Saturday, 24 March 2007

Anak-anak Bukan untuk Gengsi Orang Tua Belaka


Awalnya, saya membaca tulisan Dwinda Nafisah N. di Rubrik Mimbar Akademik, suplemen Kampus (“PR”,15/3). Sejauh pemahaman saya, inti tulisan beliau adalah himbauan untuk menanamkan nasionalisme pada anak lewat lagu anak-anak. Dan bukannya tanpa sebab menanamkan nasionalisme sejak dini. Selagi anak-anak kecil belum mengerti apa-apa. Begitu katanya. Dan saya setuju.

Anak-anak jaman sekarang cenderung lebih cepat dewasa. Adalah ide yang baik untuk mencekoki anak agar bisa tumbuh rasa nasionalisme dalam dirinya. Namun, siapa yang menyebabkan anak-anak itu menjadi dewasa sebelum waktunya? Orang dewasa tentu berperan serta dalam hal ini. Oke, mungkin bukan untuk hal negatif saja. Tetapi orang-orang dewasa yang merupakan orang tua dari para anak kecil itulah yang justru tanpa sadar membuat anak-anak mereka melakukan hal-hal yang mereka pikir baik. Bagus memang jika sedari kecil anak diajari bermacam pelajaran. Dari mulai les bahasa Inggris, les musik, sampai les menari. Anak tentu belum tahu apa manfaat pelajaran-pelajaran itu, jadi saya pikir paksaan itu bagus juga. Yang saya prihatinkan jika para orang tua itu justru menjadikannya sebagai ajang persaingan dengan orang tua lainnya. Ketika tiba saatnya si anak semakin besar dan bisa protes pada orang tuanya, orang tua akan berkata ”Tahu apa kalian, kami para orang tua jelas lebih tahu daripada kalian”.

Contohnya saya. Ibu saya adalah guru bahasa Inggris rumahan. Saya belajar pada beliau dari kelas 4 SD karena ibu saya pikir ”malu-maluin dong, masa ibunya guru bahasa Inggris anaknya tidak bisa”. Meskipun setengah hati belajar karena terpaksa, akhirnya saya merasakan manfaat didikan paksa ibu saya itu saat duduk di bangku SMU kelas 2.

Begitu pula ketika saya kuliah. Di pilihan SPMB kedua saya, ayah saya dan teman beliau menyarankan dengan sedikit keharusan agar saya memilih jurusan kimia. Dari SMU saya sudah didoktrin bahwa IPA adalah pelajaran berguna. Berbeda dengan ilmu sosial yang bisa dipelajari sendiri, begitu menurut ayah saya. Sebab ayah saya sendiri memiliki latar belakang akademis dari FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan).

Ternyata, keterbatasan kemampuan saya semenjak SMU semakin terlihat di perkuliahan. Saat ini, saya sedang menempuh tahun kelima saya kuliah. Dan saya sudah laporan pada orang tua saya di awal tahun keempat kuliah, bahwa saya kemungkinan besar akan telat. Untung bagi saya, bahwa memang orang tua saya adalah orang tua yang demokratis. Mereka menerima kenyataan ini, walaupun tetap saja bertanya ”Kamu kapan menyelesaikan studi, nak?”. Mereka sadar telah memaksakan kehendak, sekaligus juga berusaha membangkitkan kesadaran saya bahwa apa yang saya pelajari selama ini pastilah akan berguna kelak. Walaupun kadang mereka sering bercanda dengan saya bahkan menjurus serius, ketika membandingkan saya dengan anak-anak tetangga atau anak teman-teman mereka.

Demi gengsi, itulah sebabnya anak-anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Tidak untuk saya, karena sesering itu pula orang tua saya menjelaskan bahwa mereka tidak bermaksud membandingkan. Hanya mencoba membuat saya bisa lebih memahami dan mencontoh kiat-kiat yang membuat orang-orang lebih berhasil.

Faktanya adalah, saya sendiri melihat bahwa orang tua saya pun memiliki kesalahan yaitu mereka berpikir apa yang terbaik untuk anaknya tanpa melihat apakah itu memang baik untuk sang anak atau tidak. Dari segi akademis, IPA tidak melulu baik dan ilmu sosial pun tidak selalu jelek. Maksudnya, ini secara garis besar. Seperti saya pernah baca di suatu koran entah apa dan kapan, ”pantas saja negeri ini tak mampu memunculkan pelukis besar sebanyak negara-negara Eropa sana.”

Memang betul, orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun, ketika gengsi sebagai orang tua yang berbicara, maka anak-anak hanyalah alat. Alat untuk ajang adu gengsi kehebatan sebagai orang tua.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home