Dunia Tanpa Kenapa
Labels: cerita, eksperimental, MenulisDiBulanJuni, realisme
"i IQRA therefore i REBEL" ~ zodiak: LEO. ~ tinggi berat: Botol Selei.
Labels: cerita, eksperimental, MenulisDiBulanJuni, realisme
(setoran hari dua puluh tujuh)
"Lho, Ceuceupia kan memang sudah lama sekarang jadinya tinggal di rumah perum. Mba baru tahu?" sapa si pemilik rumah saat kami bertukar sapa, basa-basi lama tak jumpa.
Aku terperangah. Jika bukan karena titipan ibuku, yang merupakan kakak dari ibunya, aku tidak akan sampai sini.
Titipan berupa amplop uang untuk ibu mereka, bibiku. Juga beberapa kotak berkat. Wabah boleh terus berjalan, tetapi perayaan kematian Oma yang ke-1000 hari harus tetap membahagiakan. Demikian menurut ibuku.
"Loh, Ibu Yasmi ngga ikut sih Mba?" masih juga aku disapa dengan nada suara bertanda tanya. Ibu Yasmi adalah ibuku, dipanggil dengan namaku.
Pemilik rumah sibuk bebenah, belum termasuk anak-anaknya minta ini itu, aku celingukan mencari-cari.
"MASIH DI PERUM MBA. PALING NANTI CEUCEUPIA AJA GINA JEMPUT PAKAI GOZEK DARI SINI. MAMAH AKUNYA TUH MAU KONSEN TADARUSAN AJA KATANYA, KAN OMA SERIBU HARI. MBA KALAU..."
BRAK.
Belum selesai dia bicara, ada suara nyaring. Disusul dengan, "GUSTI ANAK AING! DE KENAPA DIJEBLAG PINTUNYA IH KAMU!"
Rupanya sang bibi di rumah perum saja. Aku diam bergeming, tak kusentuh amplop uang titipan ibuku. Buat apa, orangnya tidak ada di sini.
Baru juga aku duduk di teras, karena ingin merokok sebatang saja, ada orang lain lagi muncul.
Orang-orang asyik di dalam rumah, seperti aku yang asyik di teras.
Tak berapa lama setelah rokok sebatang usai mengabu, yang katanya dijemput pakai gozek panggilan dari sini tiba.
Empat perempuan, tepatnya, tiga perempuan menikah dan satunya belum, siap mengobrol. Entah dari mana mulainya, tiba-tiba orang-orang ini sudah mulai berbagi cerita dalaman mereka.
. . .
"Ya bukan karena dia kakak saya, tapi yang benar saja." ujarnya berapi-api.
"Coba, gimana rasanya. Anak meninggal, malah dibahas kain batik penutup, katanya, itu kain kan masih baru dapat hadiah." Yang dibela, kami memanggilnya Ceuceupia, menimpali.
Kulihat keduanya sambil tersenyum belaka. Seorang lain lagi, sepertinya hendak ikut menimpali obrolan kami. Benar saja.
"Pernah, ini sih yang..." diliriknya sang adik, Gina, meminta bantuan ingatan.
Sang adik yang menjadi pemilik rumah di mana kami berkumpul tak sengaja ini, sejenak mencoba mengingat, yang mana yang dimaksud dengan 'pernah' ini.
"Oh, iya. Yang itu juga. Giliran Kakang Bagas lahir, masa komentarnya ngga enak didengar. Dih, laki-laki. Anak saya ini sudah laki-laki semua empat-empatnya. Ya terus? Kan bukan anaknya si Ibu dong. Gimana sih."
Aku menatap penuh tanya.
Sesosok yang setelah beberapa jam sejak kedatanganku, akhirnya kuketahui merupakan bidan mereka, menambahkan.
"Kebetulan waktu itu, sedang kebagian tugas. Jadi, ada di rumah sakit saat itu terjadi."
Sang kakak manggut-manggut.
Sang adik rupanya masih ingin bersuara.
Sedangkan sang bidan, sepertinya sedang menanti kesempatan, akan kapan saatnya dia bisa turut bercerita bagiannya. Kukira begitu.
"Ya sebenarnya, Mamah juga bukan berarti sempurna. Tapi kan ya, saling-saling aja dong yang gini sih. Memang, pernah juga si Mamah pakai uang sampai berapa juta, eh yang dipulangin hanya sejuta dua. Ya tapi sudahlah."
