Wednesday 17 June 2020

Biro Jodoh Digital

Ibadah Menulis di tanggal syantiek, 16 Juni 2020
Tulisan keenambelas, bercerita yang kelimabelas.


Hari ini adalah jadwal Renny ke Markas. Karena sekarang adalah tugas bagiannya untuk berbelanja kelengkapan kebutuhan sehari-hari di Markas. Selama sedang musim Wabah Zombie Korona, walau kini sudah memasuki babak selanjutnya yaitu Si Normal yang katanya Baru, Markas ditutup aksesnya bagi siapa saja kecuali bila ada keperluan darurat. Jadi, sekali di setiap minggunya, salah satu di antara kami bertugas seperti yang tadi di awal kujelaskan.
Sebenarnya yang dimaksud Markas ini hanyalah sebuah unit apartemen di Kalibata City… betuuuuuul, di Jakarta yang penuh keriuhan dengan atau tanpa Virus Zombie Korona akibat padatnya manusia menghuni jakarta.
Sebuah unit yang sebenarnya mungkin hanya sangat sedikit lebih luas dari unit apartemen ukuran studio, tetapi ajaibnya dapat terbagi menjadi 3 ruangan. Penghuninya ya hanya Sang Paman seorang. Baik aku, atau Renny, atau Katie, tidak menghuni tempat itu sebenarnya. Walau seringnya, bila kami sedang diburu waktu, berakhir dengan bermalam selama beberapa hari di sana. Tak melulu harus kami berempat, kadang hanya dua di antara kami. Tepatnya, yang kebagian jatah jadi asisten Sang Paman.
Lhoh, ngapain?
Iri bilang, bos!
Esalah…
Kerja, bos!
Jauh sebelum Wabah Zombie Korona memaksa orang-orang bekerja dari jauh, alias Remote Working, Sang Paman sudah bertahun-tahun melakukan pekerjaan semacam itu. Terkadang, dia pergi keluar Markas sesuai panggilan.
Entah sejak kapan mulanya, dan siapa pencetusnya, tetapi kami sudah terbiasa menyebut lokasi tujuan itu Markas. Kami itu isinya ya aku, Renny, dan Katie. Dan sejumlah orang-orang yang datang dan pergi, atau saling terhubung di antara kami masing-masing. Adapun kami bertiga, satu sama lain akhirnya saling terhubung, adalah karena awalnya terhubung oleh Sang Paman. Sang Paman, alias Paman, adalah nama panggilan yang biasa ditujukan padanya. Panjang dongengnya, asal usul nama ini. Asal mula dia dipanggil Paman.
Singkat cerita, kami berempat ini bagaikan Charlie dan The Three Angels di Charlie’s Angels. Sang Paman adalah Charlie, kecuali bunuh orang, yang sebenarnya tentu tak pernah ada pesanan demikian, bila Sang Paman memanggil kami bertiga senantiasa bisa menyanggupinya. Apalagi kalau ada duitnya. Alias, proyek berbayar.
Nah! Begini, ceritanya.
Beberapa jam silam Renny meneleponku dan meminta bantuanku untuk menggantikan tugasnya kali ini. Aku menyanggupi permintaannya.
Aku tak tahu apa saja yang diobrolkan antara Renny dan Paman, atau Katie dan Paman. Yang jelas, kalau aku dan Paman sih seringnya terlibat obrolan nirfaedah. Kadang membahas mengenai apakah lalat yang ada di dalam gerbong kereta tetap terbang seperti helikopter atau bisa diam saja tanpa perlu menggerakkan sayapnya. Kadang membahas prosentase kandungan keju dalam keju yang serius, atau kandungan cabe dalam saus sambal botolan.
Pun kali ini, seperti biasa.
