Sunday 14 June 2020

Malam Minggu dan Sepotong Cinta

#IbadahMenulis Ketigabelas (kalau beercerita sih yang ke-12) Cerita Rasa Campursari


Konon menurut cuitan di Twitter, tepatnya dari akun Doraemon Hari Ini, ada tiga dorongan dalam kehidupan di dunia ini yang tak dapat dibendung. Ketiga itu adalah: dendam, cinta, dan kantuk.
Yang pertama sih, kayaknya gue aman. Lagian, nih… kok dendam sih, kan ga baek~~~
Iya, ga baek. Belom kenal aja lo, rasanya disalip dan ditikung. Apalagi dikhianatin! Pedes, bro! Kayak digampar-gamparin NAZI, VOC, Yakuza, ISIS, Taliban, Klux Klux Klan, PKI, FPI, supervisor lo… Bentar. Kok PKI? PKI sih ga. Kalau FPI, ya ga tau deh. Kan zona merah tuh, di sekitaran mabes mereka orang. Mabes, markas besar.
Okedeh. Yang pertama, aman. Yang kedua?
Cinta… yaaaaaaa, gitu deh.…
Patah hati berkali-kali, dibalas dengan jatuh hati yang juga berkali-kali. Emang manusia, nyusahin yak! Udah jatuh, patah… masih aja, ingin jatuh lagi…
Ngemeng-ngemeng, cinta itu… apa dong?
Yaaaaaa. Lagi deketin samwan, sih… ini. Tapi, saingannya ngerik! Ga tanggung-tanggung. Kocheng!
Lima ekor.
Yeeeee. Kucing beneran.
Sebenernya ini klise sih. Jadi, kalau dia sanggup ngasih makan itu lima ekor sendirian, berarti dia bisa cari duit lebih daripada gue.
Lokate ngasih makan makhluk non manusia, gampang?
Yang kedua, tahan dulu aje. Yang ketiga, nih! Masalah bener.
NGANTUK, BOS! Kaga pake bilang.
“WIR! WIRA! WOOOOOOOI…”
Sebuah teriakan membangkitkan kembali kesadaranku dari sekelebat efek kantuk yang sulit dibendung.
“Wir!” seru suara yang sama sambil ada penampakan tangannya hendak meraih barang untuk dilempar ke arahku.
“Oit…” seruku seraya mengangkat kedua lenganku dengan gestur menghalangi.
LO MALAH TIDUR, SARAP!”
“Ya mangaaaaap. Asleeee, semalam telanjur seger, jadi keasyikan.”
Kulirik ponsel dalam genggamanku. Masih belum melewati pukul sembilan pagi.
Ah, ya. Tertidur dengan ponsel, atau bahkan laptop, terasa tak asing bukan.
Trus? Beres?” tanyanya dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya.
“Belum…” jawabku lirih. Segera setelah aku menjawab, sebuah tepukan serius mendarat di bahuku.
Aku mengusap-usap bahuku. Lumayan nih, tenaga ini cewek.
“BE-SOK. JAM. DE-LA-PAN. MA-LAM.”
“Iyaaaaa. Pahaaaaam…” seruku dengan ekspresi wajah memelas.
Bunyi notifikasi di ponsel mengalihkan perhatianku. Cihuy! Si anu
“HEYHALOOO!” suaranya mengagetkanku; persisnya wajahnya yang terlalu mendekat wajahku yang sebenarnya mengagetkanku.
“Jaga jarak, uiiii. Bahaya… nanti kena virus, lho…” ucapku sambil menjauhkan wajahku.
Lagian, mulut lo bau naga…” tambahku pelan.
“Wir, beneran…! Soalnya kan sambil harinya Mas Erlangga…” lirih suara yang keluar dari wajah itu.
Ada sekerjap sengatan listrik merambat di dadaku. Kenapa dia harus bersamanya sih, dulu itu… STOP! Ga baek, berandai-andai itu.
Trus, lo mau ke mana ini?” tanyaku bingung. “Dan ngapain lo di sini, jam segini? Mentang-mentang akses ke rumah gue kayak jalan tol, bebas hambatan.” sambungku masih linglung.
“Mau ke tempatnya Mira. Kan nanti malam kita masih sounding. Ngecek aja, buat jamming virtual nanti malem.” jawabnya sebelum meinggikan volume suaranya.
“TELEPON GUA GAK DIJAWAB! JADI TADI GUA MAMPIR DOANG, GAK MAKSUD GANGGUIN TIDUR LO. … CUMAN MAMA ATI TADI BURU-BURU MAU KE PASAR. NITIP RUMAHNYA KE GUA. GARA-GARA ANAKNYA MASIH PINGSAN. KALAU GUA GA DATENG, LO MAU DOI KUNCIIN DI RUMAH…”
Segera setelah mengakhiri keluh kesahnya, akibat didapuk jadi penjaga rumah dadakan, dia ngeloyor pergi tanpa berpaling untuk melihatku barang sejenak.
“Lhah. Si Mamah. Bebas bener, kelakuan…” ucapku pada sang ponsel, sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Sang ponsel sudah terlihat seperti meraung-raung minta diperiksa.
Selepas kepergiannya, aku pun memeriksa ponselku dan tenggelam di dalamnya selama nyaris satu jam. Chatting ama target, siapa sih yang gak tenggelam.
Asyik! Dia mau diajak jalan ntar
Antara meneruskan kantuk yang terpendam, dan hasrat ingin lekas malam, tak terasa tiba-tiba sudah waktunya bagiku untuk malamingguan.
Hore! Bisa malamingguan. Kayak orang…
Apa cuma gue aja yang bertanya-tanya, selama sedang wabah virus zombie korona gini, orang pacaran pada kayak gimana sih?
Emang kamu udah berapa lama main teater gitu? Namanya unik, ya… Sawang Sinawang. Jawa banget…” tanyanya dengan tatapan mata… duh, pokoknya buat luluh lantak deeeeh.
Kami hanya berkeliling sekitar taman kota. Tentu dengan jajan-jajan secukupnya. Dan, jaga jarak sebisanya. Walau susah. Jaga jarak untuk hati, berat jendral!
Akhirnya tiba saatnya kukembalikan dia kembali ke habitatnya. Eh… maksudnya, ke rumahnya. Kuantar dia pulang dengan si Mimin, Minerva merah abad kapan; si kesayangan yang awalnya sempat membuatku jatuh miskin.
Kami melangkah bersama, menuju depan rumahnya yang terlindungi pagar tinggi dan rapat. Gerbang pagar sudah didorong hingga terbuka olehnya.
Di balik gerbang pagar menuju rumahnya, dia menarikku agar mendekat mendekat. Terus, dan terus; kami sungguh saling mendekat. Aku curi-curi untuk celingukan. Wah, kacau. Kalau nanti ada yang nonton, gimana deh ini.
Dalam hitungan detik, wajahnya sudah berjarak sangat dekat dengan wajahku. Segera setelahnya, adalah bibirnya mulai menyerbu bibirku. Sejenak aku tertegun, sebelum akhirnya balas menjawab salam sapa bibirnya.
Sesampainya di tempatku sendiri, aku dan dia yang bibirnya telah singgah di hatiku kembali terhubung lewat ponsel.
Sampai pada suatu pertanyaan ajaib yang aku pun bingung harus meresponsnya seperti apa.

kalau salah satu di antara kita   23.13
ternyata positif,   23.13
ada virusnya,   23.13
nular ga sih lewat ciuman?   23.14


=== Hati Yang Sepi kayak Kuburan,
13 menuju 14 Juni, 2020 ===


[cukup dengan 860 kata saja]
x

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home