Saturday 26 June 2021

Hari Ini Ada Cerita Apa

(hari dua puluh lima si Ibadah Menulis di Sepanjang Juni)

 

“Jadi, ada cerita apa hari ini?” tanyaku.

“Ngga banyak sih. Cuma…” dia tak melanjutkan ucapannya, tetapi ekspresi wajahnya kulihat penuh campuran emosi manusia.

Kudiamkan saja dia, sambil sibuk menyemprot tanaman di pot.

Betul. Di ruangan ini, seperti di film, kupajang beberapa tanaman yang bisa hidup di pot. Hijau-hijau tetumbuhan, entah apa penjelasan ilmiahnya, membuatku merasa nyaman.

Sampai sudah selesai kusemprot-semprot semua dedaunan si tanaman-tanaman di pot ini, dia masih diam.

“Cuma, cuma apa hayo?” pancingku.

Dia masih diam bergeming, tak bersuara, sampai akhirnya aku memutuskan untuk duduk saja. Capek lah ini kaki, berdiri terus.

“Cuma bingung. Jadi… jadi? Eh aku minta resep aja lah. Ngga bisa tidur nih.”

Bangkit aku dari kursiku, dan segera kumendekat padanya, yang duduk manis di sofa sambil celingukan.

“LHOH KOK GITU. Ini sebagai apa? Sebagai pasien atau sebagai teman?” sergahku cepat.

“Sebagai cinta? Ya jelas ngga mungkin kan? Aku masih tetap tidak berniat menidurimu.”

Aku tertawa. Gilak ini cewek, kalau ngomong memang suka sembarangan.

“Terus kamu pikir, saya mau ditiduri olehmu?”

Balasku dengan tanya.

Dia tersenyum lebar, dan melanjutkan dengan nada suara memelas dibuat-buat.

“Ayo dong, pliiiis bantuin.”

“Kenapa? Kenapa aku harus memberimu resep obat buat tidur segala? Yakinkan aku dulu. Kalau ngga, nanti ini bisa jadi malpraktek ini.”

Dan sebenarnya, ini bukan yang pertama kali.

Pertama kali bahwa aku khawatir, jatuhnya yang seperti ini jadi malpraktek.

Astaga. Dokter macam apa ini.

“Berapa hari lalu, teman mati. Ya, entah pula apa karena wabah atau apa. Gaduh betul itu di grup WhatzUpp juga si medsos, ngga kuperhatikan lagi. Sejak lihat kabar dia mati. Teman di, ya gitu lah. Panjang lagi nanti, kalau harus diceritakan.”

Tak tega aku mendengarnya.

Dulu sekali, saat kami baru saling berkontak lagi, dia pernah minta tolong ke sini. Karena hasratnya untuk mati terlalu tinggi, tetapi ada sesuatu entah apa itu di dalam dirinya yang akhirnya memaksanya meminta bantuanku. Mungkin. Mungkin karena memang kami sudah saatnya bertemu. Yang jelas, kupikir, karena itu.

Karena bila berjodoh, yang sudah seharusnya bertemu pasti bertemu. Dokter bertemu pasiennya.

“Ini tapi ngga boleh aneh-aneh ya. Ingat. Kita itu sudah tua. Sudah ngga perlu lagi yang aneh-aneh. Cuma untuk 3 hari. Kita lihat setelah tiga hari.”

Sambil coret-coret, kuberikan kertas yang berisi resep pesanan padanya.

“Kamu lagi ada duit ngga?” tanyaku saat dia menerima si kertas.

“Ngga ada. Makanya ke sini tadi, jalan kaki.” balasnya polos.

“Bagus. Biar capek. Kalau capek. Tidurnya jadi enak.” santai kutimpali jawabannya.

“Terus kalau ngga ada duit? Ada sih, belum cair tapi. Mau bobol tabungan yang ngga seberapa, ngga tega eh.”

Dia malah nyerocos.

“Maksudku, ngga usah bayar biaya konsultasi. Nanti kuberi kode dulu si resepsionis di depan. Terusnya?”

“Terus apa? Kok berhenti?” sambarnya.

“Terusnya? Kalau sudah makan, pulang sana jalan kaki lagi. Kalau belum, ayo kita makan. Kutraktir sini. Kamu ini, sudah miskin penyakitan.” kuusap kepalanya seperti kalau kita mengusap kepala anjing kesayangan.

“Iya, nih. Sesuai slogan dua tahun terakhir ini ya? Tetaplah hidup walau tidak berguna.”

Tak lama setelah dia mengatakan itu, aku tiba-tiba bersin sangat kencang. Hingga sedikit beringus ini di balik masker.

Kedua mata kami saling bertatapan.

Lalu tertawa bersama.

 

(510 kata)

 

Provinsi Bigot Jawa Barat

Di antara 25 dan 26 Juni 2021

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home