Sunday 20 June 2021

Obrolan Cangkir Kopi bagian-final

(hari dua puluh #IbadahMenulis di sepanjang Juni)


[sebelumnya]

“... persoalan pernikahan kontrak, misalnya, pernikahan di bawah umur. Atau apa begitu?”

Aku terpana mendengarnya.

“Cakep gitu, itu omongan?”

“Kenapa? Kagum? Yuk, kita nikah saja yuk?”

Kami spontan tertawa lepas bareng akibat ucapannya itu.

 

[episode final]

“Oke.” kataku tak mau kalah.

Namun, kupikir dia juga sebenarnya hanya bercanda kan?

“Beneran?” tanyanya serius.

“Ya kenapa engga? Misalnya dalam delapan tahun ke depan, kita sama-sama belum laku?” balasku mencoba serius.

“Iya juga sih. Rencana yang menarik.”

Seiring responsnya, si kopi entahlah apanya yang berwarna ini akhirnya datang.

“Makasih, Mas.” sapaku pada yang mengantarkan si kopi.

“Mas tersepona ya sama dia, sampai lupa sama pesenannya.”

Celetukan muncul darinya. Kulirik saja sebagai tanda bahwa aku mengerti maksudnya.

Setelah si mas-mas yang mengantarkan kopi pergi, “Oh, jelas. Pesona wajah ini membutakan memang.”

“Kamu memang cantik sih, kalau diam.”

Sambil mengatakan itu, dia seruput si kopi yang sebenarnya hanya berwarna karamel belaka.

“Wah, manis, kayak masa depan.” lanjutnya masih dengan celetukan lain lagi.

“Masa depan yang entah di mana?” sambungku seraya mengambil alih komando atas di kopi berwarna karamel.

“Ini warnanya karamel bukan sih?” tanyaku tak penting.

“Ngga ngerti. Buta warna kalik, guwe.” jawabnya tak kalah tak penting.

Sejenak kami menghanyutkan diri dalam kopi yang sama-sama tidak penting, si kopi berwarna karamel. Hanya saja, kali ini kuhadirkan sebungkus sedang keripik singkong pedas.

“Mau? Biar kita ngga ngemil rokok melulu dari tadi.”

Dia menerima tawaranku sambil seperti yang bingung.

“Warisan dari ibu hamil tadi, di kantor. Ya lumayan lah, tampung saja.” kataku menanggapi kebingungannya.

“Saya ngga nanya, lho.”

Kami tertawa lagi.

Obrolan kopi berwarna dan buta warna hanya sanggup bertahan dalam beberapa suapan keripik singkong pedas. Kami kembali mempermasalahkan tunjangan dan pernikahan. Atau mungkin terbalik susunannya, pernikahan dan tunjangan.

“Jadi, masalah terbesarnya itu bukan dapat tunjangan atau tidak, melainkan, mau menikah dengan siapa. Betul?”

Dia memecah ketololan yang mulai hinggap di sekitar kami.

“Tiba-tiba seperti yang merasa bego gini.”

Kutanggapi dia sambil kembali kepada suplai nikotin kami.

Akhirnya dia merampas rokok yang barusan kunyalakan.

“Dih, balas dendam.” kataku, seraya lanjut menyalakan lagi, sebatang rokok yang lain.

“Ho’oh.” ucapnya dingin.

“Jadi ingat berapa minggu lalu, kakak pinjam duit. Lagi. Enak banget dia bilang, katanya saya kan belum menikah jadi belum ada beban tanggung jawab.” Diteruskannya ucapannya dengan ekspresi datar.

“Si Kak Naomi? Lah dia kenapa lagi memang? Ngga dikasih duit sama suaminya? Terus dikasih? Berapa uang?” Pertanyaan-pertanyaan sok tahu berhamburan dari mulutku.

“Berapa duit? Dia bilang mau ada perlu lima ratus ribu. Duit dari mana. Kebetulan saja sedang ada, jadi kasih saja dua ratus ribu.”

Seperti biasa, dia menjawab hamburan pertanyaanku.

“Terus kalau kita menikah, dia jadi kakak ipar? Sowwrry, makasih sudah kenyang.” sahutku tanpa tedeng aling-aling.

Tanpa kesan tak mau kalah, dia pun membalas, “Sama lah, saya mana berani punya ibu mertua seperti ibumu. Ngga kuat guwe, setrong banget, keras kepalanya. Lihat saja anaknya, kan?”

“Ya sudah, kita kembali ke strategi, lihat nanti, delapan tahun yang akan datang.”

Dia tersenyum sebelah sisi, seperti tidak niat.

Kemudian, telunjuknya menyentuh asbak di meja kami.

Dan matanya tertuju pada asbak,

“Namun, sebelum kita pikirkan lebih jauh, kayaknya kita perlu juga rajin lari pagi. Dan tentunya, persoalan bangun paginya.”