“Pernah tahu MIRC?” tanya Paman padaku.
“A.S.L., please…” balasku sambil tertawa kecil.
“Kamu tahu, ASL itu apa?” tanyanya lagi masih dengan intonasi datarnya yang khas.
Owh, jelaaaaas…” ketauan deh umurnya, yekaaaaan.
Age, umur. Sex, jenis kelamin. Location, ya lokasi alias orang mana.” jawabku segera.
“Nah…”
Belum juga Paman memulai, aku sudah menyabot ucapannya.
“Lagi ngapain kamu, itu?”
Jadi, biro jodoh selepas era di koran-koran itu, kini banyak ragamnya.” tuturnya mulai menjelaskan.
“Dan lagi, kita ini sekarang sudah hidup di zaman teknologi. Tho…”
“Ada internet…” sahutku menyelanya.
“Betul. Internet. Yang mau aku bahas bukan hanya MIRC saja, tetapi kelanjutan dari yang pola-polanya seperti MIRC.”
“Heh?” Aku berujar dengan ekspresi bengong.
“Ada Bee Talk, ada Tinder, ada WeChat, ada Grindr. Mungkin masih ada lebih banyak lagi, yang semalam aku coba hanya BeeTalk, WeChat, dan Tinder. Karena aku ingin mencoba menjadi perempuan di layanan-layanan itu sehingga bisa mendapat respons dari cowok-cowok, jadi aku tak mencoba Grindr. Itu pun sebelumnya aku sudah browsing, tentu saja. Nah. Kesemuanya ini berupa aplikasi, dan kita bisa mengaktifkan fitur pencarian dengan menyalakan lokasi kita.”
“Oh! Teman ada yang pernah pakai Tinder. Aku pernah mencoba main BeeTalk.” sahutku menambahi.
“Sebenarnya, aku memang sedang suntuk aja. Yang dari UNICEF Indonesia belum ada kabar. Tadinya, kalau semalam sudah ada jawaban, aku ingin meminta Renny untuk tukar jadwal denganmu kali ini. Jadi, aku bisa sekalian bahas denganmu. Seperti yang waktu itu kita kerjakan untuk HIVOS. Tapi memang aku gak ajak Katie, dia masih sangat sibuk dengan pacar barunya.”
“Ini UNICEF mau ngapain lagi, sih?” tanyaku penasaran, walau selang berapa detik kemudian aku menatapnya dengan wajah haus gosip.
“BARU LAGI?”
“Mereka sekarang sedang mencari kesibukan, seperti kita ini… UNICEF… dan ya, benar. Lagi. Baru lagi. Sekarang sih berondong, tapi.” balas Paman dengan wajah datar tanpa tawa.
“Maksudmu agar hidupnya jadi sibuk, selain bernapas ya… kayak Katie. Sibuk. HAHAHAHA!”
Kami tertawa lepas bersama. Tak ada yang lucu, mungkin. Namun, rasanya saat itu sungguh melegakan. Bisa tertawa lepas tanpa beban, pada hal yang sebenarnya entah lucunya di mana bila diceritakan ulang.
Kami tak peduli dengan urusan Katie. Maka, obrolan selanjutnya ya tentang keisengan Sang Paman semalam.
Mengapa?
Sebab kami saling peduli, tetapi sekaligus juga saling tak peduli.
Selagi tak membuat miskin, atau masuk penjara, kenapa harus pusing dengan apa yang dilakukan orang lain. Bahkan atas nama sayang atau pertemanan sekali pun, anti omong kosong adalah kesepakatan tak tertulis yang berlaku di antara kami.
“Oke. Aku lanjut, ya…” ucapnya selepas kami selesai tertawa lepas bersama.
“Bukan, UNICEF kabarnya sedang mau mengurusi persoalan kekerasan pada anak selama instruksi perbanyak diam di rumah. Juga ada kaitannya dengan kecurigaan pada tren peningkatan jumlah perkawinan anak.”
