Friday, 14 September 2007



ceritanyah nyobain bikin buat rubrik sukasuka cita cinta. huayyy. abisnyah kalo blog FS mah khusus pribadi. nah, kalu multiply wat apa y? padahal popotoan eh pas poto papa di atas gue bikin kenangan ke republika. tapi karena merasa nyess syekallee, akhiRRRnya... gua pajang juga deh... hiGs!!!

message sent : 14 sept 07 by yahoo


Minta Maaf Sebelum Munggahan


Saya adalah seorang mahasiswi tingkat sangat akhir (wah, biarkan hanya saya, Tuhan, dan dosen yang tahu). Teman sekampus saya adalah seorang jobseeker. Menjelang puasa seperti biasa kami mendapat SMS mohon maaf dari sana sini. Kami pun membalas SMS sana sini tersebut. Saya pikir ini bagian dari tradisi yang sepatutnya dilakukan. Bukankah meminta maaf itu baik?

Saya di Bandung berstatus sebagai perantau. Sedangkan teman saya si jobseeker itu asli berdomisili di Bandung. Semenjak menjadi seorang perantau, saya pikir ada pertanyaan musiman saat Romadhon, seperi kurma yang marak di bulan Romadhon. Munggahan di mana?

Setelah berdiskusi tidak penting dengan si jobseeker teman saya, saya membuat pemahaman sendiri tentang kata munggahan. Secara harfiah, munggah adalah kata dalam bahasa Sunda yang berarti naik. Menjelang Romadhon, munggahan saya artikan sebagai upaya untuk naik ke tingkat ketakwaan yang lebih tinggi pada Sang Khalik (amin).

‘Munggahan di mana’ akhirnya saya simpulkan sebagai ‘berpuasa pertama di mana’.Ternyata saya baru sadar sekarang. Saya perhatikan kebanyakan muslim Indonesia di Pulau Jawa (entah kalau di daerah lain) akan ber-munggahan alias berpuasa pertama di rumah bersama orang tua. Seperti yang terjadi pada kakak-kakak teman saya yang jobseeker itu. Kakak-kakaknya ada yang tinggal di Jakarta atau ada juga yang sama-sama di Bandung tapi berjarak lumayan jauh. Dan mereka bela-belain mudik ke rumah orangtua dulu buat berpuasa pertama. Kakak-kakaknya teman saya sang jobseeker itu sudah berkeluarga semua lho.Seorang teman saya yang asli dari Jawa Tengah pernah bilang istilah munggahan dalam bahasa jawa, hanya saja saya lupa.Saya sendiri yang asli Cirebon, (dari lahir sampai usia duapuluhdua tahun saya akan tetap menjadi Orang Cirebon - waduh, rasis kedaerahan nih ?) tidak terlalu memusingkan munggahan. Bagi saya saya munggah di mana saja sama. Padahal teman-teman saya yang asalnya lebih jauh lagi (seperi teman saya yang asli Padang, Lampung, dan lain-lain) akan berkata betapa beruntungnya saya karena jarak Bandung Cirebon yang begitu dekatnya (daripada jarak ke tempat asal mereka tentu). Dan mereka menyayangkan kenapa saya tidak pulang saja munggahan di rumah.Lha ini… Mungkin karena tidak pernah dibiasakan untuk tiap-awal-puasa-mesti-pulang-ke-rumah oleh kedua orang tua saya, saya jadi terbiasa untuk bermunggahan di rantau.Lagipula saya pikir munggahan akan menjadi tidak efektif jika jarak seseorang dan keluarganya (lebih tepatnya orangtuanya) sangat jauh hingga memakan ongkos dan waktu sementara banyak hal lain yang harus dikerjakan (misalnya kuliah atau kerja). Bukan berarti saya menganggap kuliah ataupun kerja lebih penting daripada sowan (bertemu) orangtua.

Teman saya si jobseeker suatu ketika pernah berkata bahwa seharusnya dia keluar dari Bandung. Maksudnya merantau keluar Bandung (karena dia asli Bandung). Tapi alasannya apa? Menikah tidak, eh belum. Bekerja apalagi. Yang ada malah nambah ongkos hidup, begitu dia bilang.

Saya sebagai mahasiswi tingkat sangat akhir (semoga berkah Romadhon bisa memberi kemudahan saya dalam meraih gelar kesarjonoan saya ?), akhir-akhir ini saya tidak terlalu suka pulang ke rumah. Rupanya alam bawah sadar saya berkata bahwa saya fobia rumah karena ada beban menanti kapan lulus.Hahaha! Fobia? Sebuah pertanyaan berlebih-lebihan tentang diri sendiri.

Sedangkan teman saya si jobseeker itu menimpali kalimat saya dengan ‘Emangnya lu aja yang ditanya. "Gue juga nih. Menjelang Lebaran gini pasti gue bakalan ditanya kerja di mana. Pan lu tau sendiri gue interview mulu bolak-balik, kerja kagak!"

Kembali ke awal sebelum munggahan adalah konyolnya saya dan si teman jobseeker yaitu kami sendiri sama sekali tidak saling bermaafan baik lewat SMS ataupun ketika bertemu. Terakhir saya bertemu sehari sebelum puasa Romadhon tahun ini dan kami aerobik bersama - gaya ya, aerobik, biar sehat ?.Akhirnya saya memutuskan bercerita di sini sekaligus sebagai permintaan maaf. Pada siapa? Pada orangtua saya tentunya (perasaan bersalah karena belum lulus - hiks hiks hiks).Dan saya ketika saya bilang saya akan menceritakan tradisi munggahan dan minta maaf ini, teman saya si jobseeker bilang nitip maaf. Lho?"Iya, mintain maaf gue ke keluarga gue juga lewat tulisan lu."

"Minta maaf karena gue belum kunjung menghasilkan uang sendiri. Minta maaf karena masih minta uang saku." Begitu katanya pada saya via telepon.Syukurlah kedua orang tua saya dan teman si jobseeker itu masih hidup. Kami masih berkesempatan mendengar sendiri suara maaf mereka.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home