya.”

Tak tahan lagi aku untuk merusak rasa kagumnya pada dirinya sendiri, walau apa yang dia katakan sebenarnya sama dengan yang selama ini biasa kupikirkan.

“Ini kenapa kopi berwarna kita belum muncul?”

Setelah berkata begitu, kutinggalkan dia yang melempar helaian tisu ke arahku.

Aku harus menanyakan nasib si kopi berwarna. Nganggur banget ini, sedang terlanjur enak.

Halakh.

Enak mengobrol maksudnya.

“Kan. Bener kan.”

Aku kembali menaruh pantat di kursiku semula, dan menyambar rokok yang baru saja dia nyalakan.

“LUPA. Bebas banget ini kelakuan.” lanjutku sambil mengepulkan asap ke arahnya. Kali ini, tidak tepat sekali menyerbu ke wajahnya. Bisa ngamuk dia nanti.

“KEBIASAAN ORANG BARU MULAI DIRAMPAS.”

Kan, dia sudah mulai murka.

“HAHAHA.”

Aku hanya tertawa.

“Oke, kembali lagi. Nanti si kopi pelangi apa itu warna-warni, nanti juga dia datang sendiri. Pesen apaan sih? Kopi ganja?”

Dia kembali nyerocos, mungkin karena aku tertawa saat dia marah. Padahal kan, ya memang tidak terlalu sopan itu, apa yang barusan kulakukan.

Sebelum kujawab, aku masih menyisakan senyum lebar.

“Apa itu tadi nama kopinya.”

“Sudahlah, ngga penting itu. Nah, kembali lagi. Apa tadi? Yang kaya? Kan jadi ngga perlu pusing memikirkan tunjangan. Betul?”

Masih kusisakan senyum lebar, sebelum merespons.

“Iya juga yah. Nyari di mana, nih. Yang model begitu?”

Kini dia yang tersenyum lebar, sebelum merespons.

“Nah. Kan? Apa kataku. Belum lagi, harus yang seiman.”

“Seagama maksudmu?” selaku.

“Iya, gitu itu. Sesuai instruksi Pak Wakil Presiden kita di suatu ulasan berita.” lanjutnya sambil menguap.

“Sebenarnya dia bilang gitu, untuk kalian-kalian yang…”

Kuhentikan ucapanku. Segera dia melanjutkan ucapanku.

“... yang, betuuuul. Kenapa beliau tidak membahas persoalan pernikahan kontrak, misalnya, pernikahan di bawah umur. Atau apa begitu?”

Aku terpana mendengarnya.

“Cakep gitu, itu omongan?”

“Kenapa? Kagum? Yuk, kita nikah saja yuk?”

Kami spontan tertawa lepas bareng akibat ucapannya itu.


--- bersambung ---


Provinsi Bigot Jawa Barat,

19 Juni, 2021

Labels: , , , ,

1 Comments:

Blogger Nordeen Abdellah said...

Masih ada yang pakai blogspot ya.

6/20/2021 5:59 pm  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home