Sunday, 18 March 2007

Protes pada Pemerintah Indonesia

Kamis dini hari, 7 Desember 2006

Pemerintah selama ini ngapain aja sih? Mungkin itu pertanyaan saya yang paling pribadi berkenaan dengan hasil obrolan saya dengan orang-orang – salah seorang dari “orang-orang” yang saya maksud adalah orang yang saya cintai yaitu ayah saya.
Bermula dari ketika saya membaca Editorial Media Indonesia, Rabu 5 Desember 2006 berjudul “Pelit untuk Guru dan Boros untuk Politik”. Lantas berlanjut pada Galeri Pendapat Media Indonesia, Rabu 5 Desember 2006 tentang pro dan kontra poligami, juga pro dan kontra tentang pemerintah yang ingin turut campur mengurusi poligami.
Saya pernah bercakap-cakap dengan ayah saya. Ketika itu kami sama-sama membahas berita di televisi. Dan muncul sebuah pertanyaan dari mulut saya : “Papa, kenapa orang-orang di DPR atau MPR atau apapun lah para pejabat pemerintah itu justru mendapat gaji yang besar. Dan lagi kenapa jika memang sudah ada fasilitas yang sedemikian enaknya, masih juga mereka (pejabat dkk) tampak belum mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata? Bukankah mereka adalah “PEMBANTU” masyarakat? Lantas kenapa masih banyak orang di sekitar sana yang belum menerima perlakuan layaknya majikan – dibantu, dibela, dan didengar? ”
Kemudian ayah saya hanya menjawab “Idealnya memang begitu, karena dengan gaji dan fasilitas tersebut diharapkan pemerintah dapat lebih perhatian lagi pada rakyatnya. Namun kembali lagi, para pejabat itu sebagaimana kita hanyalah manusia biasa. Mungkin pada saat mereka belum memiliki posisi apa pun mereka dengan begitu antusiasnya berkata akan melakukan sesuatu terhadap masyarakat. Dan ketika posisi itu telah di tangan, mereka lupa dengan tujuan semula. Manusia pada dasarnya tempatnya khilaf.”
Saya hanya tersenyum miris mendengarnya. Memang manusia tempatnya khilaf, tetapi adalah menjadi zholim ketika LUPA tersebut justru merugikan orang banyak.
Saya pernah baca, bahwa politik pada dasarnya adalah “Seni untuk Mendapatkan Sesuatu”. Seni. Ya, seni. Dan sebagaimana umumnya seni, bagus tidaknya bergantung pada interpretasi masing-masing.
Kembali pada topik pertama dari hasil bacaan saya di koran, mengapakah pendidikan menjadi prioritas kesekian – jika tidak mau dibilang yang terakhir – sementara untuk kepentingan lain yang di luar kesejahteraan masyarakat justru seolah menjadi perhatian utama?
Untuk topik kedua yang saya baca lagi-lagi dari koran itu yaitu terutama tentang pro dan kontra pentingnya pemerintah ikut mengatur poligami – terutama dikatakan Kepala Negara negeri ini tidak seharusnya meributkan poligami dan bahkan mengatakan kontra dengan mencontohkan keluarga beliau yang ideal.
Saya rasa ini semua juga bermulanya dari pro dan kontra UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Mengapa pula pemerintah bukannya mengurusi hal-hal yang sifatnya lebih pada kesejahteraan masyarakat? Tetapi saya jadi tersenyum dengan mimik mengejek ketika membaca lagi-lagi di media massa (“Tim Golkar Selidiki Rekaman Mesum Anggotanya” – Koran Tempo, A4; Sabtu, 2 Desember 2006), tentang kasus adegan vulgar kader Partai Golongan Karya. “Ngurusin orang lain, kayak sendirinya bener aja” – begitu lah kurang lebih arti senyuman saya membaca berita tersebut.
Adalah perbuatan yang kurang perlu untuk bicara tentang moral pada mulut-mulut lapar – yang selain lapar perut juga lapar akan ilmu. Ilmu apa pun, ilmu duniawi dan ilmu akhirat. Mengapa tidak diselesaikan dulu infrastruktur di setiap pelosok negeri ini yang masih timpang. Jangan disalahkan pernyataan “Kegiatan masyarakat berpusat di pulau Jawa” – karena memang pembangunan di negeri ini belum merata.
Jika memang anak adalah generasi penerus bangsa, apa yang bisa diharapkan dengan fasilitas pendidikan yang kurang memadai di negeri ini? Apa pun bentuk pendidikan itu – formal dan informal, umum dan agama.
Dan bicara tentang pendidikan, keluarga adalah sumber pendidikan anak yang pertama. Poligami yang selama ini saya ketahui masih berpusat pada pro dan kontra dari sisi wanita sebagai sang istri dan pria sebagai sang suami. Tampaknya anak tidak menjadi pertimbangan tersendiri.
Jika salah satu alasan berpoligami adalah karena tidak jua memiliki anak, mengapa tidak melakukan cara lain untuk memiliki anak? Adopsi misalnya. Menjadi orang tua asuh untuk anak-anak terlantar. Anak bukan cuma hasil buah cinta suami dan istri. Mereka yang masih balita dan usia sekolah (usia wajib belajar – sebagaimana dikatakan oleh pemerintah) juga adalah anak. Mengenai kedekatan psikologis untuk pernyataan “Punya anak kandung kan beda dengan mengadopsi anak” saya pikir tergantung definisi masing-masing tentang orang tua. Saya berkata “saya pikir” dan bukan “saya kira” karena itu semua adalah pemikiran saya dengan memposisikan diri sebagai seorang anak dan dalam usaha saya untuk mengembangkan sifat empati saya terhadap anak-anak lain di berbagai sudut negeri ini yang saya yakin masih banyak yang kurang beruntung dibandingkan saya.
Oke, saya rasa tidaklah seimbang jika saya hanya menyalahkan pemerintah. Mengapa masyarakat sendiri tidak mengembangkan diri untuk menjadi lebih kritis? Terutama mengapa sebagian orang yang lebih cerdas dan lebih memiliki kuasa dalam turut membawa penghidupan yang lebih baik di masyarakat masih cenderung apatis seolah berkata bahwa “itu bukan urusan saya”?
Betapa keadaan ideal itu sesungguhnya sulit didapat. Tetapi apa yang sulit itu belum tentu mustahil bukan? Semua kembali pada diri sendiri – ingin ikut serta menjadi “rahmatan lil alamin – rahmat bagi semesta” atau cuma menjadi hasil karya Tuhan yang tidak berkembang, baik berkembang dari segi pemikiran maupun dalam kehidupan sosial karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial?

Herlinda Putri – mahasiswa FMIPA jurusan KIMIA UNPAD.

1 Comments:

Blogger duniaputri said...

tulisan ini dibuat ketika sedang booming beita kasus poligami Aa' Gym dan ketika bahkan pemeintah berniat membuat kebijakan baru tentang penikahan. dikirim via email ke suatu media online, tetapi tampaknya tidak dimuat.

3/18/2007 4:02 pm  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home