Aku mencoba mengingat. Oh, jadi, Ibu itu mertua Ceuceupia, Mamah itu mertua Gina.
Tak tahan aku untuk menanggapi.
"Kepikiran ngga, kalau, selain menikahi anaknya itu juga kalian menikahi keluarganya, ya lengkap dengan orang tuanya. Dengan ibunya."
Ketiganya kompak menatap kesal ke arahku.
Aku hanya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-geligi gingsul andalanku, sambil berucap, "Sowreeeee."
Selang beberapa detik kemudian, kami tertawa bersama. Entah apa lucunya, entah di mana lucunya, aku mendapati diriku ikut tertawa lepas bersama mereka.
Pernikahan terdengar semakin rumit saja, malam itu. Berkat kumpul dadakan, para sepupu. Aku, dan kakak-beradik, dan bidan teman mereka.
Provinsi Bigot Jawa Barat,
27 Juni 2021
Labels: cerita, eksperimental, MenulisDiBulanJuni, realisme
(hari dua puluh lima si Ibadah Menulis di Sepanjang Juni)
“Jadi, ada cerita apa hari ini?” tanyaku.
“Ngga banyak sih. Cuma…” dia tak melanjutkan ucapannya, tetapi ekspresi wajahnya kulihat penuh campuran emosi manusia.
Kudiamkan saja dia, sambil sibuk menyemprot tanaman di pot.
Betul. Di ruangan ini, seperti di film, kupajang beberapa tanaman yang bisa hidup di pot. Hijau-hijau tetumbuhan, entah apa penjelasan ilmiahnya, membuatku merasa nyaman.
Sampai sudah selesai kusemprot-semprot semua dedaunan si tanaman-tanaman di pot ini, dia masih diam.
“Cuma, cuma apa hayo?” pancingku.
Dia masih diam bergeming, tak bersuara, sampai akhirnya aku memutuskan untuk duduk saja. Capek lah ini kaki, berdiri terus.
“Cuma bingung. Jadi… jadi? Eh aku minta resep aja lah. Ngga bisa tidur nih.”
Bangkit aku dari kursiku, dan segera kumendekat padanya, yang duduk manis di sofa sambil celingukan.
“LHOH KOK GITU. Ini sebagai apa? Sebagai pasien atau sebagai teman?” sergahku cepat.
“Sebagai cinta? Ya jelas ngga mungkin kan? Aku masih tetap tidak berniat menidurimu.”
Aku tertawa. Gilak ini cewek, kalau ngomong memang suka sembarangan.
“Terus kamu pikir, saya mau ditiduri olehmu?”
Balasku dengan tanya.
Dia tersenyum lebar, dan melanjutkan dengan nada suara memelas dibuat-buat.
“Ayo dong, pliiiis bantuin.”
“Kenapa? Kenapa aku harus memberimu resep obat buat tidur segala? Yakinkan aku dulu. Kalau ngga, nanti ini bisa jadi malpraktek ini.”
Dan sebenarnya, ini bukan yang pertama kali.
Pertama kali bahwa aku khawatir, jatuhnya yang seperti ini jadi malpraktek.
Astaga. Dokter macam apa ini.
“Berapa hari lalu, teman mati. Ya, entah pula apa karena wabah atau apa. Gaduh betul itu di grup WhatzUpp juga si medsos, ngga kuperhatikan lagi. Sejak lihat kabar dia mati. Teman di, ya gitu lah. Panjang lagi nanti, kalau harus diceritakan.”
Tak tega aku mendengarnya.
Dulu sekali, saat kami baru saling berkontak lagi, dia pernah minta tolong ke sini. Karena hasratnya untuk mati terlalu tinggi, tetapi ada sesuatu entah apa itu di dalam dirinya yang akhirnya memaksanya meminta bantuanku. Mungkin. Mungkin karena memang kami sudah saatnya bertemu. Yang jelas, kupikir, karena itu.
Karena bila berjodoh, yang sudah seharusnya bertemu pasti bertemu. Dokter bertemu pasiennya.
“Ini tapi ngga boleh aneh-aneh ya. Ingat. Kita itu sudah tua. Sudah ngga perlu lagi yang aneh-aneh. Cuma untuk 3 hari. Kita lihat setelah tiga hari.”
