JAKARTA UNDERWEAR, eh - UNDERCOVER : FILM VS NOVEL
Meskipun memiliki judul yang sama, jelas sudah bahwa Jakarta Undercover yang selanjutnya kita singkat dengan Jey-U (not Jey Lo a.k.a. Jennifer Lopez lho yaa!) memang memiliki sub plot sama yaitu SISI DALAM JAKARTA yang tidak semua bisa tahu dan mungkin TIDAK SEMUA PENTING untuk diketahui.
Jey-U adalah sebuah potret tentang sisi gelap jakarta yang merupakan sebuah kota metropolitan dan juga ibukota suatu negara yaitu Indonesia. Bahwa, segala bisnis haram dan dunia hedonisme mendapat porsi lebih di Jakarta. Oke, bukan itu intisari yang akan kita ulas di sini. Kita akan kupas Jey-U dalam bentuk novel dan film.
Adalah kebetulan, bahwasanya saya memiliki waktu lebih dan membaca buku Jakarta Underwear, upss... lagi-lagi salah. (jakarta Underwear - footnote by Dinchews,2007 - karena dalam novelnya memang banyak dibahas tentang ISI DI BALIK UNDERWEAR. anda tahu underwear bukan?). Setelah itu, saya berkesempatan menonton film-nya. (terima kasih pada tim huru-hara yang suka pesta dan hedon, atas traktirannya...).
Perbedaan mendasar dari keduanya adalah bahwa, dalam buku Jey-U digambarkan perjalanan rohani seorang penulis bernama Moammar Emka dari satu tempat clubbing ke tempat clubbing lainnya. Dan bahkan perjalan wisata rohani itu tidak selalu melulu harus pergi ke sebuah lokasi, tetapi bisa juga dipesan. yaa, sekarang khan tekologi sudah begitu canggih. kenapa engga bisa sewa-bayar-dimuka dan memesan? Sedangkan dalam film, ada suatu tema yang berawal dari sebuah tempat dugem - berawal dari cara mencari nafkah dengan menjadi sexy-dancer. Entah juga siapa penulis skenarionya. Namun, benang merah dari keduanya adalah sama. Bahwa dunia malam adalah lahan yang tidak pernah beristirahat di malam hari. Ketika kesenangan semu dan kenikmatan duniawi bisa membuat penat hilang. (kalimat ini terinspirasi dari lirik lagu Let's Dance by Melly Goeslaw feat. BBB).
inih salah satu contoh gambar yang nyeni. akuh dan Lee powsh bersama... dududu
.
Bukan semata menuduh sepihak bahwa Jey-U adalah potret nyata keaslian di balik Sebuah Kota Jakarta. toh saya bukan seorang pengamat film atau apa. Ide. itu yang saya lihat dari film Jey-U. kenapa? karena sebuah ide mengantarkan terbuatnya film tersebut. seperti halnya dulu bang Emka memiliki ide untuk membuat novel Jey-U.
Bukan berati tontonan seperti Jey-U menunjukkan budaya rendah atau apresiasi penonton yang juga rendah. Tetapi, seperti analogi makan. kita tidak selalu memakan makanan enak dan sehat bukan? Begitu halnya dengan nonton film. Ini bukan berarti pembenaran terhadap penikmat film BokeP lho yaa...
Untuk hari film nasional yang telah lewat begitu saja, 30 maret kemarin. mari, kita dukung kembali kejayaan FILM INDONESIA.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home