Saturday 20 June 2020

Karena Beliau adalah Pak Haji

Ibadah Menulis di penghujung 2/3 waktu ~ horeeee


#cerita #eksperimental #realisme



"Wah, Pak Haji. Sibuk trus, Paaaaak...." sapa Pak Adillah.

"Eh, Bapak Bewok. Tumben-tumben ini, lewat sini...." ujar dia yang dipanggil Pak Haji. Kemudian beliau melanjutkan, "Bagaimana, Pak Adi.... Sudah lancar lagi, lalu lintas?"

"Gini saja, Pak Haji. Ya, namanya usaha. Ini sedang bangun-bangun apa, Pak? Pantesan warungnya Pak Haji tutup terus. Sibuk terus." lanjut Pak Adi seraya duduk di teras sambil bersandar di tembok.

"Ekstrajosh es atau nutrisaree lagi?" Pak Haji tak sempat langsung menjawab Pak Adi sebab sedang mengawasi para tukang yang bekerja.

"... oh, ya udah. Ekstrajosh aja ya es-nya." sahut Pak Haji sambil menoleh ke Pak Adi dan menjawab tanya sapanya yang tadi.

"Itu sih, Pak Adi. Ya, mumpung kosong masih sepi belum nge-warung lagi. Beres-beres yang bagian sini." kata Pak Haji sambil bahu dan tangan kanannya memberi gestur menunjuk ke sebelah kanannya Pak Haji.

"Mau sambil ngopi, Pak Adi?"

"Wah, kalau gak ngerepotin sih Pak Haji. Saya ini baru jalan lagi, pake mobilnya si Adul..." seru Pak Adi dengan antusias.

"Pantesan... kirain Adul tadi kayak mobilnya Adul."

Pak Haji lanjut ke dalam rumah besar yang sekaligus biasa jadi warung nasi Padang dan Sunda. Menunya maksudnya, misalnya pada hari-hari di mana menu masakannya ada rendang dan sayur asam sekaligus. Kata Pak Haji, sedang ingin makan sayur asam. "Sekalian saja digelar, siapa tahu ada yang pengen makan dengan sayur asam juga." demikian jawab Pak Haji bila ditanya sedang ada menu yang berbeda apa di situ dan dalam rangka apa.

Bahkan pernah Pak Haji buat tumpengan lalu bagi-bagi ke warga sekompleks, dan Adul atau Pak Adi yang kebetulan mampir ikut kebagian; karena masih ada. Pak Haji buatnya banyak betul, sih. Saat ditanya dalam rangka apa, Pak Haji jawabnya setengah bercanda, " Sedang ingin ditanya saja sama kalian."

Tak berapa lama kemudian, Pak Adi pun pamit hendak beranjak dari sana.

"Berapa ini sekarang Pak Haji, kopinya?" tanya Pak Adi seraya mempersiapkan diri untuk beranjak dari rumah besar yang sekaligus adalah warungnya Pak Haji.

"Masih sama, Pak Adi. Cukup tiga juta saja."

Seraya menyerahkan selembar uang bernilai lima ribu rupiah, Pak Adi pun berpamitan.

"Punten, Pak Haji. Sisa dua jutanya simpan saja. Mana tau saya masih ada utang di sini. Atau ya buat nanti."

"Oh, gitu. Lanjut ke mana ini, Pak Adi?"

"Ke yang deketnya eXYeZetABeCe, Pak Haji. Ini temen-temen GREP sama ada GokARt di grup pada rame, katanya pada stand by di sana lumayan sedang ada rame."

"Oh, gitu. Iya Pak Adi, ati-ati. Biar di kita sini masuknya zona hijau, ya pokonya sih semoga pada tertib semua jadi ga berubah zona. Takut saya juga, Pak Adi. Sudah manula ini saya, ahahahahahahaa..." tergelak Pak Haji dengan ucapannya sendiri. Pak Adi membalas tawa khas Pak Haji dengan senyuman sopan.

