Thursday 8 March 2007

Budaya Membaca dan Koran

Herlinda Putri – Kimia UNPAD

‘Tulisan ini didedikasikan untuk tetangga sebelah kamar gue yang kuliah di jurusan jurnalistik UNPAD dan sering berbuat hal-hal sinting barengan gue atau sendiri kayak gue juga. Bukan semata-mata gue dan dia beda jurusan kuliah, tapi karena dia kasih gue inspirasi untuk melakukan lebih dari apa yang bisa gue kerjakan. Dan kegiatan membaca dan menulis adalah alternatif kegiatan yang bermanfaat. Ibu Bawel, I wrote this for you! Terima kasih karena kasih pinjam gue buku-buku elu yang se-alaihim banyaknya (se-alaihim means banyak banget – penulis), padahal elu sendiri ngaku kalo tu buku belum semuanya selesai elu baca.’

.

DueT anak AUTIS lagi jadi anak iLang di BRAGA


inihlah kamih,,, oh... ratapan anak tiri dalam damri...

Gue tuh pernah baca di buku pinjaman teman. Teman gue itu biasa gue panggil si ibu bawel, karena dia bawel dan sering banget ngomentarin gue. Si ibu bawel sering komentar bahwa tulisan gue kadang engga jelas, marah-marah teu puguh kalo dalam bahasa Sunda mah. Atau curhat engga penting. Padahal engga penting juga sih dia ngerti apa yang gue curhatin. Jadi dia dengan senang hati mengizinkan gue baca-baca buku-buku dia yang berbau jurnalistik. Dan mendukung gue untuk menulis dengan lebih baik. Ya iya lah, lha wong dia anak jurnalistik. Terus dia juga sewot karena gue kagak becus motoin dia. Dia protes karena foto-foto gue pada bagus-bagus dan itu adalah hasil karya dia. Nah giliran dia yang gue foto, hasilnya banyak yang amburadul. Tapi gue seneng. Ama dia gitu. Karena walaupun bawel, dia ada gunanya banget.
Kembali ke topik semula. Apa kaitan antara budaya membaca dan koran? Si penulis buku yang gue pinjam dari Ibu Bawel itu namanya Nurudin. Buku yang dia tulis berjudul ”Menulis Artikel itu Gampang”. Dia yaitu Mas atau Pak Nurudin bilang bahwa koran itu macam-macam jenisnya. Yang gue inget cuma dua. Kalau Republika itu lebih banyak memuat berita Islami, sedangkan Kompas lebih seimbang. Istilahnya mah dia alias si Koran Kompas ini tidak berpihak pada satu sudut pandang tertentu. Kaitannya adalah, Mas atau Pak Nurudin ini menulis bahwa sebaiknya banyak membaca berbagai jenis koran agar pola berpikir tidak menjurus pada aliran tertentu saja. Misalnya sering baca Tabloid Tarbawi (eh, ngomong-ngomong itu jenis tabloid atau bukan ya?) jadi “keras” atau kalau menurut gue sering baca majalah kosmopolitan ya pikirannya jadi ikutan kosmo. Dan gue? Gue baca apapun, tapi kalau bahan-bahan kuliah Kimia sialnya sering terlewatkan dan dilewatkan untuk dibaca karena lebih sering bikin pusing.
Oh, belum dijawab ya kaitannya? Jadi, menurut gue membaca koran itu bagus dan lebih bagus lagi kalau tidak fanatik terhadap koran tertentu. Karena gue sendiri ngerasa. Dulu gue suka bilang kalau kompas itu koran yang bikin puyeng, tapi akhir-akhir ini gue baru sadar kalau kompas itu bagus juga. Dari segi penuliasn dan berita yang disajikan. Walau bukan pakar koran, tapi gue berani komentar begitu sebab gue merasa menikmati membaca Kompas. Dan Koran Sindo, gue juga baru ngeh kalau ternyata lucu juga ni koran. Enak buat dibaca. Kue kalle enak? Gabungan tabloid infotainment yang biasanya sih kalo gue bilang tuh gossip abis. Biasa lah artis. Tapi ada beritanya juga. Dan bahkan Sindo pun memberi ruang bebas berkreasi untuk para penulis pemula.
Nah kalau begitu, baca koran itu aktivitas membaca kan? Terus korelasi koran dengan budaya baca? Yaitu tadi, kalo udah suka membaca meluangkan sedikit waktu untuk membaca koran itu bukan masalah. Seperti kata iklan layanan masyarakat Bang Tantowi Yahya. Orang pintar akan lebih banyak membaca. Engga gitu juga sih ngomongnya, tapi setidaknya kalo gue simpulkan sendiri mah ya begitu itu. Karena sudah rahasia umum bahwa budaya baca di Indonesia masih rendah. Budaya masyarakat Indonesia adalah melihat (televisi) dan mendengar (radio). Ini pernyataan pun gue dengar dari entah.
Dan mengenai diri gue pribadi itu apa? Gue akan membudayakan diri gue sendiri untuk membaca buku-buku tentang Kimia, gue kan kuliahnya di Kimia. Karena pada dasarnya kegiatan membaca adalah hal yang baik untuk dikembangkan. Tapi ya engga maksa diri sendiri juga sih. Kalo gue lebih pengen baca koran daripada baca hand-book? Gue lewatin aja deh tuh hand-book. Kalo gue lagi in the mood baca tabloid gosip, itu juga engga masalah. Dan yang lebih cerdas lagi adalah gue engga akan mempermasalahkan bacaan gue tentang seni merawat tanaman hidroponik dan bukannya mbaca diktat kormatografi kolom yang membosankan. Tidak masalah dengan apa bacaan kita. Karena bukan suatu keharusan bahwa seorang profesor tidak boleh membaca majalah komik Donal Bebek dan seorang kuli sopir truk tidak layak membaca koran. Atau bahkan yang ekstrim adalah membaca bacaan ”dewasa” untuk mereka yang ternyata belum ”dewasa”. Yang penting adalah kita bisa mencerna apa yang kita baca. Bagian pentingnya kita ambil. Yang salah kita cari kebenarannya seperti apa.
Kesimpulan gue pribadi adalah, membaca koran bukan cuma aktivitas bapak-bapak yang ditemani dengan rokok dan kopi. Dan koran berisi bermacam peristiwa. Ada yang peristiwa harian atau info tertentu pada waktu tertentu. Karena koran berisi berbagai macam berita, maka menurut gue membaca koran baguis untuk mengembangakn budaya baca. Kalo orang itu bosenan, dengan baca koran dia bisa pilih bagian mana yang mau dia baca. Berat di ongkos dong? Nah, kreatiflah kamu. Numpang baca aja. Pinjem kek. Kalo engga di kantor mana gitu misalnya di ruang tata usaha kampus suka ada langganan koran, atau di kosan pada patungan langganan koran. Irit kan? Membaca tidak perlu boros untuk membeli bahan bacaan. Seperti kalimat favorit Ibu Bawel ke gue ”Put, elu mah suka ngaco. Baca koran gue yang edisi kemaren?”, dan gue akan menjawab ”Engga masalah Bu Bawel. Yang penting gue dapat informasinya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan?”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home