Sunday 21 June 2020

Karena ̶G̶e̶r̶b̶o̶n̶g̶ Yang Khusus Perempuan ̷A̷n̷e̷h̷n̷y̷a̷ Sama Ajaib

Ibadah Menulis ke-21 Sesi Bercerita ke-20


#CERITA #eksperimental #REALISME



"Wah, ditraktir lagi sama si Tante. Jadi mau seneng saya... Hahaha!" Sambil tertawa tanpa malu, diraihnya sepotong Chiken Spicy dari kotak ayam goreng Nganu-Nganu yang tersaji di meja.

Yang dipanggil Tante hanya tersenyum seraya melirik pria di sebelahnya.

"Engga, ini sih pacar Tante Di... yang traktir. Kan dari dompet pacar..." sahutnya sambil menoleh para seorang pria di sebelahnya sebelum meneruskan, "ya kan Yah ini sih dompet Ayah bukan uang Ibu."

"Hahahaha!" sang pria terbahak-bahak sambil mendongak, sejenak mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel dalam gengamannya.

"Siap, Om. Nanti dibantu lagi pas tanding..." kata dia yang dipanggil Tante Di.

"Hadeuuuuh. Pusing. Kalian main apa sih? Aku suka ga ngerti, ih..."

"Dasar si Tante Ningsih, padahal si Om main itu terus. PUBG doang, ini. Heuheuheu."

"Trus mau lanjut ke mana ini, Tante? Sori, lho. Gak jadi lanjut ke Bu Vina. Sedang ingin pacaran di bioskop. Aa' Lingga sampai sengaja ditinggal di tempat nini-nya, biar konsen ini."

"Pantesan, kok gak ada Aa' Lingga. Biasanya trio terus, Tante." ujarnya seraya meraih minuman dingin dalam gelas plastik dengan segel machine press macam di lapak-lapak jualan minuman kekotaan.

"Hehehe. Ikut panduan, kan mau nonton yang tujuh belas pleus. Anak umur sepuluh tahun ya gak boleh diajak nonton. Trus, gimana? Kenapa itu Bu Vina?"

"Oh, tenang Tante Ningsih. Semua bisa diatur. Sebenarnya itu Bu Vina sedang perlu bantuan untuk mahasiswa bimbingan dia, yang ada kaitannya ama ICT-Based. Besok sore saya ke sana buat keputusan apakah si mahasiswa perlu sekalian ganti pembimbing atau pakai pola pembimbing kedua. Dan, denger-denger Bu Hayati mau ikutan. Kan spesialis Listening. Bilangnya mau Listening Assesment, tapi gak kelihatan di proposal penelitian."

"Ini mahasiswa perlu lebih ditatar. Kita ini, kalau lagi libur semesteran, belum tentu bisa libur full. Ada ajaaaaaa, rapat ini dan itunya. Apalagi kalau urusan akreditasi." keluh dia yang sedari tadi dipanggil Tante Ningsih. "Untung saya sih yang standar aja, Curriculum Design." lanjutnya menutup secercah keluhan di awal.

Keesokan sorenya, Bu Di alias Bu Diana Rahmanita, berpapasan dengan Bu Hayati di ruang dosen. Kedua dosen yang sama-sama kisaran usia awal tiga puluh tahunan ini saling tersenyum, walau sekadar basa-basi.

"Lho, ada di sini Bu Didi?"

"Ibu kenapa ada di sini juga?" balasnya dengan tanya.

"Kebagian instruksi dari rektorat, mewakili jurusan. Persiapan DIES NATALIS."

"Oh. Saya sih biasa, numpang fasilitas di sini. Masih lanjut mau usaha buat hibah penelitian. Di pengumumannya katanya tahun ini diperpanjang batas waktunya. Lumayan, masih ada sebulanan lagi."

"Kirain Bu Didi numpang main game lagi di sini." ujar Bu Hayati sambil tersenyum.

Namun, ada nuansa tak nyaman menyeruak dari tebar senyumannya.

"Yah, Bu. Itu jelas mana bisa laaaaah. Kan ada proteksi akses Wi-Fi." balas dia yang dipanggil Bu Didi dengan tatapan wajah setengah menahan ekspresi tak nyaman yang dirasakannya.

"Kemarin saya kontak Bu Ningsih, dia santai gitu balasnya. Gak ikutan karena mau nonton sama suaminya. Saya saja anak empat, dua masih pada kecil-kecil, mau padahal. Dia sih enak, anaknya hanya satu."

"Wah!" serunya menanggapi Bu Ningsih. "Sebenarnya dia sudah minta tolong ke saya sih Bu. Kebetulan karena ada obral-obrol ICT-Based, saya tertarik ingin tahu. Mahasiswanya Bu Vina itu mau ngapain sebenarnya penelitiannya."

"Bu Didi sih enak. Belum nikah. Apalagi anak. Belum ada anak untuk diurus. Jadi santai yah, waktunya banyak." lanjut Bu Hayati melancarkan serangan keluhannya.

