Saturday 20 June 2020

MENJADI AYAH

Ibadah Menulis Ke-19 ~ ngedongeng sih yang ke-18


“Kenapa ga mau punya anak lagi? Ga penasaran? Siapa tau nanti dapat anak laki-laki.” ucapnya sambil lalu. Yang diajak bicara mulai menyalakan rokoknya.
“Nanti kayak siapa yaaaaa… anaknya tiba-tiba sudah empat trus” ujar salah seorang lainnya.
Empat orang bapak-bapak yang saling selisih beberapa tahun asyik merokok bersama setelah makan siang.
Kayak orang yang penasaran itu lah! Kayak siapa lagi?” sahut si Mandul.
“Daripada situ, mandul…” kilah dia yang merasa disebut-sebut sebagai yang penasaran.
Ga coba kawin lagi? Siapa tau kalau dengan istri baru, bisa dapat anak.” lanjutnya.
“Kalau memang benar mandul, ya sudah. Gapapa. Istri tetap asyik, ranjang tetap goyang.”
Mereka saling sindir tetapi akhirnya tertawa-tawa bersama jua.
Kebersamaan dalam sesi makan siang sudah tiga bulan terakhir ini hilang. Tak ada lagi, sama sekali. Begitulah. Akibat sang virus zombie korona yang membawa wabah.
“MBAK! SINI BANTU MAMI MASAK. BELAJAR SINI SAMA MAMI…” teriakan wanita dari arah dapur memecah suasana.
“Mi, jangan kenceng-kenceng gitu. Ini Papi bentar lagi mau ngajar. Kalau kedengeran mahasiswa, bagaimana?”
Dua perempuan asyik berkutat di dapur, Sang Papi mempersiapkan diri untuk mengajar dari rumah.
Yang mengajar sudah selesai, yang memasak pun sudah selesai.
Mereka lalu makan siang bersama.
“Papi sih, manjain Mbak terus.”
“Lho, kok Papi sih?”
Udah anak kita ini cuma satu, susah banget kalau ama Mami gak pernah nurut. Nanti kamu gede, gak bisa masak, mau jadi apa rumah tanggamu.”
“Mami kenapa, thoh… Papi gak pernah nyuruh Mami masak lho ya dari dulu kan Mami tau kalau Papi gak rewel-bawel makannya.”
“Ya kan Mami sudah bisa masak duluan sebelum ama Papi.”
“Sudah-sudah, Mami ama Papi jadi mau makan gak sih?” tanya anak perempuan mereka.
“Oia, kan Papi sudah kelaparan ini…”
Aktivitas makan siang berlanjut dengan pemandangan sepasang ayah dan anak perempuan yang bahu-membahu membereskan peralatan bekas makan.
“Tenang. Nanti kamu gede, kamu akan belajar dan mengalami lebih banyak hal. Kelak, kamu seharusnya bisa dapat yang minimal sama baiknya dengan Papi.”
“Lhoh, aku Pi. Mami gitu, lho. Nyuruh aku terus.”
“Ya Mbak dengarkan saja, maksud Mami sebenarnya kan baik. Lagian, memasak itu gak ada hubungannya dengan kamu perempuan atau laki-laki. Memasak bisa membantu, misalnya hemat pengeluaran daripada makan beli terus di luar… lebih sehat pula, bisa…”
“Kalau misalnya dapat, trus dia juga cinta banget sama aku Pi?”
“Ya lihat orang tuanya. Papi anak yatim piatu, diasuh sama Eyang Uyut.”
“Uuuuuu, Papi…” sang anak perempuan merengkuhkan diri ke tubuh bapaknya, memeluknya hangat.
“Papi mau bilang, kalau Mamimu aman damai bebas dari gangguan mertua. Lhah pas menikah sama Papi, Eyang Uyut gak banyak rewel kok.”
“Kenapa sih Mami gitu terus ke aku. Masih SMA gini, kan risik dengernya.”
“Karena itulah yang Mami dapat dari ibunya. Ibunya Mami, dapat itu juga dari neneknya Mami. Saling mewarisi. Sekarang, kamu yang seharusnya mengubah itu semua. Bahwa kalau anak perempuan harus ini itu, kelak jadi menantu jadi istri harus begini begitu.”
Si anak yang diajak bicara hanya manggut-manggut.
Nikah lagi. Menambah istri. Penasaran tambah-tambah anak hanya untuk mendapat anak laki-laki. Semuanya itu dia tepis.
“Apalagi kalau misalnya, nanti yang jadi suamimu mendadak menjadi sangat alim agamais tetapi berakhir dengan dia ingin menambah istri. Jangan mau…” lanjut pria itu sambil menatap anak gadisnya yang masih SMA.
“Kalau akunya terlalu cinta, Pi?”
“Ya jangan goblok, gitu lho…” balas Sang Papi.


[ 600 kata menurut Word Count ]
Jumat menuju Sabtu 19-20, Juni 2020

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home