Monday 21 June 2021

Cerita Bau Lem Aibon dan Pasar Ciroyom

(hari dua puluh #IbadahMenulis di sepanjang Juni)


“Oi, Pak’e. Sudah bisa teleponan kamu sekarang? Kemajuan. Heibat.”

Sambil menahan tawa di balik ponsel, kusapa panggilan telepon dari Pak Tua.

Namanya, Pak Gamestya atau siapaaaa gitu. Si Benny memanggilnya Pak Games. Nanta juga. Jadi, aku pun ikutan.

“Woooo, nyindir. Ini, aku barusan, diajari sama Kakak Relawan baru. Langsung kucoba.”

Demikian respons beliau, di seberang sana.

“Teleponan di WhatzUpp, Pak? Gaya, sudah jagoan.” masih kuisengi beliau.

“Lho ini, orangnya masih di depanku ini. Kak Putri mau sekalian kenalan? Ganteng eh.”

Gantian dia yang iseng.

“Halakh, berondong Pak. Gak sanggup aku miaranya Pak. Memelihara diri sendiri saja aku kesulitan.”

Kami sama-sama tertawa via sambungan telepon WhatzUpp.

“Di sini ada pelatihan nge-sol sepatu, terus bikin-bikin apa itu yang dari bungkus-bungkus sacet-an, terusnya ada …”

Kudengar di kejauhan, suara beliau bertanya.

“Eh, Kak Muz, itu apa namanya, yang kakak-kakak cantik itu pada ngajarin?”

‘Oh, namanya Kak Muz. Kamus, dong. Halakh.’

Sambil mencoba menangkap samar-samar obrolan di balik sinyal, aku juga sibuk sendiri.

“... OH. KAK PUT. HALOOOO…”

“Ya, Pak?”

“Ini lho, namanya makrame apa ini, pokoknya kayak hiasan gantung muter-muter gitu. Terus ada yang belajar tambal ban, ada mompa-mompa juga. Tapi ya sambil diajari ngitung duit ini di sini. Jadi yang buat-buat itu, nanti dikumpulkan. Sambil belajar ngitung duit, itu nanti sambil dibantuin jualannya. Katanya sih nanti mau terima pesanan. Yang nge-sol sepatu sama yang nambal ban, itu diajari ngitung harga. Misalnya sol-nya berat harganya beda dari yang sol tipis tapi njahitnya susah. Gitu-gitu.”

Lengkap begini, beliau berceritanya. Pikirku sebelum menyahut kagum, “Weitz. Mantap.”

Sebelum beliau kembali berdongeng, kuteruskan saja keisenganku yang lain.

“Lhah ini kamunya ingat aku kenapa eh Pak’e? Apakah aku mirip sol sepatu atau aku mirip makrame?”

Dia tertawa lagi, sedangkan aku tersenyum lebar.

Sambil mendengar suara tawanya, “Kak Putri yha, ngga berubah masih saja ngelawak.”

Siapa di balik layar ini. Aku penasaran. Namun, urung kutanyakan. Jadi, “Lho, ngga Pak’e. Aku, lho. Serius itu tadi tanya.”

Beliau kembali berbicara panjang.

“Aku itu, di hapeku, cuma ada beberapa nomor telepon lah. Ya Kak Putri, Kak Benny, Kak Nanta, Kak Ali, Kak Nuy, Kak Inun, Kak Mothie, siapa lagi ya. Terus yang gara-gara ini kan, aku sudah bisa pakai We-A gitu lho. Jadi ini enak ya, bisa kirim-kirim gambar. Aku telepon Kak Benny, ngga dijawab. Kak Mothie nomornya jadi bunyi, ‘nomor yang Anda tuju tidak aktif, silakan’ gitu-gitu. Katanya Kak Muz, mungkin itu karena nomornya memang sudah ngga aktif lagi kayak ganti nomor gitu-gitu. Kak Nanta ya sama juga.”

Belum sempat kurespons, beliau gantian iseng juga.

“Mau ya, nomornya Kak Muz? Nanti kapan main ke sini, ketemu gih. Ganteng eh, mapan lagi. Mau ya.”

“YAHELAH PAK. HA HA HA.”

Tak kuasa aku menahan hasrat untuk menyanggahnya, dan akhirnya baru saja kulakukan.

Seperti tak menghiraukan sanggahanku, beliau kembali ke ceritanya yang live-show dari Te Ka Pe.

