Friday 19 June 2020

Kelaziman Baru JULYD Sih Tetap Lama

Sesi Kedelapanbelas ~ Cerita Ketujuhbelas

#IbadahMenulis di Sepanjang bulan Juni


"Ya, haloooo..." ucap Lydia pada panggilan telepon di ponselnya. Pemilik suara dari nomor tak dikenal di seberang sana rupanya suara laki-laki.

"Maaf, Bu. Boleh minta waktunya sebentar?" balas suara tersebut.

"Kasih gak, yaaaaaa..." sahut Lydia santai setengah iseng.

"Kami dari Bank Satu Nusa Satu Bangsa ingin menawarkan kartu kredit, atau barangkali pinjaman dengan cicilan ringan." Suara di seberang sana tetap stabil, terasa bahwa pemiliknya hanya diam bergeming pada candaan Lydia.

"Wah, belum butuh kartu kredit, nih...."

Belum sempat Lydia meneruskan ucapannya, suara itu meneruskan celotehnya.

"Baik, Ibu. Bagaimana dengan pinjamannya. Bisa langsung cair, dan segera. Barangkali Ibu perlu untuk kembali beraktivitas selepas Pembatasan Sosial selesai. Kami ada dua tenor untuk maksimal pinjaman seratus lima puluh juta ya, Ibu. Kalau tenornya enam puluh bulan, setiap bulannya Ibu hanya perlu melakukan pembayaran sekitar tiga jutaan saja yaitu tiga juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu dua ratus empat puluh enam rupiah..."

"Itu sih bukan tiga jutaan, Mas!" sergah Lydia sebelum suara di telepon menyelesaikan penjelasannya.

'Nyaho, lu...' pikir Lydia. 'Gantian, gue sabotase dialognya...'

Namun, suara itu tetap bergeming; terasa seperti tak ada perubahan nada atau intonasi.

"Kalau Ibu ambil yang tenor empat puluh delapan bulan, setiap bulannya Ibu hanya perlu melakukan pembayaran sebesar empat jutaan saja yaitu empat juta lima ratus empat puluh empat ribu lima ratus sembilan puluh delapan rupiah saja. Bagaimana, Bu?"

Lydia lantas bertanya, "Itu ketemu bunyanya berapa ya Mas, per tahun?"

"Per bulan nol koma sembilan puluh lima persen saja, Bu. Murah sekali bukan, di bawah satu persen. Selain itu, kalau Ibu mulai mendaftar pinjaman sebelum akhir Juni ini maka Ibu akan otomatis diikutsertakan dalam undian kami kali ini yang diselenggarakan dalam rangka..."

Suara selanjutnya tak lagi menembus telinganya.

Lydia tiba-tiba berkutat dengan perhitungan kelebihan uang yang didapat oleh pihak yang meminjamkan ini, alias si Bank Satu Nusa Satu Bangsa. Hingga akhirnya sapaan yang menuntut perhatian di ujung sambungan telepon membuyarkan lamunan perhitungan Lydia.

"Halo, Bu Lydiawati Sirait. Jadi bagaimana Ibu?"

"Nanti deh ya, saya baru selesai mudik alias pulang kampung. Eh, sedang maksudnya. Entahlah apa bedanya, mudik dan pulang kampung ini. Nanti saya pikirkan lagi. Bedanya dan perhitungan bunganya..." sahut Lydia dengan suara menggantung di bagian terakhir omongannya. Dalam selang beberapa detik, dia menutup panggilan telepon tersebut tanpa tedeng aling-aling.

'Sudah waktunya buat Facebook dan Instagram LIVE Story, nih. Mana dulu enaknya', Lydia sibuk menimbang-nimbang. Selain itu, dia pun mencoret-coret daftar hal yang hendak disampaikan di dongeng media sosialnya itu.

...

"Halo halo halo semuanya. Apa kabar, mudah-mudahan tetap sehat. Tetap di rumah aja, kalau bisa. Kayak aku, nih."

Lydia mulai mengoceh sembari berputar di depan layar ponselnya yang sudah siap dalam mode Kamera Depan aktif.

