Thursday 25 June 2020

BULAN SABIT

Ibadah Menulis di Sepanjang Juni sesi ke-25

(sebuah cerita tentang dongeng omong kosong)


Mulai temaram. Sebentar lagi, pasti gelap. Namun, perpaduan semburat oranye membara dan warna biru gelap di langit yang hanya berlangsung singkat ini senantiasa indah untuk dinikmati.
Senja, seperti yang sekarang terlalu banyak disebut jutaan orang di perlbagai platform media sosial, sudah menjadi kesukaanku sejak lama.
Kesambet, ntar! Balik, yuk!” ucap sebuah suara yang mendekat.
Eits! Jaga jarak aman!” balasku seraya mengangkat kedua lenganku dengan gestur berupa penolakan.
“Sebentar lagi tahun ajaran baru…” sahutnya dengan jeda panjang di akhir kalimatnya, membuatku mudah untuk menyelanya.
“Iya, teruuuuuus.” balasku sinis.
“Kita kapan naik gaji, yak?” tanyanya dengan mata menerawang.
“Kalau penjualan meningkat?” jawabku dengan tanya.
“Sebenarnya menteri kita ini, jadinya keputusannya gimana sih?” tanyanya lagi, seperti yang tak menghiraukan responsku sebelumnya.
“Kabarnya, kita ada perpanjangan waktu satu semester. Kabar lain lagi sih, bulan Juli nanti semuanya kembali seperti sedia kala.” jawabku sambil menoleh melihatnya.
“Lho?! Nanti kita kunjungan ke sekolah lagi, kayak sebelum korona-koronaan ini?” tanyanya lagi. Kali ini, dia ikut menoleh. Memandangku. Kami saling bertatapan sejenak.
Tenang, ini bukan cerita cecintaan apalah-apalah. Ini hanya cerita tentang omong kosong, di antara dua orang yang membicarakan omong kosong.
“Nanti kita pakai APD?” lanjut dia berkata, saat kami masih saling bertatapan.
Akhirnya kami berdua sama-sama mlengos, memalingkan muka masing-masing.
“Ya enggak lah, ghobloq…!” sergahku tajam.
Trus, kita nanti gimana?” Dia memutar badannya sekitar empat puluh lima derajat, dengan aura gestur yang memancar berupa paksaan, agar ikutan memutarkan badanku juga sekitar empat puluh lima derajat berlawanan arah.
“Ya kita bawa laptop, dan bahan presentasi. Proposal penawaran tentu saja. Dan seterusnya, dan seterusnya.” jawabku. Kali ini aku tak tahan untuk tak noyor kepalanya.
“Aku jangan … kamu ini, jangan noyor-noyor gini, dong! Nanti kalau aku tambah bego, gimana?” rengeknya setelah kutoyor kepalanya tadi.
Aku menghela napas lalu menengadah menatap langit yang sudah gelap. Malam sudah seutuhnya datang. Terlihat penampakan bulan sabit.
“KITA KAN JUALAN BUKU PELAJARAN IMPOR. YA GAK ADA URUSANNYA SAMA KOSTUM APD!” seruku kesal.
“Kamu resek kalau lagi baper. Nasi goreng Mang Aep yang biasa, yuk!” bujuknya sambil mengedip-ngedipkan mata semakin membuat kesal.
“Bayarin, nggak?” Tak mau kalah dengannya, aku balas merajuk.”
“Kita ini mau jadi apa? Sama-sama miskin, kok malah minta traktir-traktir? Gak ada!” sahutnya ketus.
Kami melangkahkan kaki ke Nasi Goreng Mang Aep yang jaraknya hanya sekitar lima ratus meter.
Kulihat bulan sabit yang tadi, mengiringi perjalanan kami.
Mengiringi omong kosong kami.
Mengiringi keluh kesah khas, milik orang-orang yang berjibaku dengan target penjualan.



[ neto 440 kata, menurut perhitungan Word Count ]

=== trotoar dalam ingatan, 25062020 ===

Labels: , ,

2 Comments:

Blogger bobo said...

Mengandung unsur kekerasan pisik....hahaha

6/26/2020 1:07 am  
Blogger duniaputri said...

hauhuahahahhahahaa iyo yo, pakek adegan toyor-toyor kepala yo Pap. hauhuauhahahhahaa

6/27/2020 12:35 am  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home