Aku jadi ikutan melihat si asbak. “Wow. Bungkus kedua sudah hilang tiga batang. Wah, kacau.”

Dia mengangguk-angguk serius, “Betul. Kacau. Malam ini kacau banget tukar ceritanya.”

“Lah, yang mulai bahas tunjangan siapa?”

Dia menunjuk dirinya sendiri.

“Nah, tuh sih.” sahutku sambil mulai menguap.

Konon, menguap itu menular. Padahal sebelumnya saat dia menguap, aku tidak menguap.

“Hwaaaaaaahhh… selain karena tunjangan, juga untuk data administrasi saat mengambil kredit rumah. Mobil juga, deh.”

“Ngga perlu kalau kita bisa menikahi yang kaya.” sanggahku.

“Aduh, capek banget hidup, nikah aja lah.” balasnya dengan memperlihatkan gestur sok imut, untuk kemudian dilanjutkan dengan, “Kan laki-laki boleh capek ya. Kenapa cuma kalian saja perempuan yang boleh capek?”

Kini aku yang sambil melirik sinis padanya, “Kirain tadi mau nyindir. Ternyata curhat. Itu, bingung juga itu. Nikah bukan karena cinta, yaitu karena capek.”

“Nikah karena capek, lalu sibuk cari-cari duit ke adiknya.” keluhnya. “Entah apa diperbuat si kakak ipar nih. Yang terakhir itu sih, …”

Dia mengakhiri kalimatnya dengan nada menggantung.

Sejenak, aku merasa canggung.

“Ya sudah, kita jatuh cinta dulu deh. Sama siapa ya?”

Akhirnya aku yang melancarkan celetukan, untuk menimpali kalimatnya yang terputus.

“Malas jatuh cinta segala.”

Setelah sekian menit yang terasa lama bagiku, dia kembali buka suara.

Belum sempat aku membantah keluhannya, dia sudah meneruskan, “Cinta kok jatuh. Kan sakit, kalau jatuh itu. Lagian, yang pernah bilang kapan itu, rata-rata pada ingin kenalannya karena habis baca cerpen-cerpen dan puisi-puisi. Makin malas saja rasanya...”

“OH. PARA FANZ DI KOMPAZIANA?”

Segera kuputus omongannya.

Dan detik itu juga kututup mulutku. Astaga sudah sisa satu dua meja saja di sini, yang masih ada pesertanya.

“Eh, sudah banyak yang bubar nih pesertanya.”

Kubuka mulutku yang tadi spontan kututup sendiri oleh tanganku.

“Kamu mau keliling ke mana lagi ngapain lagi, nanti?” tanyanya seperti mengalihkan omonganku sebelumnya. Tentang para penggemarnya.

“Mau ada pelatihan Digital Talent, gitu-gitu lah. Program terooooos.” jawabku seadanya.

“Asyik sepertinya. Ini sudah menumpuk ini, PR yang bukan bagian kerja tetapi ya karena sedang penyesuaian dengan pimpinan baru. Segala jadi pembicara, ya ngumpulin bahan, ya buat sendiri si slide-presentasi, ya buat laporan…”

Jeda dalam kalimatnya langsung disambarnya sendiri.

“... dan masih ada beberapa keperluan artikel berita.”

Kuperhatikan dia dengan serius, sebelum terbersit pertanyaan ini di benak.

“Besok hari apa sih?”

“Kan. Kebiasaan. Suka tiba-tiba ganti arah pembicaraan.”

“Iya, besok hari apa?”

Tak dihiraukannya pertanyaanku. Walau demikian, dia tetap menjawab, “Lupa saya. Sudah berapa bulan ini, setiap hari bagaikan hari kerja. Senantiasa ada obrolan pekerjaan di WhatzUpp. Setiap hari, di jam berapa saja.”

Kugeleng-gelengkan kepalaku dengan penuh aksi teatrikal. Alias, lebaaaay.

“Ck ck ck. Sungguh ekonomi kita, benar-benar kreatif. Dah lah. Capek. Mau tutup juga kan ini. Bubar yuk. Kalau misalnya besok bukan hari kerja, efek kopinya buat segar, tinggal begadang deh buat nonton film yang diunduh secara ilegal.”

Dia seperti tak menyimak ocehanku barusan.

“Eh, HaPe mati lho, barusan padahal mau lihat tanggalan.”

“Lha sama, bhambhank. Makanya tadi nanya.”

“Owalaaaaah.” balasnya bego.

“Pulang nih?”

“Pulang.” ujarnya mantap.

“Ojekin.”

“Ayo.” jawabnya mantap.



--- tamat ---

 

Provinsi Bigot Jawa Barat,

20 Juni, 2021

Labels: , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home