"Gak juga sih, Bu. Kalau dari penjelasan Bu Ningsih, pikir-pikir di metoda penelitian memang condong ke ICT-Based Learning. Tapinyagak ke arah Curriculum Design. Kalau memang ke Listening, mungkin itu bisa berubah. Kalau rumusan masalahnya berganti. Mungkin, Bu Vina lebih paham."

"Oh, gitu ya." sahut Bu Hayati dengan ekspresi seperti tak peduli.

"Ibu kenapa mau, kalau memang sibuk?"

"Ya, saya kan perlu dana bimbingannya. Siapa tahu keputusan akhirnya, kalau memang Listening, bisa ke saya SK Pembimbing Skripsi-nya."

Keduanya berpisah jalan, pulang ke tujuan masing-masing.

Sesampainya di rumah, Bu Didi mulai memeriksa ulang berkas coret-coret hasil tadi menumpang fasilitas kantor alias Univesitas Why Frankenstein Maju Jaya, sang universitas swasta yang terkenal di Kota Nothing Lost di Provinsi Skotarizona Selatan.

Beberapa puluh menit berlalu dengan tenang. Sudah beberapa minggu terakhir ini, hanya tinggal dia seorang tinggal di rumah. Kedua orang tuanya sedang liburan ke Freiburg, Jerman. Menyambangi adiknya semata wayang.
Terdengar suara ketukan di pintu memecah ketenangan.

"Sebentar!"

"Oh, Bu Iswandanu. Bagaimana, Ibu? Ada apa tuh?"

"Oh, Ibu ada Neng?" ucap dia yang dipanggil Bu Iswandanu.

Rupanya beliau hendak minta keringanan biaya kontrak rumah Mama di Naga Lima, untuk perpanjangan tahun berikutnya. Padahal, sudah tahun ketiga. Mereka biasanya menaikkan biaya kontrakan per dua tahun sekali, untuk biaya perbaikan standar dan perawatan rutin properti.

"Nanti saya bahas dulu. Kebetulan Ibu saya masih belum kembali, sama Ayah saya juga."

"Oh, gitu. Iya, Neng. makasih."

"Sama-sama, Ibu."

Malamnya, dia yang bila di kantor alias kampus dipanggil Bu Didi pergi menemui seorang teman lama di kedai kopi dekat stasiun.

"Kan pusing gue, beib! Dia ngelama-lamain, ngajak nikah tuh harusnya udah dari berapa tahun lalu." keluh sesosok perempuan yang sepantaran dengannya.

"Sherly, Sherly. Ini pacar yang mana lagi?" sahutnya sambil menyeruput kopi hitam di depannya.

"Pacar baru stok lama. Si Ramdan."

"Lho, katanya dia KDRT. Eh, KDP dink. Kekerasan Dalam Pacaran."

"Ya tapi masalahnya, di mana lagi ada calon suami potensial gitu."

"Okedeh. Lanjut..., ya ati-ati aja sih. Kalau emang bener..."

"BENERAN!" sergah dia yang dipanggil Sherly.

"Ya gimana ya, Sher. Elo, pake kartu kredit dia semena-mena. Trus, dia gak terima. Bukannya wajar ya, dia marah-marah. Bentak-bentak."

"Kok belain laki gue? Lo ada apa ama dia?!" serbu Sherly dengan tatapan mata merajuk.

"Lo jangan kumat, yak..." lirik Diana serius.

"Hehehe." Sherly merespons dengan tawa gemas menyebalkan.

"Jadi gimana?"

"Elo sih enak, kemarenan pas lanjut kuliahnya ada bisa gadein surat pensiunan bokap lo." ucap Sherly sambil manyun-manyun tanda mulai serius nyebelinnya.

"Gak gitu, ya Sher... ya..." lirik Diana lagi seraya melanjutkan, "Lo sekali lagi ngeselin, tinggal lho ya. Jangan cariin gue pe tahun depan."

"Yaaaaah, sensi..." Sejenak Sherly memberi jeda pada ucapannya, sebab dia mulai menyeruput es kapucino. "sensi... ih! Kan lo tau, gue gak ada bokap dari SMP gara-gara dia memilih sibuk sama betina lain ketimbang istrinya sendiri dan anak-anaknya."

Sejenak keduanya tenggelam dalam diam masing-masing. Sedangkan suasana di sana semakin riuh saja, namanya juga Prime Time alias jam orang nongkrong-nongkrong cantik dan tampan.

Tak satu pun di antara semuanya di sana yang dapat menduga, bahwa persebaran wabah virus korona ke seluruh penjuru bumi semakin serius, selang sebulan dua setelahnya.



=== Kota Fiktif Dalam Anganmu, 21 Juni 2020 ===

Labels: , ,

4 Comments:

Blogger bobo said...

Jadi.....waktu itu aku di mana ya 😍

6/21/2020 11:24 pm  
Blogger duniaputri said...

hahahahaha si Papap. kagak adeeeeeee.

6/21/2020 11:34 pm  
Blogger Josephine Maria said...

Persebaran apa penyebaran?

6/22/2020 12:46 am  
Blogger duniaputri said...

persebaran, duoooonks. kan emang ada dua-duanya: persebaran, dan penyebaran.

6/23/2020 1:09 am  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home