Wednesday 3 June 2020

Lipstik Merah

#MenulisDiSepanjangBulanJuni #HariKetiga ~ #fiksi

ilustrasi cerita: dokumentasi pribadi

Aku memandang bayangan wajahku di cermin mungil bundar yang kusandarkan ke tembok, di atas lemari tanggung. Kusapukan pewarna bibir cair yang kubeli kemarin. Warnanya merah darah, menyegarkan.

"Kamu masih lama? Aku S-2 dulu deh kalau kamu masih lama?" teriak pasanganku. Pasangan legal yang terdaftar dan terlindungi hukum negara, lho.

"JANGAN! KAMU AMBIL KURSUS SINGKAT AJA, YANG 3 BULAN DAPAT SERTIFIKAT. INI TINGGAL BENERIN BIBIR." balasku dengan teriakan lagi.

Setelah drama rutin setiap mau bepergian, akhirnya aku berhasil menyandarkan punggungku di kursi logam biadab ini dengan warna merah merona membalut bibir. Tak nyaman, tetapi apa daya. Kursinya yang tak nyaman, bukan bibirku. Hanya kursi-kursi seperti ini yang tersedia bila ingin menikmati semburat langit malam.

Tenang, kami masih menganut paham Pembatasan Sosial Berskala Entahlah. Sudah tiga bulan kami tidak pernah berkeliaran. Maksudku, bepergian. Biarlah dunia sibuk dengan segala perdebatannya. Selagi sang virus zombie korona masih setia menanti di luar sana, kami tak ingin menambah kerepotan yang tak perlu.

Sebagai gantinya, kami mencoba melakoni hidup SWADESHI.

"Kamu ngapain, make up-an segala? Mau nyiram doang, padahal." tegurnya.

"Ya kamu ngapain? Mau kasih makan ayam pakai kemeja? Mau teleconference?" balasku tak mau kalah.

Dan demikianlah tiga bulan sudah rupanya berlalu. Kami benar-benar nyaris, tak berkeliaran keluar rumah bila tak ada faedahnya. Namun, rupanya kami tak sempat gila, ternyata. Kami sungguh sibuk. Minus berkembang biak.

Baru-baru ini, muncul edaran resmi bahwa Pembatasan Sosial Berskala Entahlah di area tempat tinggal kami sudah usai. Dan bahwa, warga sudah diperkenankan untuk bebas beredar.

"Nongkrong, yuuuuuuuuu..." Aku berseru manja.

"Hayuuuuuuuu. Aku kasihan lihat kamu cantik tapi gak ke mana-mana." balasnya dengan ekspresi wajah riang gembira.

"Iyaaaaaa, aku lebih kasihan lagi lihat kamu yang tampan dan gak ke mana-mana." sahutku sambil melengos ke kamar mandi.

Seperti narapidana yang baru dibebaskan, kami bingung hendak nongki-nongki di mana. Akhirnya, kami ke kedai kopi dekat stasiun. Membayangkan hiruk-pikuk stasiun kereta api yang sibuk, sungguh menggugah semangat. Untungnya, di kedai kopi ini aturan jaga jarak aman tetap berlaku. Menyenangkan! Pikirku diam-diam.

"Kamu nulis, gih. Sana. Aku mau nyari teman mabar lagi." ucapnya seraya menyulut sebatang rokok, setelah pesanan kopi kami datang. "Nikmatnya duniaaaaaaaa.." lanjutnya dengan seruan tertahan.

Kuseruput kopi hitam pertamaku selepas sekian minggu kehidupan dengan penghematan bubuk kopi. ""Nikmatnya duniaaaaaaaa.." Aku ikut berseru sambil menahan agar seruanku hanya selevel bisik-bisik tetangga.

"Yang minggu lalu, gimana? Jadi mau naik tayang?" tanyaku sambil menyalakan lighter. Kopi, rokok, dan pemandangan jalanan, selepas diam di Rumahku Penjaraku memang nikmat.

"Jangan. Belum deal sampai sekarang." jawabnya datar.

Di antara kesibukan kami masing-masing dalam rangka menikmati kemerdekaan sejenak, seperti biasa aku nyambi mengamati situasi sekitar. Kulihat, hanya ada dua pengunjung lain di sini. Mereka duduk sendiri-sendiri.

Kala aku meregangkan badan, kulihat si pengunjung satu yang duduknya di sudut pergi ke luar ruangan. Dari jendela, terlihat bahwa dia menengadah. Entah apa yang dipikirkannya. Tak berapa lama selepas dia kembali ke dalam, si pengunjung satunya melakukan nyaris hal yang sama.

"Sayang. Aneh banget deh, mereka." ucapku setengah berbisik.

"Kamu lebih aneh." sahutnya tanpa ekspresi.

"Gara-gara hobi ngeliatin bulan purnama? Iya juga, yaaaaaaaaa." Aku pun termenung dalam bingung. Hingga tak sengaja, ketika ku menengadah mengalihkan pandanganku ke sekitar ruangan, tatapanku bertemu tatapannya. Tatapan dia yang duduk di sudut ruangan. Ada nuansa aneh berpadu sedih, geram, dan lega sekaligus, memancar dari tatapannya.

Drama kan, gue.

Aku bergumam-gumam sendiri jadinya.

"Ga usah dramaaaaaaaaah. Kamu kalau mau buat cerpen ya buat aja, ga usah lebaaaaaaay." celetuk sang teman serumahku itu, seolah mendengar gumamanku.

Kurang ajar! Kok dia bisa tau, sih! "Hih!" desisku seraya menghembuskan kepulan asap rokok.

Sampai menjelang saat tidur, aku masih terbayang tatapan mata tak sengaja tadi.

Sebentar. Kenapa ga ada adegan anu-anu-nganu di sini?

Oh iya, ini kan bukan cerita dewasa yang mengandung cairan-cairan selain keringat. Keringat ada saat berjemur pagi hari, berkebun, dan mengurusi para ayam. Ayam beneran.

Gimana ya, caranya punya tatapan mata dramatis seperti si pengunjung tadi?

Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri sampai tak sadar lampu kamar sudah menyala lagi. Kudengar teriakannya, "Kamu masih lama? Aku S-2 dulu deh kalau kamu masih lama?"

Lalu kudengar suaraku sendiri balas berteriak, "JANGAN! KAMU AMBIL KURSUS SINGKAT AJA, YANG 3 BULAN DAPAT SERTIFIKAT. INI TINGGAL BENERIN BIBIR."

Seketika itu aku bersiaga. Segera aku duduk tegak dan menolehkan kepalaku menuju sumber suara yang terdengar seperti suaraku. Sumber suara itu rupanya turut menolehkan kepalanya dan menatapku dengan tatapan yang persis sama. Tatapan si pengunjung di kedai kopi yang kami datangi. Dia yang duduk di sudut ruangan.

Tapi wajah dan seluruh tubuh itu milikku.

Kecuali bibirnya yang dipulas warna gelap.

"Mana lipstik merahku?!" Aku berteriak tanpa ada suara sama sekali.

Kulihat dia bergerak ke keranjang sampah di kamar dan menjatuhkan lipstik merahku itu.


= Cirebon, 03-06-2020 =

Labels: , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home