Sambil coret-coret, kuberikan kertas yang berisi resep pesanan padanya.
“Kamu lagi ada duit ngga?” tanyaku saat dia menerima si kertas.
“Ngga ada. Makanya ke sini tadi, jalan kaki.” balasnya polos.
“Bagus. Biar capek. Kalau capek. Tidurnya jadi enak.” santai kutimpali jawabannya.
“Terus kalau ngga ada duit? Ada sih, belum cair tapi. Mau bobol tabungan yang ngga seberapa, ngga tega eh.”
Dia malah nyerocos.
“Maksudku, ngga usah bayar biaya konsultasi. Nanti kuberi kode dulu si resepsionis di depan. Terusnya?”
“Terus apa? Kok berhenti?” sambarnya.
“Terusnya? Kalau sudah makan, pulang sana jalan kaki lagi. Kalau belum, ayo kita makan. Kutraktir sini. Kamu ini, sudah miskin penyakitan.” kuusap kepalanya seperti kalau kita mengusap kepala anjing kesayangan.
“Iya, nih. Sesuai slogan dua tahun terakhir ini ya? Tetaplah hidup walau tidak berguna.”
Tak lama setelah dia mengatakan itu, aku tiba-tiba bersin sangat kencang. Hingga sedikit beringus ini di balik masker.
Kedua mata kami saling bertatapan.
Lalu tertawa bersama.
(510 kata)
Provinsi Bigot Jawa Barat
Di antara 25 dan 26 Juni 2021
Labels: cerita, eksperimental, MenulisDiBulanJuni, realisme
(hari dua puluh empat, sekarang Set Flash-Fiction Isi Tiga yang dirangkai jadi judul postink ini. jumlah kata dan karakter, sudah termasuk judul)
=== MEREKA ===
"Gila. Gue banget. Dulu digombalin laki, begitu. Sekarang dia udah jadi anak bujang," ucapnya sambil mengusap anak laki-laki kelas 2 SD yang sedang asik makan, lalu dilanjutkannya dengan sengit, "apaan banget coba."
Aku menatapnya sejenak sambil nyengir, kemudian kulanjutkan makanku.
"Gue aja sekali tes, langsung bisa jadi PNS lah dia? Gilak sampai umur sudah lewat, sudah berapa kali berarti dia coba. Tiap tahun!"
Kacau. Aku pikir tadinya, numpang bermalam di rumah si teman lama ini akan berjalan biasa saja tanpa obrolan yang terlalu terbuka.
Tak berapa lama setelah obral-obrol di ruang makan, si suami yang sedari tadi dia keluhkan pulang juga.
Kulihat ekspresi wajah lelah dan entah apa ini.
(110 kata, 701 karakter)
=== MEMILIH ===
"Sudah kubilang, aku ngga suka diganggu, saat sedang baca dan ngetik. Kamu, gitu lagi."
Kali ini, anehnya dia tidak sambil melempar satu atau dua bukunya, ke arahku.
"Tapi, ini soalnya ngga bisa pasang selang gas barunya. Aku mau masakin makan malam kesukaanmu."
Kuberanikan diri berkata padanya.
Selang berapa detik kemudian, suara tangisan pecah. Balita kami.
"Aku beresin tabung baru, itu anak jangan nangis gitu lah. Aku ini sedang sibuk mengetik. Butuh konsentrasi."
Sambil mengatakan itu dengan nada suara yang membuat dadaku sesak, aku segera pergi untuk menenangkan si bayi.
Terlintas di benak, bila dulu dia tak kulahirkan, aku kan jadi tidak perlu menikah. Semakin sesak saja rasanya, di ulu hati ini. Kenapa? Jadi begini.
(115 kata, 732 karakter)
=== CINTA ===
"Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam? Apa bunyinya tadi, cinta?" tanyanya dengan ekspresi wajah datar.
Sebenarnya aku ingin berkata, aku sendiri masih tak yakin dengan, apa itu. Cinta? Itu apa? Namun aku hanya diam bergeming, menatapnya yang sedang melepaskan jaketnya.
"Aku bersamamu sejak kamu masih punya pekerjaan, dan aku akan tetap bersamamu yang kini, sedang? Yang kini sedang pengangguran. Jadi, kamu masih mau mengusirku pergi dari hidupmu atau?"