Sepeninggal Pak Adi, Sang Pak Haji kembali sibuk menjadi mandor. Namun, tak berapa lama berselang, datang Iwansani si pria muda sekitar usia dua puluhan yang tinggal di area paling belakangnya belakang, dari ujung kompleks.

Iwansani memberi gestur menyapa dengan hormat pada Pak Haji dan bertanya, "Pak Haji kira-kira listrik saya sudah harus bayar lagi belum sih Pak?"

Pak Haji lantas melangkah, berpindah bagian rumah, mendekati Iwansani. Karena merasa ada yang terlupa, beliau kembali menoleh dan berkata dengan suara keras, "Itu jangan sambungin ke yang situ. Mending, beresin yang tadi. Kan udah tuh, diberesin Mang Dirman. Ya, Yo! Yoyo tuh jangan diem saja, nanya dulu kalo masih bingung. Kamu sih, nambah kerjaan..."

"Apanya, Wan? tanya Pak Haji setelah berhadapan dengan Iwansani.

"Ini, Pak Haji. Barangkali yang saya harus bayar lagi."

Setelah Iwansani menyerahkan lembaran struk bukti pembayaran listrik, Pak Haji pun berkata, "Oh, ya udah. Dilihat dulu."

Beberapa menit setelahnya, Pak Haji kembali menemui Iwansani di depan.
"Belum, Wan. Masih aman. Gratis! Kan ini masih bulan ketiga subsidi listriknya. Dan ternyata benar."

"Wah! Untung, ajaaaaaa... Pas kebeneran ini uangnya lagi gak ada lagi." ujar Iwansani setengah meluapkan curahan hatinya.

"Udah selesai yang kerja waktu itunya?" tanya Pak Haji.

"Iya, Pak Haji. Baru berapa hari lalu, sih. Palingan besok, mau coba ke Taci Fang-Fang di Pasar Waroo. Denger-denger kata Taci Fang-Fang kalo ada yang mau antar-antar barang siang-siang boleh kerja sama dia.

"Oh, ya syukur kalau gitu. Saya mau ajak, belum bisa. Si Yoyo, keneknya Mang Dirman, sudah bawa temannya dua orang. Dari tempat mertuanya... dan kerjanya bagus. Sementara ini empat orang sayanya masih cukup."

"Iya, Pak Haji. Makasih, lho... monggo."

"Eh, Wan. Sebentar." putus Pak Haji sambil bergegas ke dalam rumah, lalu kembali membawa bungkusan dalam kantong plastik berlogo Hipemat.

"Ini, buat kamu. Kebetulan anak, nyetokin di rumah kebanyakan."

"Mas Fauzi atau Mbak Linda, Pak?" tanya Iwansani sambil dengan polosnya mengintip ke dalam bungkusan itu. Dilihatnya pemandangan sekaleng susu kental manis. sekaleng sarden, sebotol kecil minyak goreng, dan sebungkus sedang gula pasir.

"Yang gitu sih, Mbak Linda. Sejak ada pengumuman dari pemerintah agar pada diem di rumah, setiap bulan kirim sembako berkardus-kardus... dikiranya saya mau buka toko kelontong apa. Kalau Mas Fauzi ya ga pernah kirim-kirim sembako gini. Repot dia bilang."

"Sehat-sehat semua, Pak Haji."

"Iya, karena ada larangan mudik dan pulang kampung, pada tetap di Jakarta dan Bali saja sampai sekarang."

"Oh, syukurlaaah."

"Trus ini mau ke mana jadinya?" tanya Pak Haji sekenanya.

"Lanjut ke deket Anu-anu Square Block, Pak Haji. Sambil-sambil aja, jaga parkiran luarnya."

"Oh, ya udah. Jagain yang bener, jadi gak malu nagih uang parkirnya." ucap Pak Haji sambil lanjut mengawasi para tukang bekerja.

Sesampainya Iwansani di tempat tujuan, terlihat Pak Hasyoodh lewat dari sela pagar mal yang memang dibuka secukupnya untuk sekadar pejalan kaki bisa keluar masuk area mal.