"Karena melakukan perjalanan selama New Normal sebaiknya mematuhi protokol, mulai dari pra-perjalanan, di antaranya, dan pasca bepergian, sampai empat belas hari ke depan aku bakal ngonten Outfit of The Day dari rumah aja. Padahal, sudah gak sabar banget ingin keliling Medan."

Lydia sejenak melirik ponselnya, membaca pertanyaan salah satu yang turut hadir mengikuti LIVE-Show yang dilakukannya.

"Apa? Bahasa Batak? Oke, aku nanti ingat-ingat dulu ya..."

Dan pertanyaan lain.

"Oh, iya dong. Dokumen penting dong, hasil uji Rapid-Test alias Pi Si aR."
Sambil sedikit menggerak-gerakkan kepalanya, Lydia tiba-tiba diserang lupa. Singkatan PCR yang tadi subuh dia sudah coba hapalkan.

"Selama bepergian, tetap pakai masker. Harus, itu. Juga jaga jarak aman..."

"Oh, jelaaaas, lapor kepala desa dulu."

"Iyaaaaaa, aku di desa ini. Hehehe. Jauh dari tengah kota pun."

...

Selang beberapa jam kemudian, sepupunya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lebih beberapa menit.

"Kau ini, gak kawin-kawin. Tinggal di kota lama, buat kau gak mau kawin rupanya. Tengok aku, di kota aku merantau gak lupa kawin aku ini. Lekaslah kau menikah, sebelum ayahmu keburu pergi juga seperti kakakku. Belum sempat menikah, keburu meninggal."

Lydia sudah tak kaget lagi dengan ucapan sepupunya yang satu ini, sepupu yang berasal dari garis Ibunya almarhumah.

"Apa masih bisa ada tambahan barang berapa ratus ribu atau sejuta? Si Bertha ingin sepatu baru, gara-gara itu Isak ingin pula diberi sepatu baru."

"Ayah bagaimana?" tanya Lydia tanpa merespons permohonan lebihan uang itu.

"Aman. Sudah tak separah dua minggu lalu, tapi masih tetap harus dirawat. Aneh pula itu padahal, ketularan siapa ya?"

Kembali Lydia diam membisu tak merespons ucapan-ucapan yang baginya tak penting. Sampai tiba-tiba, wanita yang sedang berbicara dengannya itu mual-mual dan bergegas ke kamar mandi.

"Hamil lagi?" seru Lydia.

"MUNGKIN. SUDAH BEBERAPA HARI INI MEMANG PAYAH BETUL AKU, GAK MENSTRUASI PULA INI TELATNYA INI." balas yang ditanya dengan volume suara cukup tinggi.

"Gak paham aku, kenapa urusannya aku harus kawin dan kemampuanku membayar biaya rumah sakit, dan segala macam kebutuhan keluarga ini." seru Lydia lagi.

"YA KAU HARUS KAWIN LAH, PUNYA ANAK. NANTI KESEPIAN KAU SENGSARA HIDUP KAU GAK KAWIN ITU. DAN KALAU KAU SAKIT SIAPA YANG AKAN RAWAT KAU."

"Walau suaminya pengangguran?" ujar Lydia tiba-tiba membuat sepupunya membanting pintu.

"Kau ada masalah apa rupanya dengan suamiku? Kan sedang pembatasan sialan itu, jadi gak ada kerja dia sekarang ini selama pembatasan sialan itu."

"Dari berapa bulan sebelum wabah ini pun bukannya sudah?" sahut Lydia sambil menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

"SUKA-SUKA HATI KAU AJALAH ITU. MENYESAL AKU BANTU RAWAT BAPAK KAU" balas sepupunya seraya nyelonong pergi, walau sambil tak melupakan amplop coklat berisi uang bulanan bulan ini.

Lydia menengadah, menatap kepergian sepupunya dengan tatapan statis.



=== dalam ruang peralihan antara rindu dan amarah,
dini hari tanggal 18 menuju 19, bulan Juni 2020 ===

Labels: , , ,

2 Comments:

Blogger Mamak said...

Keren siiiiihhhh 🤩🤩🤩

6/19/2020 6:59 am  
Blogger duniaputri said...

heyhalooooooo Beauty Vlogger. ahahahahaha. sekuuuuuuy~~~

6/20/2020 10:30 pm  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home