Aku masih diam, melihatnya berbicara sambil mereguk sisa minumanku.
"Ah, keras juga ini minuman." sahutnya, sebelum menatapku tajam sambil berkata, " Kamu. Hanya sedang memiliki kelebihan waktu luang."
Aku, masih diam.
(100 kata, 684 karakter)
Provinsi Bigot Jawa Barat
24 Juni 2021
Labels: eksperimental, Flash Fiction Set, MenulisDiBulanJuni, realisme
(hari dua puluh tiga #IbadahMenulis di sepanjang Juni, yang mengalami keterlambatan akibat sepanjang malam asyik memantau kekopian)
--- sebuah trilogi cerita super pendek ---
RAPAT
"Kita buat pelatihan, itu misalnya para wartawan diberi pembekalan dasar saat liputan bencana. Coba minimal, itu kan harus bisa berenang gitu kan?" ujar Pak Ketua Umum. Tak lama setelah itu, ada kabar masuk. "Tim Harapan Berjaya ketimbun longsor di dekat arah Cisanggarung. "Kenapa ya, istilahnya panjang umur, kalau ada yang kayak gini. Kita baru juga bahas, lhah itu dia datang kabarnya." sahut Pak Ketua Umum santai.
(424 karakter, 67 kata)
KEMUDIAN
"Selanjutnya, yang perlu dipikirkan adalah, pemberdayaan ekonomi. Jadi, kenapa disebut kreatif, si ekonomi ini, bukan sekadar hiasan belaka. Ada pengetahuan, di baliknya. Nah, inilah, yang menjadikan ekonomi kreatif ini makanya disebut kreatif itu tadi. Idealnya."
Sambutan Ibu Kepala di panggung terdengar menarik. Namun, bagaikan celoteh di iklan, kesan kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah kita. Aku, sudah biasa, mendengarnya.
"Wah, Bu Wakil. Saya ini sebenarnya kan ingin partai menjadi yang terdepan begitu. Agar kalau setelah Ibu saya bisa ikut icip-icip melaju ke babak selanjutnya."
Si Ibu Kepala berceloteh penuh motif ke Bu Wakil, Ibuku. Aku terbiasa, karena pembiasaan yang dibiasakan ibuku sendiri.
(730 karakter, 103 kata)
NGOPI
"Bagusnya, kalian ini sambil ngapain gitu." ucap Kang Cakra. "Sambil ngapain gitu, Kang?" tanya si Omay. "Ah, kamu mah suka ofset saja kalau ngomentar." sahut Eceu Sekretaris. "Sambil ngopi atuh, euy!" sanggah Kang Cakra sebelum melanjutkan, "Sambil jualan kopi lah. Biar jangan kelihatan banget ngemis berita, atau ngemis dana program."
(342 karakter, 51 kata)
Provinsi Bigot Jawa Barat,
di antara 23 dan 24 Juni 2021
Labels: cerita super pendek, MenulisDiBulanJuni, realisme
(hari dua puluh dua #IbadahMenulis di sepanjang Juni)
Aku mengedip beberapa kali sebelum akhirnya membuka mata lebar-lebar.
‘Ingin pipis. Ingin main game. Ingin? Oh, lapar.’
Bergumam pada diri sendiri adalah bagian dari indahnya hidup saat baru terjaga dari tidur yang enak banget.
Geratakan tanganku ke sekitaran lantai, mencari-cari ponsel. Rupanya jam sepuluh lebih sekian menit.
Dan hari Senin.
Kubuka ponsel, lalu aplikasi perpesanan Teletelegramgram, lalu kukirim pesan suara.
“Aduh, perjalanan ketemu jombi lagi nih.”
Setelah si pesan suara terkirim, aku bingung sendiri.
Itu suara kenapa deh.
“Aaaa, eeeeuuuu, hhhaaa…”
Mangap-mangap aku membunyikan suara-suara sambil senam muka.
Ngga ada ngajar, revisi pesanan ghostwriting belum ada tanda kedatangan, ngga ada orang pesan dimsum, ngga…?
Kulihat ada pesan balasan datang, sama-sama berupa suara.
“Iya, demi makan siang berkebudayaan, mari kita bertualang menghindari para jombi. Mau makan apa? Berapa abad lagi kita bertemu? Dan kita akan merapatkan barisan di mana?”
