Wednesday 9 June 2021

Malam Ini Rumputnya Kehujanan

=== epilog Malam Merumput ===

(hari sembilan #IbadahMenulis sepanjang Juni 2021)

 

“Ada yang jatuh, tetapi bukan hujan.” gumam sesosok pengunjung di sudut kafe.

Terdengar olehku, lagi, saat membawakan asbak baru yang masih kosong. Dan masih bersih, tentu saja.

Kebetulan yang bukan kebetulan, hujan memang sudah mulai hadir. Walau, masih sebatas gerimis.

Memang dampak pemanasan global ini nyata adanya. Hujan di bulan Juni kini tak lagi mustahil.

Masih ada yang belum beranjak dari romantisme masa lalu?

Selamat, yha~

Si pengunjung yang tadi bergumam, menengadah, kemudian telapak tangan kanannya bergerak menyambut tetesan gerimis.

“… literasi pakai nasi, bonus basa-basi…” gumam-gumam yang pernah dikatakan pengunjung ini terngiang kembali di telingaku.

Sungguh membuat penasaran. Aku mencoba tersenyum, walau sebenarnya menahan tawa, walau hasilnya hanya bagaikan tersenyum pada dinding yang diam bergeming.

Ya jelas saja.

Pengunjung itu terlihat sedemikian khusyuk termenung.

Seolah dunia di sekitarnya menghilang.

Aku beringsut, hingga akhirnya mendamparkan diri di pojok kafe tempat biasa para kru, staf, pun handai taulan bertengger. Semacam beskem orang dalam. Halakh.

Apa yang dilamunkannya, entahlah.

Aku jadi asyik memantau.

Diam-diam, kulihat ada seseorang yang datang mengendap-endap dari arah belakang.

Apakah itu pacarnya?

Kulihat mereka berdua, tampak asyik bercengkerama.

Asyik yah, punya teman.

Pikiranku sendiri melayang bersama hembusan asap rokok yang menemaniku ngaso. Rehat, meluruskan kaki.

Di luar sana gerimis yang tadi terasa malu-malu mulai berubah menjadi hujan. Tidak deras, tetapi cukup membuat basah bagi siapa saja yang bersikeras menerjang.

Kumatikan rokok yang memang sudah mendekat puntung ini, karena perlahan kafe tempatku bekerja mulai didatangi pengunjung-pengunjung lain.

Suasana live-music akustikan turut memeriahkan suasana, sekaligus menghangatkan hawa sejuk menjurus dingin berkat sang hujan.

Kulihat si pengisi acara musik, rupanya orang baru. Mungkin teman bos yang lain lagi.

Waktu berlalu bagai angin sepoi manja seiring aku bekerja.

Tidak terlalu penuh tetapi tidak terlalu kosong. Lumayan lah.

Demikian pikirku.

Sampai suara telepon menyela rehat sejenak, yang untuk kesekian kalinya.

“Si Bapak jadi mau nikah lagi, lho. Barusan si Tante itu datang ke rumah, berbasa-basi.”

Ucapan di seberang sana menghalau sensasi riuh-rendah yang menenangkan di kafe.

Ngapain sih, ini kakek tua bangka pakai nikah lagi segala. Sialan betul. Hobi kok koleksi istri.

Kesal. Aku sungguh kesal.

Telepon yang hanya sekian menit sudah berlalu. Bertepatan dengan ini, kulihat si pengunjung unik tadi seperti mencari pelayan. Kepalanya kulihat menoleh ke sana dan kemari.

“Ya, bagaimana.” sapaku padanya. Kali ini aku pasang senyuman luas di wajahku.

Dia terlihat bingung. Entah karena kehadiranku yang terasa tiba-tiba baginya atau karena senyumanku yang aneh.

“Saya…” ujaranya tertahan.

Sudah sendirian dia sekarang.

“Fries mix ini, apa ya?” tanya meluncur dari wajahnya yang sudah tak lagi terlihat bingung.

Karena pesanan kudapan darinya telah membuka ruang dialog di antara kami, aku kini duduk semeja dengannya.

Tentu karena dia yang menawariku terlebih dahulu.

“Kamu, tomboy banget ya.” selanya basa-basi.

Aku hanya tersenyum lebar.

Obrolan kami mengalir dari seputaran kopi, kudapan, hingga tentang kafe ini. Sampai akhirnya dia bertanya, “Menurutmu, kenapa orang-orang sibuk sekali akibat Besok Senin?”

Terperangah aku, sebelum menjawab, “Wah, kurang paham saya. Di sini libur kan soalnya setiap Senin. Jadi, saya justru sangat senang. Bagi saya, malam ini adalah malam Minggu.”

“Gitu ya?” balasnya.

Kembali obrolan ke sana kemari mengalir, karena di sini sudah semakin sepi. Sudah lebih banyak yang pulang.

“Duh, ini sudah mau tutup ya?” tanyanya datar.

“Iya sih. Tapi ngga apa-apa kok. Tenang saja. Biasanya kalau bos ada, ya si bos yang mulai menghalau pengunjung. Kami yang bekerja di sini sudah dapat instruksi bahwa jam tutup kami bisa molor sejam dua dari jam tutup aslinya. Selama ini sih, belum pernah ada yang melebihi dua jam batas maksimal dari jam tutup.”

Penjelasanku membuatnya manggut-manggut.

“Boleh tanya, ngga? Kebetulan, sedang bingung banget ini. Mungkin, saya bisa dapat pencerahan sedikit?” tanyaku memberanikan diri.

“Boleh, boleh.” balasnya sambil meggerak-gerakkan alisnya.

“Misalnya orang tua kita, menikah lagi, sebagai anak, saya harus bagaimana ya?”

“Wah, rumit ini.” balasnya segera. “Bisa-bisa ngga jadi tutup ini tempat.” lanjutnya sambil tersenyum lebar.

Kali ini gantian aku yang manggut-manggut.

“Saya bisa saja bertanya, orang tua yang mana. Bapaknya, atau ibunya. Atau mungkin, maksudnya sudah bercerai dulu, atau apakah poli-polian. Tapi kan ngapain?”

Selepas ucapan terakhirnya ini dia tertawa sendiri.

“Ha ha ha. Bercanda, bercanda. Gimana tadi? … oh. Sebenarnya ya, saya kira kita bisa sederhanakan persoalannya menjadi, biarkan saja, mereka, orang tua kita, melakukan apa yang baik buat mereka, selagi kita pun bisa melakukan apa yang baik buat kita sendiri.”

Ucapannya yang ini membuatku tertegun.

 

(neto: 757 kata)

Provini Bigot Jawa Barat,

9 Juni 2021

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home