Saturday 6 June 2020

Tentang Cinta dalam Tiga Seri

#MenulisDiSepanjangBulanJuni #HariKelima #BermainSet #MainTrilogi




Yang Abadi


Tahukah kamu? Menjadi immortal, alias abadi tak kunjung mati, adalah hal yang menyebalkan. Kadang, merepotkan. Orang-orang datang dan pergi, dan mereka yang bisa mati cukup tak perlu peduli. Tak perlu sibuk menyongsong yang datang dan melepas yang pergi.

“... “

Ah. Bising sekali. Suara apa itu?

Sampai di mana tadi? Sampai yang datang dan yang pergi.

Terkadang ada yang datang tanpa diundang. Sebagian bilang, tipe seperti ini datang untuk memberi pelajaran. Sebagian lainnya bilang, mereka datang untuk melatih kesabaran. Kukira, tak ada yang mengakui bahwa semata kepolosan yang terlalu akut penyebabnya. Bila memberi uang, atau pengetahuan, atau setidaknya kebahagiaan; tak mengapa. Kalau hanya menambah kerumitan hidup yang tidak perlu, untuk apa?

Ada pula yang pergi tanpa bilang-bilang. Sebagian bilang, waktunya telah usai. Sebagian lainnya bilang, itu adalah takdir. Satu-satunya kepergian yang sebenarnya alami tetapi mengerikan adalah kematian. Mengerikan bagi yang tertinggalkan.

“s.e.p.e.r.t.I.m.u.”

Gerah betul rasanya di sini. Aduh, mana ingin pipis lagi. Gak dosa kan, orang ingin mati tapi sebelumnya ingin pipis dulu?

Sabar, ya. Tunggu aku selesai pipis.

Pikirmu, “Dasar pengecut! Hanya penakut yang memilih mati.” Tidak juga. Adakalanya kebosanan sudah mengerak, atau lelah sudah menembus sumsum tulang belakang. Juga, bukankah kematian adalah satu-satunya hal yang dapat dipilih? Karena, ya sejauh ini tak ada orang yang dapat memilih kelahirannya.

[ … ]

Sebentar, sepertinya ada yang memanggilku. Siapa itu?

“NADIA!”

Sepertinya aku kenal suara itu. Kira-kira, akankah dia menjumpaiku dalam keadaan hidup?

Dalam keadaanku yang hidup.

“NADIA! BUKA PINTUNYA, NAD!”

Ah. Kenapa pintunya digedor-gedor, sih. Bising sekali.

“NAD! NADIA! BUKA PINTUNYA!”

Suara gerakan-gerakan yang hendak membuka paksa pintu semakin mengganggu.

Bunyi dobrakan pintu menjadi suara terakhir yang berhasil melintasi telingaku. Syukurlah. Semoga kali ini aku berhasil menemuimu di sana. Karena kamu tak kunjung menjemputku, aku saja yang menyusulmu.


---  300 kata ---



Yang Pergi


Hanya ada lima puluh orang yang menyaksikan pernikahanku. Sebagian besar dari keluarganya, sisanya dari pihak teman-teman kami masing-masing. Perayaan pernikahan kami jauh dari hiruk-pikuk, dan pelengkap jiwaku terlihat sungguh menikmati pesta yang tak sibuk.

Karena aku yatim piatu, aku memilih membiarkannya mempersiapkan segala sesuatunya. Kedua orang tuanya, yang kini menjadi orang tuaku, akhirnya luluh dan menerimaku sebagai menantu mereka setelah penantian sekian purnama. Tema pernikahan, bagian dokumentasi selama resepsi, bagian katering; semua adalah pilihannya.

“Kalau kamu kaya, kamu pasti terlihat tampan senantiasa.” hanya milik mereka yang lemah. Rahasianya ada pada dialog yang terbangun antar sesama lelaki. Tapi, gak juga bawa-bawa puisi aku ingin mencintai anakmu dengan sederhana. Yang sederhana itu hanyalah Rumah Makan Padang. Dan biasanya, di sana, harganya tidak sederhana. Jadi, yang benar adalah, kalau kamu kaya, kamu bisa mengambil hatinya dengan lebih taktis dan strategis.