Aku mendengar balasannya sambil masih mengumpulkan kesadaran.
Namun, rupanya aku sambil merekam ini ocehan.
“Mabok engga, linglung mah iya.”
Telepon masuk langsung menjadi balasan kiriman pesan suara yang tak disengaja tadi.
“Ya, gimana gimana gimana?”
Suara di seberang sana membalas dengan tawaran menggiurkan.
“Kamu mau ngumpulin nyawa di unitku? Ini aku masih ada roti isi tuna dan mayones, lalu kaleng kopinya Katie ketinggalan di sini, dan dia sudah merelekannya untuk dihabisi.”
Hanya dalam kurang dari seperempat jam aku sudah muncul di TKP.
“Halo pagi kesiangan Senin yang indah.” ucapku pada si hidangan roti tuna mayones dan secangkir kopi hitam tubruk di depanku. Rokoknya jangan lupa, agar bahagia.
“Bagaimana, sudah bahagia?” tanya si pemilik unit yang aku datangi ini.
“SANGAT BAHAGIA. Yah, sebelum dipaksa ke sini pun aku sudah bahagia.” sahutku sambil tersenyum lebar.
“Bagus.” responsnya singkat.
Inilah, CARPE DIEM. Pikirku dalam aliran waktu terasa seperti ada bunga-bunga di mana-mana.
“Eh kamu kok ngga ikutan mengunyah apa, gituuuu?”
Baru kusadari, sedari tadi aku saja yang sibuk sendiri.
“Aku sudah duluan. Dengan roti tuna mayones yang sama.”
Sambil manggut-manggut, aku memutar ulang aktivitasku yang tadi berjibaku dengan segala kebahagiaan kecil Senin kala peradaban: nyeduh kopi tubruk.
“Aku juga bahagia, melihat teko listrik kamu ini. Sungguh produk hasil kebudayaan yang menarik, bisa untuk buat air mendidih demi menyiram kopi.”
Dia akhirnya bergeser ke dekatku, yang melantai tepat di depan televisi. Bukan buat nonton TV, melainkan, karena di situ area yang luasnya cukup untuk menaruh pantat dan asbak dan kopi tubruk dan si roti tuna mayones.
“Kamu habis ngapain tho, kok kayak Bandung Bondowoso habis buat seribu candi gitu.” celetukan setengah bertanya muncul darinya yang ikutan menaruh pantat di dekatku.
Menaruh pantat, maksudnya duduk.
“Oh, itu, aku baru ingat kalau sekarang sudah musim pergantian tahun ajaran, terusnya, batas waktu draf si “Perjalanan Menuju Tomohon yang Tangguh” memang masih minggu depan tapi karena limpahan dari si Ayu itu loh yang aku bilang buku-buku how-to sama di otobiografi dan biografisnya sekalian. Nah, jadinya…”
Aku menguap lebar, lantas menyesap kopi sedikit, sebelum melanjutkan, “… mau konsentrasi mabar sama yang waktu itu kubilang, si klub Jakarta Selatan Harga Diskon. Lha kamu sih ngapain?”
Sehabis bertanya, aku menguap lagi.
Lambung terlapisi, kopi tubruk masuk, suplai nikotin aman, dan tersisa bengong saja ini.
“Sudah beres kan? Sini, mau lihat isenganku sama si ular?
Kami berpindah ruang, ke ruang kerjanya.
Jauh sebelum ada wabah, kejadian seperti “Carpe Diem” yang kulakukan ini sudah biasa kok.
Termasuk aktivitas “menghindari jombi”, yang maksudnya kami menghindari kerumunan orang-orang, lebih ke agar tidak ada yang membajak jalur untuk diajak mengobrol saja sih.
Dia, unitnya lebih dari unitku yang hanya ukuran kamar studio.
“WOOOOW. …. Phyton sama Anaconda apa bedanya sih.”
Sebentar, ini bukan ular yang ular. Ini, programming gitchudeeeeeh.
Kami jadi asyik berjamaah, barengan sambungan internet.
Dan terus asyik. Asyikin saja.
Hingga ekor mataku melihat penampakan waktu di sudut kanan bawah layar monitor.
“Lhoooooo? Ini apa-apaan ini kok sudah ada angkat satu muncul? P titik M titik, pi em. … hmmm, apakah kamu udah lapar? Aku masih ngantuk, eh?”