“Ini orang-orang rame kovid kovid kovid, di sini yang masih pada ngelem ya masih ada. Nah, …”

“Nah apa, Pak?”

Kembali dari kejauhan, kudengar suara teriakan dalam bahasa lokal setempat, bahasa Sunda. Namun, secara hierarki kebahasaan, itu stratanya semacam strata paling sudra.

“Halo, ya halo Kak Putri?”

“Oi, Pak?” balasku sekalian memastikan bahwa sambungan telepon kami masih baik-baik saja.

“... apa tadi? Oh, kan ini mumpung telepon aku ini ada yang jawab eh. Itu tadi, anaknya Neneng, eh masih ingat Neneng ngga?”

Pertanyaan beliau sejenak membawaku ke saat-saat di mana ada perempuan hamil karena terlihat dari perutnya yang besar, teriak-teriak histeris sambil setengah meraung. Bapak si janin di perutnya, masuk rumah sakit karena luka bacok di kepala. Lalu rupanya tidak ada umurnya. Mati sudah. Bacokannya akibat? Oh, aku ingat. Perkelahian antar sesama orang-orang yang hidup sehari-hari di jalanan sekitar pasar ini dan terus sampai ke stasiun kereta. Yang anak-anak kecilnya itu, yang usia-usia sekitaran SD gitu, biasanya disebut anak jalanan. Karena memang hidupnya di jalanan, dan entah orang tua mereka di mana tinggalnya karena, mereka pun tumbuhnya di jalanan.

“Eh Kak Muz, kok sepi gini ngga ada suaranya?”

“Coba di-halo-halo lagi, Pak.” balas yang ditanya.

Kudengar penggalan percakapan antara beliau dan si sesosok bernama panggilan Kak Muz ini.

“Ui, Pak. Ingat aku Pak. Kenapa rupanya?”

Segera kupanggil beliau kembali.

“Eh, lupa ya? He he he, kelamaan sih ngga mampir sini. Keburu wabah, yha. He he he….”

Suara terkekeh tawa beliau terdengar di telingaku lengkap dengan ekspresi khasnya. Wajah sang laki-laki tua yang semakin menua terlihat semakin teduh, dan walau sepertinya tidak pernah kesampaian punya anak tidak pernah kudengar kabar beliau mengadopsi anak atau apa. Sebab setahuku, beliau dan istrinya hanya sibuk dengan kucing-kucing di rumahnya yang entah aku tak tahu, di mana rumah beliau.

“Ingat aku, Neneng janda muda. Itu kan?” tanyaku memastikan.

“Sudah punya suami lagi Neneng sekarang. Kak Putri kapan? Neneng lho, sudah dua kali menikahnya.”

“Halakh, Pak. Aku eh, mau cari suami di mana.” ujarku sambil manyun.

“Woooo, monyong-monyong gitu ah, Kak Putri.”

Seperti bisa melihatku saja, beliau ini. Kemudian dilanjutkannya perkataannya tentang anaknya Neneng tadi.

“Ini anaknya Neneng yang nomor lima, masih kecil banget.”

“Hah? Nomor lima. Banyak amat.” seruku spontan.

“Empat kalau dari hasil pernikahan sama yang ini. Itu mereka nikahnya pas yang anaknya Wawa sudah sekitar… umur tiga tahun atau empat ya. Aku lupa juga itu.”

Dia masih asyik mendongeng dari seberang sambungan internet.

. . . . . . .

Dan aku mulai bosan.

“Pak, Kak Muz ini dari mana sheh? Ini kedatangan proyek mana lagi?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.

Sejenak hening, mungkin beliau terkejut karena pertanyaanku yang tak terduga. Karena akhirnya kuputuskan untuk bertanya, si pertanyaan yang sedari tadi mengangguku, minta dieksekusi. Atau mungkin beliau terkejut, sekadar karena dongengnya diputus olehku begitu saja; bagai pengemudi brutal yang main menikung saja itu si jalur laju kendaraan lain.

“Oh, ini tuh dari partai Anu-Anu Nganu-Nganu. Kak Muz di partai itu bagian …”

Tak terlalu kuhiraukan kelanjutan penjelasan beliau.

Ah. Pikirku dalam hati.

Sudah kuduga.

“Oke deh, Pak. Nanti kutunggu kabar ajaib selanjutnya.” selaku tajam.

Di ujung sambungan koneksi internet, kudengar suara tawa beliau; kembali berupa tawa yang terkekeh.


Provinsi Bigot Jawa Barat,

21 Juni 2021

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home