Tuesday 8 June 2021

Malam Ini Rumputnya Meliar

=== setelah prolog dan sebelum epilog,

si Malam Merumput ===

(hari delapan #IbadahMenulis sepanjang Juni 2021)


Ini malam Senin, mungkin para pengunjung terjegal slogan kekinian “Besok Senin”.

Hm. Terlihat jelas. Dia memilih tempat di sudut kafe ini. Pasti agar bebas melamun. Juga bebas dari gangguan yang lewat-lewat. Sebenarnya, aku pun biasanya seperti itu.

Kulihat gerak-gerik mulutnya berkata entah apa pada seorang pelayan. Oh, sepertinya ucapan terima kasih.

Rasa terima kasih atas dikirimkannya asbak baru yang masih kosong. Dan masih bersih, tentu saja.

Satu hal yang menarik darinya. Dia apa adanya, alih-alih ada apanya. Menurutnya, aku seperti yang mudah sekali menebak apa yang ada dibenaknya.

Apakah itu pujian atau sekadar ungkapan rasa bingung darinya.

Kukira, ini karena raut wajahnya terlampau jujur.

Sebentar. Raut wajah?

Gestur, mungkin.

Bertahun-tahun aku telah berjumpa sekian banyak umat manusia, mungkin ini membuatku selangkah lebih maju daripadanya untuk menemukan apa yang belum terlihat.

Mungkin.

Namun, kali ini, aku melihat apa yang seharusnya terlihat.

Fisik belaka. Terjangkau oleh mata.

Kulihat tadi si pelayan itu menganggukan kepala, sepertinya itu semacam caranya untuk mengucapkan, ‘ya, sama-sama.’

Namun, semburat senyuman singkat yang mencurigakan tertangkap ekor mataku.

Apakah dia terpikirkan apa yang kupikirkan?

Memangnya apa yang kupikirkan?

Kalau pun memang kupikirkan, buat apa?

Halakh. Entahlah.

Pelayan tadi pergi, dan dia terlihat kembali pada kesendirian. Kesendirian di sudut sebelah situ.

Enaknya diganggu saja ini orang.

Kambuh deh, hasrat isengannya.

Eh. Sebentar. Apa ini?

… ,,, …

Aku menyedot segala kesadaran yang tersisa pada malam ini. Dari embusan angin yang membawa bau hujan.

Sepertinya…?

Dan rupanya benar.

Kebetulan yang bukan kebetulan, hujan memang sudah mulai hadir. Walau, masih sebatas gerimis, dan tipis-tipis.

Memang dampak pemanasan global ini nyata adanya. Hujan di bulan Juni kini tak lagi mustahil.

Masih ada yang belum beranjak dari romantisme masa lalu?

Selamat, yha~

… ,,, …

Tadi mau melakukan apa?

Iseng.

Kulihat dia sudah asyik dengan sebatang rokok di tangannya.

Sebelah tangannya bersama rokok, sebelah tangan lainnya dia arahkan menjulur menjauh. Untuk menyambut tetesan gerimis, ya? Dasar manusia puitis.

Malam Senin yang serba-serbi. Aku tertawa gemas melihat punggungnya.

“WOI.” sentaknya.

“HAHAHAHAHAHAHAHA.” tawaku lepas.

Demikian ekspresi wajahnya, saat ber-woi-ria, sungguh hiburan membahagiakan walau sesaat.

Segera kuserbu dia dengan pertanyaan-pertanyaan, dan ucapan-ucapan, yang membuat wajahnya semakin merengut sok imut.

Sekitar setengah jam mungkin berlalu sudah.

Berlalu dengan rangkuman obrolan mengenai apa saja yang yang sudah terjadi di antara kami, selama sekitar setahun dua lebih, tidak pernah bersua tatap muka fisik seperti ini.

“Jadi, kira-kira, itu situasinya. Dan ini,” selanya seraya menggeser telunjuk tangan kirinya ke sekitaran pelipis. Apa itu? Pelipis? Kening? Jidat?

“... ORANG SEDANG NGOMONG DICUEKIN?” serunya.

“HAHAHAHAHA MAAP MAAP.” Masih tersisa tawa dalam celetukan maaf yang membersit dari mulutku.

“Itu, sebelah situ, apa sih namanya? Pelipis? Jidat? Kening?” tanyaku mencoba seserius mungkin.

“KEBIASAAN.” balasnya masih dengan seruan.

“Ngga, beneran deh, tadi tuh kepikiran itu. Gimana gimana gimana?” tanyaku sambil menggerakan tangan, memperlihatkan gestur membekap mulut.

“Dan  iniyang?” jawabnya pada tanyaku, dengan nada bertanya.

“... ini. Beneran. Ingin meluruskan pikiran.”

“Lah? Setrika dong, pikirannya. Agar rapi.” ucapku sebelum tawaku kembali membersit. “HAHAHAHAHAHA MAAP.”

“Buku itu. Masih belum selesai kubaca.” sahutnya. Kembali tidak peduli padaku yang tertawa padanya. Kembali, dia mulai memperlihatkan ekspresi wajah seperti hendak berkata,  ‘ih sebel banget deh nih orang.’