“Tidur gih sana. Ini masih mau rapikan si ular piton gemas dulu, rencanaku mau pamer di grup itu targetnya sebelum jam lima sore ini, tetapi hanya semacam teaser. Anggaplah itu tanda bahwa aku masih hidup, selain agar aku tidak kalah eksis dengan mereka yang baru-baru dan masih segar.
Balasannya pada ‘rasa kantuk’ yang timbul-tenggelam sedemikian lengkap kurasa.
“… yang bulan kemarin aku bilang itu, si Yosi itu…”
Sebagian besar dari ucapannya sudah mulai tak menembus gendang telinga.
Mungkin karena aku sudah meraih bantal dan kain pantai, setelah sebelumnya menggelar karpet mini agar bila menggeletak di lantai tidak langsung bertemu ubin.
Di mana? Di depan televisi yang hadirnya hanya bagaikan hiasan belaka.
“Ini TV dijual saja bagaimana? Aku taruh di grup jual-beli barang seken kualitas ori, mau?”
Sempat-sempatnya aku bertanya, saat sudah dalam posisi Sleeping Buddha.
“Lho ngga bisa, itu punyanya Sisi itu yah walau ngga pernah dia ambil sampai sekarang.”
“Whokeeeh, sepertih ituh…. HWAAAAAHHHH” balasku sambil setengah mencoba untuk menahan dari hasrat ingin menguap cihuy alias menguap super lebar semi senam wajah. Jawabannya atas pertanyaanku membuatku teringat si pemilik televisi tersebut.
. . . . . . .
Dunia boleh gaduh, langit boleh runtuh. Hidup, ya gitu itu.
Aku sangat bahagia, karena akan tidur lagi sejenak sebelum makan siang.
Provinsi Bigot Jawa Barat,
21 Juni 2021
Labels: cerita, eksperimental, MenulisDiBulanJuni, realisme
(hari dua puluh #IbadahMenulis di sepanjang Juni)
“Oi, Pak’e. Sudah bisa teleponan kamu sekarang? Kemajuan. Heibat.”
Sambil menahan tawa di balik ponsel, kusapa panggilan telepon dari Pak Tua.
Namanya, Pak Gamestya atau siapaaaa gitu. Si Benny memanggilnya Pak Games. Nanta juga. Jadi, aku pun ikutan.
“Woooo, nyindir. Ini, aku barusan, diajari sama Kakak Relawan baru. Langsung kucoba.”
Demikian respons beliau, di seberang sana.
“Teleponan di WhatzUpp, Pak? Gaya, sudah jagoan.” masih kuisengi beliau.
“Lho ini, orangnya masih di depanku ini. Kak Putri mau sekalian kenalan? Ganteng eh.”
Gantian dia yang iseng.
“Halakh, berondong Pak. Gak sanggup aku miaranya Pak. Memelihara diri sendiri saja aku kesulitan.”
Kami sama-sama tertawa via sambungan telepon WhatzUpp.
“Di sini ada pelatihan nge-sol sepatu, terus bikin-bikin apa itu yang dari bungkus-bungkus sacet-an, terusnya ada …”
Kudengar di kejauhan, suara beliau bertanya.
“Eh, Kak Muz, itu apa namanya, yang kakak-kakak cantik itu pada ngajarin?”
‘Oh, namanya Kak Muz. Kamus, dong. Halakh.’
Sambil mencoba menangkap samar-samar obrolan di balik sinyal, aku juga sibuk sendiri.
“... OH. KAK PUT. HALOOOO…”
“Ya, Pak?”
“Ini lho, namanya makrame apa ini, pokoknya kayak hiasan gantung muter-muter gitu. Terus ada yang belajar tambal ban, ada mompa-mompa juga. Tapi ya sambil diajari ngitung duit ini di sini. Jadi yang buat-buat itu, nanti dikumpulkan. Sambil belajar ngitung duit, itu nanti sambil dibantuin jualannya. Katanya sih nanti mau terima pesanan. Yang nge-sol sepatu sama yang nambal ban, itu diajari ngitung harga. Misalnya sol-nya berat harganya beda dari yang sol tipis tapi njahitnya susah. Gitu-gitu.”
Lengkap begini, beliau berceritanya. Pikirku sebelum menyahut kagum, “Weitz. Mantap.”