Walau begitu, sebagian manusia memang diciptakan untuk bisa mangap tanpa ada faedah dari kata-kata yang disemburkan.

Lo hamilin dia duluan? Main kawin aja, gak pengumuman.”

Lo-nya aja, gak aktif di grup. Gue kan udah pengumuman” balasku sambil lalu.

“Kawin lari, lo? Jauh bener, kawinan di Ostrali.” sahut rekan lain.

Lah dia yang pengen.” jawabku sambil memperlihatkan ekpresi wajah mengejek. Yang mendapat jawabanku tadi melempar botol minuman kosong ke arahku.

Demikianlah ledekan, pujian, dan sekadar ucapan selamat datang silih berganti, hingga akhirnya berhenti.

Kutatap sekelilingku. Wow. Aku meluncur sambil berbaring….

Ugh. Napasku semakin berat. Semakin sulit rasanya menarik napas. Apakah ini karena virus korona? Bukan, tadi mobilku disambar truk. Ah. Sial. Kalau aku mati saat wabah begini, pasti merepotkan banyak orang.

Sayup-sayup kudengar jeritan dan teriakan.

“BANG! JANGAN PERGI! KAMU JANGAN BERANI-BERANI NINGGALIN AKU!”

Maafkan aku. Sayang. Aku tak bermaksud meninggalkanmu. Aku tentu tak ingin meninggalkanmu.

Napasku semakin terasa menyulitkan.

--- 300 kata ---



Yang Kembali


“Halo…. Lama gak jumpa. Kirain, Mbak sudah segeran.”

Nada suaranya penuh ramah-tamah.

Terdengar suara pintu diketuk, sebelum akhirnya terbuka. Yang menyapanya tersenyum sebelum mengalihkan pandangannya. Senyuman yang tulus dapat memancar dari ekspresi mata, walau tertutup kacamata lab anti virus walau gestur bibirnya tertutup masker medis.

Seorang suster rupanya yang mengetuk. Sang suster terlihat menganggukkan kepalanya sedikit seraya memberi tanda dengan selembar kertas di tangannya.

“Ini dari Dokter Anton, Dok.” Suaranya terdengar berat.

Aha! Suster laki-laki.

‘Suster laki-laki, apakah ngesot juga?’ gumamnya samar-samar.

“Iya, ya. Kenapa hanya suster perempuan yang ngesot. Mungkin, kita perlu membuat film setan yang gak membeda-bedakan jenis kelamin.”

Sejenak, hening yang asing melingkupi ruangan.

“Dokter kok tau, saya mikirin apa?” tanyanya datar.

“Dokter Yuli, gitu.” balas yang ditanya. Kilau semangat kehidupan memancar dari matanya.

Sungguh indah kehidupan. Selain menguap, rupanya senyuman dan semangat juga bisa menular. Asal jangan virus korona yang menular.

“Kemarin aku dengar suara tangisan. Padahal aku gak menangis. Sudah capek. Sedang capek.” sahutnya tanpa tedeng aling-aling.

Dokter Yuli mengerjapkan mata.

Dimulai dengan tes MMPI, suatu tes psikometri yang digunakan untuk mengukur psikopatologi orang dewasa. Dilanjutkan dialog di antara keduanya, untuk pendekatan psikologi pada pasien. Berakhir dengan selembar resep obat berpindah tangan. Selesai sudah.

“Ini… tapi ikut resep aku ya, Mbak. Biar bisa bobok pules gak dengar yang aneh-aneh. Aku khawatir Mbak sudah mulai berhalusinasi. Jadi, halusinasi itu bisa terpisah. Halusinasi audio saja, halusinasi visual saja. Halusinasi visual ini, ada yang bilang penampakan. Mungkin itu bisa saja terjadi, selagi semua baik-baik saja. Mbak ini sudah termasuk gak baik-baik saja. Tolong, ya Mbak.”

Sang dokter memohon dengan suara gelisah.

“Kalau ingin mati, sebaiknya bukan dalam status sebagai pasienmu ya, Dok.” ucap sang pasien gemetar.


---  300 kata ---



Ruang Gelap Hatimu, 06062020

Labels: , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home