Tuesday 22 June 2021

Persiapan Menuju Makan Siang

(hari dua puluh dua #IbadahMenulis di sepanjang Juni)


Aku mengedip beberapa kali sebelum akhirnya membuka mata lebar-lebar.

‘Ingin pipis. Ingin main game. Ingin? Oh, lapar.’

Bergumam pada diri sendiri adalah bagian dari indahnya hidup saat baru terjaga dari tidur yang enak banget.

Geratakan tanganku ke sekitaran lantai, mencari-cari ponsel. Rupanya jam sepuluh lebih sekian menit.

Dan hari Senin.

Kubuka ponsel, lalu aplikasi perpesanan Teletelegramgram, lalu kukirim pesan suara.

“Aduh, perjalanan ketemu jombi lagi nih.”

Setelah si pesan suara terkirim, aku bingung sendiri.

Itu suara kenapa deh.

“Aaaa, eeeeuuuu, hhhaaa…”

Mangap-mangap aku membunyikan suara-suara sambil senam muka.

Ngga ada ngajar, revisi pesanan ghostwriting belum ada tanda kedatangan, ngga ada orang pesan dimsum, ngga…?

Kulihat ada pesan balasan datang, sama-sama berupa suara.

“Iya, demi makan siang berkebudayaan, mari kita bertualang menghindari para jombi. Mau makan apa? Berapa abad lagi kita bertemu? Dan kita akan merapatkan barisan di mana?”

Aku mendengar balasannya sambil masih mengumpulkan kesadaran.

Namun, rupanya aku sambil merekam ini ocehan.

“Mabok engga, linglung mah iya.”

Telepon masuk langsung menjadi balasan kiriman pesan suara yang tak disengaja tadi.

“Ya, gimana gimana gimana?”

Suara di seberang sana membalas dengan tawaran menggiurkan.

“Kamu mau ngumpulin nyawa di unitku? Ini aku masih ada roti isi tuna dan mayones, lalu kaleng kopinya Katie ketinggalan di sini, dan dia sudah merelekannya untuk dihabisi.”

Hanya dalam kurang dari seperempat jam aku sudah muncul di TKP.

“Halo pagi kesiangan Senin yang indah.” ucapku pada si hidangan roti tuna mayones dan secangkir kopi hitam tubruk di depanku. Rokoknya jangan lupa, agar bahagia.

“Bagaimana, sudah bahagia?” tanya si pemilik unit yang aku datangi ini.

“SANGAT BAHAGIA. Yah, sebelum dipaksa ke sini pun aku sudah bahagia.” sahutku sambil tersenyum lebar.

“Bagus.” responsnya singkat.

Inilah, CARPE DIEM. Pikirku dalam aliran waktu terasa seperti ada bunga-bunga di mana-mana.

“Eh kamu kok ngga ikutan mengunyah apa, gituuuu?”

Baru kusadari, sedari tadi aku saja yang sibuk sendiri.

“Aku sudah duluan. Dengan roti tuna mayones yang sama.”

Sambil manggut-manggut, aku memutar ulang aktivitasku yang tadi berjibaku dengan segala kebahagiaan kecil Senin kala peradaban: nyeduh kopi tubruk.

“Aku juga bahagia, melihat teko listrik kamu ini. Sungguh produk hasil kebudayaan yang menarik, bisa untuk buat air mendidih demi menyiram kopi.”

Dia akhirnya bergeser ke dekatku, yang melantai tepat di depan televisi. Bukan buat nonton TV, melainkan, karena di situ area yang luasnya cukup untuk menaruh pantat dan asbak dan kopi tubruk dan si roti tuna mayones.

“Kamu habis ngapain tho, kok kayak Bandung Bondowoso habis buat seribu candi gitu.” celetukan setengah bertanya muncul darinya yang ikutan menaruh pantat di dekatku.

Menaruh pantat, maksudnya duduk.

“Oh, itu, aku baru ingat kalau sekarang sudah musim pergantian tahun ajaran, terusnya, batas waktu draf si “Perjalanan Menuju Tomohon yang Tangguh” memang masih minggu depan tapi karena limpahan dari si Ayu itu loh yang aku bilang buku-buku how-to sama di otobiografi dan biografisnya sekalian. Nah, jadinya…”

Aku menguap lebar, lantas menyesap kopi sedikit, sebelum melanjutkan, “… mau konsentrasi mabar sama yang waktu itu kubilang, si klub Jakarta Selatan Harga Diskon. Lha kamu sih ngapain?”

Sehabis bertanya, aku menguap lagi.

Lambung terlapisi, kopi tubruk masuk, suplai nikotin aman, dan tersisa bengong saja ini.

“Sudah beres kan? Sini, mau lihat isenganku sama si ular?

Kami berpindah ruang, ke ruang kerjanya.

Jauh sebelum ada wabah, kejadian seperti “Carpe Diem” yang kulakukan ini sudah biasa kok.

Termasuk aktivitas “menghindari jombi”, yang maksudnya kami menghindari kerumunan orang-orang, lebih ke agar tidak ada yang membajak jalur untuk diajak mengobrol saja sih.

Dia, unitnya lebih dari unitku yang hanya ukuran kamar studio.

“WOOOOW. …. Phyton sama Anaconda apa bedanya sih.”

Sebentar, ini bukan ular yang ular. Ini, programming gitchudeeeeeh.

Kami jadi asyik berjamaah, barengan sambungan internet.

Dan terus asyik. Asyikin saja.

Hingga ekor mataku melihat penampakan waktu di sudut kanan bawah layar monitor.

“Lhoooooo? Ini apa-apaan ini kok sudah ada angkat satu muncul? P titik M titik, pi em. … hmmm, apakah kamu udah lapar? Aku masih ngantuk, eh?”

“Tidur gih sana. Ini masih mau rapikan si ular piton gemas dulu, rencanaku mau pamer di grup itu targetnya sebelum jam lima sore ini, tetapi hanya semacam teaser. Anggaplah itu tanda bahwa aku masih hidup, selain agar aku tidak kalah eksis dengan mereka yang baru-baru dan masih segar.

Balasannya pada ‘rasa kantuk’ yang timbul-tenggelam sedemikian lengkap kurasa.

“… yang bulan kemarin aku bilang itu, si Yosi itu…”

Sebagian besar dari ucapannya sudah mulai tak menembus gendang telinga.

Mungkin karena aku sudah meraih bantal dan kain pantai, setelah sebelumnya menggelar karpet mini agar bila menggeletak di lantai tidak langsung bertemu ubin.

Di mana? Di depan televisi yang hadirnya hanya bagaikan hiasan belaka.

“Ini TV dijual saja bagaimana? Aku taruh di grup jual-beli barang seken kualitas ori, mau?”

Sempat-sempatnya aku bertanya, saat sudah dalam posisi Sleeping Buddha.

“Lho ngga bisa, itu punyanya Sisi itu yah walau ngga pernah dia ambil sampai sekarang.”

“Whokeeeh, sepertih ituh…. HWAAAAAHHHH” balasku sambil setengah mencoba untuk menahan dari hasrat ingin menguap cihuy alias menguap super lebar semi senam wajah. Jawabannya atas pertanyaanku membuatku teringat si pemilik televisi tersebut.

. . . . . . .

Dunia boleh gaduh, langit boleh runtuh. Hidup, ya gitu itu.

Aku sangat bahagia, karena akan tidur lagi sejenak sebelum makan siang.


Provinsi Bigot Jawa Barat,

21 Juni 2021

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home