Sunday 27 June 2021

Obrolan Para Istri tentang Para Mertua

(setoran hari dua puluh tujuh)


"Lho, Ceuceupia kan memang sudah lama sekarang jadinya tinggal di rumah perum. Mba baru tahu?" sapa si pemilik rumah saat kami bertukar sapa, basa-basi lama tak jumpa.

Aku terperangah. Jika bukan karena titipan ibuku, yang merupakan kakak dari ibunya, aku tidak akan sampai sini.

Titipan berupa amplop uang untuk ibu mereka, bibiku. Juga beberapa kotak berkat. Wabah boleh terus berjalan, tetapi perayaan kematian Oma yang ke-1000 hari harus tetap membahagiakan. Demikian menurut ibuku.

"Loh, Ibu Yasmi ngga ikut sih Mba?" masih juga aku disapa dengan nada suara bertanda tanya. Ibu Yasmi adalah ibuku, dipanggil dengan namaku.

Pemilik rumah sibuk bebenah, belum termasuk anak-anaknya minta ini itu, aku celingukan mencari-cari.

"MASIH DI PERUM MBA. PALING NANTI CEUCEUPIA AJA GINA JEMPUT PAKAI GOZEK DARI SINI. MAMAH AKUNYA TUH MAU KONSEN TADARUSAN AJA KATANYA, KAN OMA SERIBU HARI. MBA KALAU..."

BRAK.

Belum selesai dia bicara, ada suara nyaring. Disusul dengan, "GUSTI ANAK AING! DE KENAPA DIJEBLAG PINTUNYA IH KAMU!"

Rupanya sang bibi di rumah perum saja. Aku diam bergeming, tak kusentuh amplop uang titipan ibuku. Buat apa, orangnya tidak ada di sini.

Baru juga aku duduk di teras, karena ingin merokok sebatang saja, ada orang lain lagi muncul.

Orang-orang asyik di dalam rumah, seperti aku yang asyik di teras.

Tak berapa lama setelah rokok sebatang usai mengabu, yang katanya dijemput pakai gozek panggilan dari sini tiba.

Empat perempuan, tepatnya, tiga perempuan menikah dan satunya belum, siap mengobrol. Entah dari mana mulainya, tiba-tiba orang-orang ini sudah mulai berbagi cerita dalaman mereka.

. . .

"Ya bukan karena dia kakak saya, tapi yang benar saja." ujarnya berapi-api.

"Coba, gimana rasanya. Anak meninggal, malah dibahas kain batik penutup, katanya, itu kain kan masih baru dapat hadiah." Yang dibela, kami memanggilnya Ceuceupia, menimpali.

Kulihat keduanya sambil tersenyum belaka. Seorang lain lagi, sepertinya hendak ikut menimpali obrolan kami. Benar saja.

"Pernah, ini sih yang..." diliriknya sang adik, Gina, meminta bantuan ingatan.

Sang adik yang menjadi pemilik rumah di mana kami berkumpul tak sengaja ini, sejenak mencoba mengingat, yang mana yang dimaksud dengan 'pernah' ini.

"Oh, iya. Yang itu juga. Giliran Kakang Bagas lahir, masa komentarnya ngga enak didengar. Dih, laki-laki. Anak saya ini sudah laki-laki semua empat-empatnya. Ya terus? Kan bukan anaknya si Ibu dong. Gimana sih."

Aku menatap penuh tanya.

Sesosok yang setelah beberapa jam sejak kedatanganku, akhirnya kuketahui merupakan bidan mereka, menambahkan.

"Kebetulan waktu itu, sedang kebagian tugas. Jadi, ada di rumah sakit saat itu terjadi."

Sang kakak manggut-manggut.

Sang adik rupanya masih ingin bersuara.

Sedangkan sang bidan, sepertinya sedang menanti kesempatan, akan kapan saatnya dia bisa turut bercerita bagiannya. Kukira begitu.

"Ya sebenarnya, Mamah juga bukan berarti sempurna. Tapi kan ya, saling-saling aja dong yang gini sih. Memang, pernah juga si Mamah pakai uang sampai berapa juta, eh yang dipulangin hanya sejuta dua. Ya tapi sudahlah."

Aku mencoba mengingat. Oh, jadi, Ibu itu mertua Ceuceupia, Mamah itu mertua Gina.

Tak tahan aku untuk menanggapi.

"Kepikiran ngga, kalau, selain menikahi anaknya itu juga kalian menikahi keluarganya, ya lengkap dengan orang tuanya. Dengan ibunya."

Ketiganya kompak menatap kesal ke arahku.

Aku hanya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-geligi gingsul andalanku, sambil berucap, "Sowreeeee."

Selang beberapa detik kemudian, kami tertawa bersama. Entah apa lucunya, entah di mana lucunya, aku mendapati diriku ikut tertawa lepas bersama mereka.

Pernikahan terdengar semakin rumit saja, malam itu. Berkat kumpul dadakan, para sepupu. Aku, dan kakak-beradik, dan bidan teman mereka.


Provinsi Bigot Jawa Barat,

27 Juni 2021

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home