Aku menggut-manggut sambil berkata, “Asyik nih. Seru. Semoga dananya seru juga.”
“Sampai di mana tadi ceritaku? Oh. Karena aku semalam suntuk berat. Nah. Di semua yang aku coba itu, aku masuk jadi cewek kan. Lalu, cowok-cowok mulai menyerbu, tentu saja. Aku pasang dong, fitur pencarian berdasarkan lokasi. Macam-macam itu, yang menyapa. Dari mulai sekadar menyapa hingga meminta foto. Tentu tak luput dari yang mengajak ngobrol mesum.”
Aku memicingkan mataku dengan ekspresi, ‘sudah kuduga’.
“Sebentar Pam,” selaku, “apakah kamu mengetahui sesuatu tentang Carl Jung? Apakah Jung memiliki pendapat menarik pada urusan purbawi persebodian?”
“Aku belum banyak membaca Jung. Tapi kita bisa selidiki itu setelah ini.”
Okesip. Lanjooooot.” sahutku antusias.
“Seperti biasa, di jam tengah malam, ucapan sapa klasiknya adalah ‘lagi ngapain’ disusul dengan ‘kok belum tidur’. Ya kujawab saja, aku sedang anu anu anu. Bekerja. Mengetik. Menerjemahkan. Menyusun laporan tetapi masih menunggu data lanjutan. Dan sebagainya. Beda-beda lah, sekenaku saja. Lalu kutanya balik dong, mereka. Kalau kamu, kok jam segini belum tidur?”
Aku menyeringai lebar dan Sang Paman masih asyik bercerita.
“Beberapa cowok menjawab hendak menunggu malam; katanya, mau ibadah dini hari.”
Seringaiku semakin lebar. “Padahal sedang wabah begini, ya. Sempat-sempatnya mereka itu.”
“Aku juga ga paham.” ucapnya merespons celetukanku.
“Kan aku sih hanya sedang suntuk. Kelanjutannya, beberapa di antara beberapa yang tadi itu, ada yang bertanya apakah aku juga sama seperti mereka yang hendak ibadah dini hari. Kujawab lugas, ‘tidak’. Masih ditanya lagi. Kenapa? Memang agamanya apa?”
Trus?” sergahku tak sabar.
“Kujawab, aku non-believer.”
Tawaku pecah.
Di sela tawaku, dia melanjutkan, “JREEEEEENG! Lalu suasana berubah…”
”HAHAHAHAHAHAA”
“Sebagian ada yang mulai mengajak untuk ikut agamanya, sebagian lagi ada yang mulai berkhotbah. Namun, ajaibnya adalah, nyaris sebagian besar dari mereka sama-sama meminta nude-picture.”
Tawaku semakin lepas. “YA LAGIAN, JAM SEGITU. KAYAKNYA SIH KAMU DIKIRA CEWEK DARI ENTAH BERANTAH YANG SEDANG NGE-LONTE.” seruku di sela-sela tawa sambil tak menyadari bahwa volume suaraku sudah meningkat.
“Iya… kasihan ya, mereka…” ujar Paman dengan suara yang sudah tak terlalu datar. Ada senyuman iseng di wajahnya.
“Kamu minta duit ga, ke mereka yang mesum-mesum itu?” tanyaku masih cengengesan.
“Wah… kok aku ga kepikiran…” jawabnya dengan ekspresi polos.
“HAHAHAHA! Yasudah, nanti malam coba lagi. Ingat! Sambil usaha minta duit, ya!” sahutku sambil beranjak ke wastafel untuk mencuci peralatan bekas makan siang kami.
“Kalau mereka ga mau, gimana…” tanyanya. Kali ini ekspresi bengong yang tampak.
“Ya coba saja. Kan usaha, namanya juga…” balasku sambil senyum-senyum ke tumpukan peralatan makan yang hendak kucuci.



[1370 kata menurut WORD COUNT, dengan segala absurditas di dalamnya]

=== Di Sudut Gelap Kepala Manusia,
Diselesaikan pada 17, bulan Juni, tahun 2020 ===

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home