“Jangan dibaca. Buat apa? Tidak ada faedahnya. Itu hanya untuk jadi teman saat bimbang. Saat kita bertanya-tanya. Saat ada sedikit saja, satu persen rasa bimbang muncul. Saat ada tanya mengganggu ketenteraman hati yang seratus persen, hingga berkurang menjadi sembilan puluh sembilan persen saja. Kala terbersit di benak, apakah kita sudah melakukan hal yang seharusnya atau apakah kita sudah melakukan hal yang tidak seharusnya. Apakah kita benar, apakah kita salah. Bila iya benar, kenapa. Bila itu salah, ya kenapa. Apakah memang demikian adanya. Apakah itu tidak mengkhianati diri sendiri. Apakah kita, sok pahlawan kesiangan, atau kita, memang sudah benar-benar menerima keadaan.”

Kali ini, ucapanku menggelundung bagaikan rem blong.

“Karena kita, berkuasa atas pikiran kita sendiri.”

Demikian penutupku, dari lautan kata yang telah muntah begitu saja.

Namun, saat mengatakan itu semua, aku memilih sambil menghindari tatapannya. Sebagai gantinya, aku sibuk bersama benda-benda lain di sekitar. Rokok, korek, asbak, cangkir kopi.

Aku tidak ingin suasananya menjadi terlalu emosional.

Aku tidak ingin menjadi intervensi, yang menyabotase alur berpikirnya. Itu tidak benar. Itu salah. Sedekat apa pun aku merasa mengenalnya, sedekat apa pun dia merasa mengenalku.

Gilirannya yang tersenyum lepas. Tidak berubah, masih seperti sebelum wabah.

Berarti sehat belaka dia.

Kulihat dia melirik ponselnya. Sepertinya apa yang kukatakan menohok segala emosi yang tertahan. Mungkin.

Sudah biasa itu.

Manusia. Dan segala kemungkinan di baliknya.

Kulihat sekitar. Tidak benar-benar sepi pengunjung, tetapi juga tidak seperti yang benar-benar ramai.

Sungguh besok benar-benar Senin, betapa kutukan orang-orang modern akan Besok Senin nyata adanya.

“Main apaan sih tuh?” tanyanya iseng kala kuraih ponselku.

Dia urung menaruh perhatian pada ponselnya.

Apakah karena si jargon “Besok Senin”?

Iya memang, Besok Senin. Ya terus kenapa deh.

“Oh, em el doooong. Mobile Legend. … ah fakk asuuuw, diem dulu dong konsen ini.” seruku acuh.

Ah, ini mulut. Seperti comberan saja, memang.

Tolong dimaafkan segala khilaf akibat mulut ini.

Dengan ekor mataku, kulihat dia meraih ponsel. Lagi. Dan, apa itu? Live Show si Inkstastory? Ah. Ck. Kekinian sungguh.

“Eh eh eh. Pelanggaran. Muka dong, stikerin.” Gantian aku berseru memperlihatkan ketidaksukaanku. Kuhalangi sambaran arah rekaman, dengan cara melambai dadah-dadah ke arahnya. Tepatnya, ke arah ponselnya.

“Ih, terkenal. Takut ya, ketahuan barengan rakyat jelata.”

Sambil selesai ber-gelai-ria kekinian, dia mengatakan itu padaku.

“Apaan sih manyun-manyun segala, manja deh.” lanjutku masih sengit. Sengit ke si permainan, sebenarnya. Aku kan memang begitu anaknya. Ekspresif.

Dia asyik dengan ponselnya juga, mengabaikan celetukanku barusan.

Sebatang rokok usai sudah.

Aku pun selesai bermain di ponsel.

“Ah. Resek. Pengkhianat kabeh. Ini genk ainggh.” seruku sambil menatapnya usil.

“Nah nah nah, ngapain tuh mukanya kayak gitu.” balasnya kembali merajuk sok imut.

Kembali bacot ini muntah tanpa saringan.

Endebres endebres endebres… endeswei,,,

“... wajah ini,” tegasku seraya menggerakkan tangan, sungguh ingin menekankan pada bagian ‘wajah ini’.

“... tidak ingin tampil di medsos pribadi. Itu hak prerogatif dong. Ngga minta izin pula. Sungguh budaya permisif.”

Remeh temeh lepeh segala muntah bacot mengisi suasana yang tadi sempat terasa cukup serius.

Tentu saja aku sibuk membantahnya, demi untuk membuatnya kesal.

“Jadi, bagaimana?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Kembali ocehan tanpa saringan berhamburan dari mulutku.

“Bentar lagi duluan, yak. Teruskan saja melamunnya. Santai lah itu.” putusku kala kami selesai saling adu bacot.

Persisnya, aku yang mbacot.
”Lho, mau ke mana? Kenapa?” tanyanya polos, sepolos indomeeh di burjo tanpa sayur tanpa telur.

“New project. Halakh. Proyek tengkiu. Cari iklan saja deh. Sambil agar ngga sepi otak. Nanti deh, diceritain.” jawabku sambil melangkah pergi.

Meninggalkan dia dan dunianya.

Meninggalkan persimpangan waktu di mana duniaku bertemu dunianya.

Untuk kembali pada duniaku.



(neto: 1166 kata menurut perhitungan Word Count)

Provinsi Bigot Jawa Barat

8 Juni, 2021

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home