Saturday 6 June 2020

Sepotong Puisi di Warung Nasi

#MenulisDiSepanjangJuni #SesiKelima #HariLingkunganHidupSedunia


September 2019. Siang yang terik berubah menjadi sore yang hiruk-pikuk. Bukan karena manusia melainkan karena cuaca. Angin kencang menyertai gerimis rapat. Kedua pekerjaku mulai sibuk menata gerobak lauk-pauk kala gerimis berubah menjadi hujan serius.

"Mas, mau ngapain?" tanya salah seorang dari kedua pekerjaku yang sudah berhasil menata gerobak lauk-pauk jualan agar saling menutupi bagian dalam area tempat makan ini.

"Nutup ini, dong." jawabku santai.

"Oia, ya. Nanti keburu air menumpuk di sono." ujar satunya.

"Payung, Mas." serbu mereka kompak serempak seraya bangkit dari duduk santai selepas menerobos angin.

"Wah, Mas Yuti mulai siap-siap nih." sapa Mang Wahyu dari balik payung lebar seperti milik para ojek payung, sambil melirik salah seorang pegawaiku. Yang dilirik langsung sigap beranjak dari kesibukan menutup area teras dan pagar yang berbatasan dengan jalanan.

"Sekarang bikin berapa, Mang?"

"Satu. Hujan ini. Dibungkus deh."

Mang Wahyu bekerja di mal dekat sini sebagai security. Security, terdengar lebih mewah daripada disebut satpam. Padahal, maksudnya ya seperti itu.

Urusan tahan-menahan bila nanti air menumpuk sudah selesai. Angin tetap menawan dalam aksinya. Kedua spanduk jualan hadiah dari distributor, minuman dan rokok, sudah melambai kencang seolah ingin melepaskan diri dari ikatannya. Pohon-pohon di sekitar sudah barang tentu. Termasuk sang pohon mangga, yang tertancap di dekat arah masuk ke area makan luar ruangan, yang tetap tabah bertumbuh walau dikelilingi cor semen.

"Ini keresekin lagi, Mang?" tanya pegawaiku yang menerima pesanan Mang Wahyu.

"Iya, lah. Repot bawanya."

"Rokok, sekalian Mang?" sapaku basa-basi seraya menyulut sebatang untuk diri sendiri.

"Masih ada, Mas."

"Ini, Mang. Biasa, tiga juta." ujar pegawaiku yang selesai mengemas pesanan. Kopi hitam Kapalberapi diseduh dalam plastik dan cangkir plastiknya dalam keresek hitam.

Biasanya, dia pesan dua atau tiga sekaligus. Istirahat bersama, melepas penat, dan ditemani kopi warungan plus rokok. Inilah kehidupan di balik megahnya si mal tempat Mang Wahyu bertugas. Dan inilah pekerjaanku. Ngewarung.

"Wah, ini lima juta. Kembali dua juta, ya." balas Mang Wahyu sambil nyengir.

Kulihat damai di wajah-wajah mereka. Mang Wahyu, dan kedua pegawaiku. Mereka saling tersenyum entah karena apa. Aku yang asyik sendiri agak jauh dari mereka, jadi ikut tersenyum. Selain menguap, senyuman juga rupanya bisa menular. Namun, setidaknya saling menularkan senyuman, bukankah menyenangkan?

Kedua pekerjaku akhirnya asyik masing-masing. Mas Iwan kembali menguleni jajan pasar. Ya, warung ini juga menerima pesanan macam-macam makanan. Katering, kue-kue pasar, isian kotak jajanan untuk rapat yang tanpa makan siang. Pandu sibuk menjaga markas di depan, sambil membereskan bagian-bagian yang sekiranya tak rapi.

Mereka sudah kuanggap seperti keluargaku; yang sejak awal aku mulai ngewarung, mendampingi dengan setia. Satu orang korban PHK pabrik roti skala industri rumah. Pabrik itu dekat rumah Uwa, tetapi Mas Iwan tinggal di rumah warisan mertuanya yang berlokasi dekat sini. Iwan namanya, kupanggil Mas Iwan. Karena dia sudah berkeluarga. Tentu itu adalah tanda sopan-santun yang lazim di sini. Mereka yang sudah berkeluarga biasanya dianggap lebih senior daripada yang belum. Sepertiku ini. Anaknya Mas Iwan ini sudah ada empat, sampai akhirnya dia dan istrinya bersedia kuajak mendaftar program KB Keluarga Berencana. Satunya lagi Pandu. Namanya terdengar keren, memang. Mungkin nasibnya saja yang kurang keren. Pandu kukenal pertama kali saat dia menjadi Office Boy di kantor saat aku masih jadi pekerja kantoran.

Angin sudah tak lagi beringas, hujan yang masih tetap deras. Beberapa orang lewat singgah untuk berteduh. Tak membeli apa-apa, biarlah. Semoga mereka bahagia, sudah sempat berteduh. Aku terdiam, sampai ada yang berseru.

“Mas Yuti, ngelamun terus. Nanti diculik Mbak Yani lho!” seru Mas Eko sambil senyum-senyum usil. Yang disebut namanya, Mbak Yani, balas berseru, “Jangan percaya, Mas. Mana berani saya. Takut kualat.”

Mereka cekikikan walau nyaris separuh punggung dan kedua bahu sudah basah kuyup. “Langganan” di sini; pakai tanda kutip sebab, “Kalau ingin makan enak sehabis gajian, ya ke sini saja.”

