Sunday 14 June 2020

Normal Yang Baru dan Gila Yang Lama

Coret-coret Keempatbelas ~ Cerita Ketigabelas


“Nanti ada setan, lho…” ucapnya.
“Apaan, sih…” seruku tertahan. Takut juga, jam segini bahas setan.
Namun, gagal. Sepertinya seruan yang kucoba tahan, sukses menghampiri telinganya. Dia meradang.
“Kamu itu, nanti dilihatin orang-orang. Dikiranya orang stres!”
Kucoba menahan marah sebisanya. Tidak sampai ucapan yang sama berulang, “Udah ibunya stres, anaknya stress.”
Terlalu banyak di rumah untuk menghindari kerumunan berganti dengan terlalu banyak di rumah untuk berkerumun dengan ibu dari pria yang kunikahi, dan anaknya sekalian.
Di antara beberapa anaknya, ndilalah pria yang kunikahi yang justru menjadi sasaran.
Sia-sia Lebaran tahun ini, tanpa kerumunan. Khotbah dan petuah, justru senantiasa berhamburan.
Kutinggalkan dia di teras depan rumah.
Masih sempat kudengar seruannya untuk menambah kedongkolan, “Mangkanya, buruan punya anak. Biar ga stres… masih bisa lah umur tiga lima sih…”
Tak kuhiraukan dia.
Tak berapa lama kemudian, anaknya datang.
“Kamu tadi kenapa?”
“Aku berapa hari yang lalu juga lari-lari kecil di lapang situ, sambil lihat-lihat langit. Kamu kan tau, aku sukanya apa… tapi kebetulan aja malam ini aku pengen… buang keruh… lagi…”
“Kan maksudnya baik. Kamu sih, bentak-bentak...”
“AKU GA BENTAK-BENTAK…” seruku dengan suara meninggi.
Seruanku berbalas sapa, dari beliau yang melahirkan pria yang entah kenapa dulu kunikahi segala.
“Istri macam apa, teriak-teriak sama suaminya…”
Kami saling menatap terkaget, tetapi kemudian saling memalingkan wajah.
Lagian kamu gimana sih. Ama suami sendiri ngajakin pakai kondom, masa.”
“Aku udah bilang ya ama kamu. Aku sangat bersyukur waktu itu keguguran, karena berarti apa yang jadi cita-citaku terkabulkan.”
“Cita-cita kok ga punya anak.”
“Lho, aku dah bilang ya ama kamu dulu. Aku itu serius. Sama sekali, serius. Kamu berarti waktu itu cuma iya iya doang?”
“Ya, ga gitu. Aku beneran sayang sama kamu. Aku pengen kayak di lagu itu, menua bersamamu…”
“Kamu ga cape, ngasuh aku?”
Engga, dong…”
Selanjutnya, seperti di kisah-kisah yang konon terbatas hanya untuk orang dewasa, kami memulainya.
Entah kenapa, dewasa identik dengan aktivitas selangkangan. Padahal dewasa itu kompleks dan berlapis seperti lapisan kulit bawang.
Misalnya, kenapa ibunya panjang umur sekali; sungguh melelahkan. Kenapa dia tak lekas pergi agar bisa segera bertemu ibuku di sana.
Atau mungkin, kenapa memangnya kalau ibuku gila dan aku dilahirkan oleh ibuku yang gila. Atau bisa jadi, kenapa malah menikahi partner kerjamu. Atau bisa juga, memangnya kenapa kalau kamu menikah dan tidak ingin bikin anak sendiri. Dan sejumlah atau lainnya, serta sekumpulan kenapa yang lainnya.
“Bulan depan sudah lumayan aman. Kita jalan lagi, yu. Lanjutin proyek yang waktu itu. Virtual Tour - the Prambanan Series yang udah pasti sih.”
“Aku besok mulai coba coret-coret storyboard, kayanya. Yang dummy aplikasi awal itu, bukannya abis dibereskan ulang. Bilangin lah, kirim.”
Tadi katanya, dewasa. Mana nih, kelanjutan adegannya?
Adegannya?
Diskusi antara kedua tubuh. Salah satu tubuh berisi jiwa raga yang lelah sembari dipenuhi amarah, dibalur oleh persembahan cumbu dan rayu dari tubuh satunya lagi.
Namun tetap saja.
Sensasi rasa tak nyaman di hati masih menyeruak dalam dada.
Gelombang amarah dan potongan-potongan ingatan tak menyenangkan menyerbu.
Memangnya kenapa kalau hidup yang kujalani tak seperti yang mereka jalani.
Setidaknya, rumah yang kami tempati ini sudah atas namaku.
Bertahanlah hingga lunas, sayang.


[triple five: isi 555 kata]

=== Ruang Gelap Hati Manusia, 14 Juni 2020===

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home