Pak Hasyoodh juga sama kaya raya seperti Pak Haji, tetapi dia jarang dipanggil Pak Haji. Padahal, dia dikenal orang-orang sudah naik haji dan umroh beberapa kali sebab setiap keberangkatan haji dan umroh pasti senantiasa ada perayaan besar-besaran sampai mengundang penceramah terkenal.

"Eh, Wan. Markir lagi?" sapa Pak Hasyoodh.

"Iya, Pak. Bapak abis dari mal, Pak?" balas Iwansani basa-basi.

"Ya masa dari Pasar Waroo. Kamu ini..."

Pak Hasyoodh tak melanjutkan ucapannya, sebab tatapan matanya terpanggil bungkusan yang dibawah Iwansani.

"Apa itu, Wan?"

"Oh, dari Pak Haji Kusnan. Tadi sambil mau bayar listrik, ternyata masih nol bulan ini sih."

"Enak, ya. Kamu listriknya nol. Saya ini, gak dapat subsidi sama sekali. Padahal listrik saya yang sembilan ratus, lho."

"Oh, kalau itu sih kata Pak Haji Kusnan memang beda-beda. Bapak mungkin termasuk yang non subsidi, sembilan ratusnya." jelas Iwansani tanpa diminta.

Yang diberi penjelasan hanya tersenyum sinis.

"Oh, gitu. Gak jelas pemerintah ini. Ya sudah, saya mau balik. Saya ga bayar parkir ya Wan, kan kamu baru dateng ini masak gak kerja sudah minta bayaran."

'Padahal biasanya pun enggan membayar,' dalam hati Iwansani ngerasani.

Waktu berlalu, dan senja akhirnya menyambangi kembali. Penanda satu hari lagi usai sudah.

Iwansani pulang sambil melewati rumah-warung besar Pak Haji Kusnan. Dilihatnya Pak Haji Kusnan asyik menyapu-nyapu dan mengepel-ngepel bagian teras depan yang berdebu. Tentu saja itu akibat seharian kebagian debu dari bagian yang direnovasi.

"Monggo, Pak Haji. Pulang dulu. Ini, makasih Pak juga buat Mbak Linda."

"Eh, Wan. Sudah pulang lagi?"

"Iya, Pak Haji. Sudah mulai sepi lagi. Tadi sih, tinggal ada dua motor. Satu punya orang, satu laginya punya temen yang di RUKO Relmiy. Lama dia sih baliknya pasti malem. Mending saya pulang, bantuin istri di dapur."

"Wah, udah buka lagi pesenan?" tanya Pak Haji Kusnan antusias.

"Iya, Pak Haji. Nyoba dulu saja, usaha dulu."

"Kebeneran, Wan! Saya mau tahlilannya Ibuk. Karena masih disuruh jangan kumpul-kumpul, saya pesen... jajanan... ama makan siang kotakan...? Kamu besok mulai ke Taci Fang-Fang?"

"Iya, Pak Haji."

"Besok kamu ke sini sebelum ke Taci Fang-Fang. Catat pesanan saya, sama ambil uang. Kurang lebihnya sisanya, nanti kamu sama istri catat saja lah. Mau kirim ke Panti Kasih Bunda yang di Coblong Jaya."

"Panti asuhan Katolik, Pak Haji?" tanya Iwansani dengan tatapan wajah bingung.

"Memangnya kenapa? Ahahahaha..." beliau tergelak dengan tawa khasnya sebelum melanjutkan perkataannya. "pesenan Mas Fauzi, kalau ini sih. Teman SMA Mas Fauzi ada yang jadi pastor penjaga di sana. Ya, bukan berarti karena dia yang mengurus pembiayaannya sih. Menghargai anak, saya sih mikirnya."

Iwansani hanya mengangguk mendengar penjelasan beliau.

Mereka pun berpisah, seiring gelap yang mulai merayap menyingkirkan semburat senja.

Lampu-lampu luar mulai menyala. Iwansani mantap melangkahkan kakinya dengan penuh rasa syukur.

Terkadang, hidup memang seajaib itu.


=== Bawah Pohon Mangga Depan Teras, 20062020 ===

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home