Benar. Enak dan hemat. Potongan harga sampai seperempat total harga bahkan lebih, karena makan di tempat dan tidak dibungkus. Rugi buat penjual, tapi inilah kontribusiku yang tak seberapa. Jangan bahas Go Green, Zero Waste, dan Green Life dengan mereka yang gajinya hanya satu kali UMR pun dengan mereka yang hanya dapat bayaran harian atau bila dapat pekerjaan. Itu sama saja dengan membahas alien bersama umat bumi datar. Gak nyambung? Memang.

Hujan masih membasahi bumi, markas kembali sepi. Hujan dan sepi; cocoknya bikin puisi, ini. Atau mungkin buat Indomie. Di antara kedua itu sih.

Cuma sepertinya lebih asyik ngopi, nih. Aku akhirnya menyeduh kopi Aroma yang kuawet-awet agar tak lekas habis. Jauh nyarinya, saudara-saudara. Jauh, pakai helm.

Baru seruput kopi sebentar, ada pesan-pesan berdatangan menyebabkan plentang-plentung bunyi notifikasi di ponsel memberi sedikit gaduh di telinga. Ada dua pesanan beda bidang. 100 kotak jajanan, dari Bu Bekti. Proyek terjemahan buku resep masakan khas Jawa, dari Mbak Endah.

Siap lembur, siap tempur. Bungkus!

Begitulah. Kadang kami lembur bersama demi menyelesaikan pesanan, sampai-sampai istri Mas Iwan diajak serta. Sama-sama senang saja; istrinya Mas Iwan dapat bayaran atas bantuan tenaganya, Mas Iwan pun senang karena pemasukan keluarga mereka bertambah. Aku senang karena jualan semakin laris. Bukankah itu yang diharapkan setiap dari mereka yang berjualan? Dagangan laris manis, tanjung kimpul. Aku, ya, jadi mandor. Sambil mengurusi proyekan dari Mbak Endah.

Hujan usai berganti langit malam yang bersih tanpa awan. Perlahan tapi pasti, bintang-bintang mulai bertebaran di langit malam. Lumayan, air tak sampai menggenang hebat. Hanya sedikit di atas mata kaki di jalanan sana, artinya ya tak sampai menggenangi markas nasi ini.

Malam berganti siang. Hari-hari berlalu seperti adanya, seperti seharusnya, dan sebagaimana layaknya manusia hidup: bekerja, lalu capek.
Tak terasa, sudah dua bulan terakhir ini warung nasi kami tutup. Dan sudah sebulan terakhir ini, Mas Iwan dan Pandu terpaksa berhenti bekerja di markasku. Bukan, bukan karena negara api menyerang. Namun, karena ada serbuan wabah zombie korona.
Untungnya Mas Iwan masih bisa mencari nafkah di pasar karena bantu-bantu kakak iparnya. Kalau Pandu buka layanan jasa kirim-kirim dan antar-antar, barang dan orang walaupun kalau orang sih jarang. Kan, anjurannya adalah pembatasan aktivitas keluyuran yang tak perlu. Ya, kira-kira demikianlah.

Hingga akhirnya beberapa hari yang lalu, di area sini sudah ada pemberitahuan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Entahlah selesai sudah. Meskipun begitu, masyarakat diharapkan untuk tetap saling jaga kebersihan dengan kewajiban mencuci tangan dan menjaga jarak fisik. Ya, begitu itu.

Aku mengontak Mas Iwan dan Pandu, menanyakan kesediaan mereka untuk kembali bekerja padaku. Mereka membalas pesanku dengan antusias. Membuatku terharu. Sekolah dan kuliah sampai lelah, dilanjut dengan menghabiskan kehidupan dalam aktivitas kantoran, disambi sejumlah aktivitas hiperealitas untuk konten Instagram, Twitter, dan Facebook; semua itu tak lagi menjadi tujuan hidupku. Melelahkan, menguras energi, bahkan membosankan. Setidaknya buatku, tetapi tidak buatnya.

Jalinan rasa yang terhalang agama sih, biasa. Mungkin jalinan rasa yang terhalang orientasi seksual juga biasa. Aku gak homofobia, baik pada perempuan pun laki-laki. Itu kan hak mereka.

Jalinan asmara terhalang bukan PNS, ini luar biasa. Bagiku. Apalagi bukan pekerja kantoran. Bagiku, yang ngewarung.

Biarlah. Ada yang bijak bilang, jodoh itu di tangan tuhan tetapi restu sih di tangan orang tua.

Aku bengong-bengong di warung yang meja-mejanya berdebu tebal. Kerja bakti, nih.

Bengong-bengong terhenti oleh sebuah sapaan.

“Dengan Pak Sayuti Wahid?” tanya kurir.

Akhirnya spanduk pesananku datang. Buat di depan, mumpung lusa hari lingkungan hidup sedunia, kata obrolan di beberapa grup WhatsApp model Pendaki Unyu, Backpaker Kurang Halan-halan, termasuk grup angkatan ekstrakurikuler SMA “PASUS”.





= Sudut Kenanganmu, 5 menuju 6 Juni 2020 =


NB:
Teriring ucapan kepada Planet Bumi. Salam bahagia dan selamat sejahtera, semoga sehat dan kuat walau manusia tetap bising loh jinawi.

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home