Monday 7 June 2021

Malam Ini Rumputnya Sudah Dirawat

=== prolog Malam Merumput ===

(hari tujuh #IbadahMenulis sepanjang Juni 2021)

 

“Ada yang jatuh, tetapi bukan hujan.” gumamku sambil menghela napas biasa saja.

Ini malam Senin, mungkin para pengunjung terjegal slogan kekinian “Besok Senin”.

Aku memilih tempat di sudut kafe ini. Agar bebas melamun, tentu saja. Juga bebas dari gangguan yang lewat-lewat. Yah, aku mudah disenggol stimulus.

“Terima kasih, ya.” sapaku pada seorang pelayan yang membawakan asbak baru yang masih kosong. Dan masih bersih, tentu saja.

Pelayan itu menganggukan kepala, semacam caranya untuk mengucapkan, ‘ya, sama-sama.’

Namun, semburat senyuman singkat yang mencurigakan tertangkap ekor mataku.

Apakah dia mendengar gumamanku barusan?

Entahlah.

Pelayan tadi pergi, dan aku kembali pada kesendirian di sudut sini.

Terasa ada embusan angin yang membawa bau hujan.

Sepertinya…?

Dan rupanya benar.

Kebetulan yang bukan kebetulan, hujan memang sudah mulai hadir. Walau, masih sebatas gerimis, dan tipis-tipis.

Memang dampak pemanasan global ini nyata adanya. Hujan di bulan Juni kini tak lagi mustahil.

Masih ada yang belum beranjak dari romantisme masa lalu?

Selamat, yha~

Asbak sudah datang. Mari nyalakan sebatang teman.

Sebelah tanganku bersama rokok, sebelah tangan lainnya kuarahkan menjulur menjauh, jelas untuk menyambut tetesan gerimis dong.

Malam Senin yang serba-serbi. Tidak sampai ada yang merampas rokok di tanganku.

“WOI.”

Ah, orang ini lagi. Demikian kubuat ekspresi wajahku untuk mengatakan itu.

Sekitar setengah jam mungkin berlalu sudah.

Berlalu dengan rangkuman obrolan mengenai apa saja yang yang sudah terjadi di antara kami, selama sekitar setahun dua lebih, tidak pernah bersua tatap muka fisik seperti ini.

“Yoi, banget. Literasi, yang pakai nasi. Lanjut, bonus basa-basi.” ucapnya sambil terbahak. Selepas mengucapkan itu, dia meraih ponselnya, “Bentar yak, ini game dulu. Kan mendingan main game sih daripada mainin anak orang.”

Giliranku yang tersenyum lepas. Tidak berubah, masih seperti sebelum wabah.

Berarti sehat belaka dia.

Saat hendak kulihat informasi jam di layar ponselku, saat itu pula kulihat notifikasi di WhatzUpp plentang-plentung bermunculan.

Sungguh besok benar-benar Senin, betapa kutukan orang-orang modern akan Besok Senin nyata adanya.

“Main apaan sih tuh?” tanyaku iseng.

Urung kubuka si aplikasi perpesanan.

Besok Senin. Ya terus kenapa.

“Oh, em el doooong. Mobile Legend. … ah fakk asuuuw, diem dulu dong konsen ini.”

Giliranku yang meraih ponsel. Lagi. Dan kubuka aplikasi Inkstagram. Buat Live Show si Inkstastory, ah. Kekinian.

“Eh eh eh. Pelanggaran. Muka dong, stikerin.” sentaknya menghalangi dengan cara melambai dadah-dadah ke arahku. Teparnya, ke arah ponselku.

“Ih, terkenal. Takut ya, ketahuan barengan rakyat jelata.”

Sambil kuklik selesai, kukatakan itu padanya.

“Apaan sih manyun-manyun segala, manja deh.” balasnya masih sengit. Sengit ke si permainan. Dia memang begitu anaknya. Ekspresif.

Sebatang rokok usai sudah.

Dia pun selesai bermain di ponselnya.

“Ah. Resek. Pengkhianat kabeh. Ini genk ainggh.” serunya sambil menatapku usil.

“Nah nah nah, ngapain tuh mukanya kayak gitu.” balasku masih merajuk sok imut.

Ya itu tadi. Literasi pakai nasi. Karena kalau belum ketemu nasi, langit serasa mau runtuh. Bahwa wajah ini,” ucapnya seraya menggerakkan tangannya, seolah menekankan bagian ‘wajah ini’. “tidak ingin tampil di medsos pribadi. Itu hak prerogatif dong. Ngga minta izin pula. Sungguh budaya permisif.”

“Tolong. Sederhanakan itu omongan. Ngga sampai otak saya.” sahutku sambil lalu, dan sambil manyun.

“Ngga masalah. Ngga ada masalah sama sekali. Kamu kan melakukan itu semua untuk bertahan. Survival, mamen.”

Aku tertegun.

“Nangis nih.”

Celetukan ini membuatnya tertawa terbahak-bahak.

“GELAY, IH.”

Dia ucapkan itu di tengah tawanya yang sedemikian lepas.

Kubalas dia, “Kalau sekarang bunyinya berubah jadi, ‘Ada yang jatuh dan ternyata air hujan. Aku tertipu ilusiku sendiri.’ Puas?”

“Rumput orang lain kenapa terlihat hijau? Ya karena kita tidak melihat rumput kita sendiri. Kan? Sungguh ngapain.”

Wah. Ucapannya terdengar serius.

“Gitu ya?” tanyaku bego.

“Woiya. Jelas.” jawabnya. Kali ini sinis, terasa di telingaku. Namun, tidak ada pengaruh apa-apa bagiku. Sudah kukatakan. Dia, memang begitu orangnya.

“Jadi, bagaimana?” tanyaku lagi.

“Ya ngga bagaimana-bagaimana, dong. Kamu tanyakan pada dirimu. Pada hatimu, pada hasratmu. Pada kepalamu, pada segala yang membuatmu menimbang-nimbang.” Kali ini jawabannya, serius.

“Ngga apa-apa kan, capek?” Masih nekat, aku bertanya.

“Lempar asbak nih, lama-lama.” Akhirnya, jawabannya sudah kembali tidak serius. Anehnya, jawaban ini terasa lebih nyaman didengar. Daripada segala ucapan sabar, tenang, bersyukur, dan sejenisnya.

Hadirnya menghalau sensasi riuh-rendah yang kurasakan campur aduk, di kafe ini.

“Bentar lagi duluan, yak. Teruskan saja melamunnya. Santai lah itu.”
”Lho, mau ke mana? Kenapa?” Untuk yang satu ini, pertanyaanku murni, penuh rasa penasaran karena ingin tahu dia hendak melakukan apa.

“New project. Halakh. Proyek tengkiu. Cari iklan saja deh. Sambil agar ngga sepi otak. Nanti deh, diceritain.”

Dia akhirnya berlalu.

Aku kembali dengan kesendirianku.

Sendirian bukan berarti kesepian.

Ramai. Riuh. Gaduh. Penuh.

Kepalaku.


(neto: 805 kata)

Provinsi Bigot Jawa Barat

7 Juni, 2021

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home