Sebelum beliau kembali berdongeng, kuteruskan saja keisenganku yang lain.
“Lhah ini kamunya ingat aku kenapa eh Pak’e? Apakah aku mirip sol sepatu atau aku mirip makrame?”
Dia tertawa lagi, sedangkan aku tersenyum lebar.
Sambil mendengar suara tawanya, “Kak Putri yha, ngga berubah masih saja ngelawak.”
Siapa di balik layar ini. Aku penasaran. Namun, urung kutanyakan. Jadi, “Lho, ngga Pak’e. Aku, lho. Serius itu tadi tanya.”
Beliau kembali berbicara panjang.
“Aku itu, di hapeku, cuma ada beberapa nomor telepon lah. Ya Kak Putri, Kak Benny, Kak Nanta, Kak Ali, Kak Nuy, Kak Inun, Kak Mothie, siapa lagi ya. Terus yang gara-gara ini kan, aku sudah bisa pakai We-A gitu lho. Jadi ini enak ya, bisa kirim-kirim gambar. Aku telepon Kak Benny, ngga dijawab. Kak Mothie nomornya jadi bunyi, ‘nomor yang Anda tuju tidak aktif, silakan’ gitu-gitu. Katanya Kak Muz, mungkin itu karena nomornya memang sudah ngga aktif lagi kayak ganti nomor gitu-gitu. Kak Nanta ya sama juga.”
Belum sempat kurespons, beliau gantian iseng juga.
“Mau ya, nomornya Kak Muz? Nanti kapan main ke sini, ketemu gih. Ganteng eh, mapan lagi. Mau ya.”
“YAHELAH PAK. HA HA HA.”
Tak kuasa aku menahan hasrat untuk menyanggahnya, dan akhirnya baru saja kulakukan.
Seperti tak menghiraukan sanggahanku, beliau kembali ke ceritanya yang live-show dari Te Ka Pe.
“Ini orang-orang rame kovid kovid kovid, di sini yang masih pada ngelem ya masih ada. Nah, …”
“Nah apa, Pak?”
Kembali dari kejauhan, kudengar suara teriakan dalam bahasa lokal setempat, bahasa Sunda. Namun, secara hierarki kebahasaan, itu stratanya semacam strata paling sudra.
“Halo, ya halo Kak Putri?”
“Oi, Pak?” balasku sekalian memastikan bahwa sambungan telepon kami masih baik-baik saja.
“... apa tadi? Oh, kan ini mumpung telepon aku ini ada yang jawab eh. Itu tadi, anaknya Neneng, eh masih ingat Neneng ngga?”
Pertanyaan beliau sejenak membawaku ke saat-saat di mana ada perempuan hamil karena terlihat dari perutnya yang besar, teriak-teriak histeris sambil setengah meraung. Bapak si janin di perutnya, masuk rumah sakit karena luka bacok di kepala. Lalu rupanya tidak ada umurnya. Mati sudah. Bacokannya akibat? Oh, aku ingat. Perkelahian antar sesama orang-orang yang hidup sehari-hari di jalanan sekitar pasar ini dan terus sampai ke stasiun kereta. Yang anak-anak kecilnya itu, yang usia-usia sekitaran SD gitu, biasanya disebut anak jalanan. Karena memang hidupnya di jalanan, dan entah orang tua mereka di mana tinggalnya karena, mereka pun tumbuhnya di jalanan.
“Eh Kak Muz, kok sepi gini ngga ada suaranya?”
“Coba di-halo-halo lagi, Pak.” balas yang ditanya.
Kudengar penggalan percakapan antara beliau dan si sesosok bernama panggilan Kak Muz ini.
“Ui, Pak. Ingat aku Pak. Kenapa rupanya?”
Segera kupanggil beliau kembali.
“Eh, lupa ya? He he he, kelamaan sih ngga mampir sini. Keburu wabah, yha. He he he….”
Suara terkekeh tawa beliau terdengar di telingaku lengkap dengan ekspresi khasnya. Wajah sang laki-laki tua yang semakin menua terlihat semakin teduh, dan walau sepertinya tidak pernah kesampaian punya anak tidak pernah kudengar kabar beliau mengadopsi anak atau apa. Sebab setahuku, beliau dan istrinya hanya sibuk dengan kucing-kucing di rumahnya yang entah aku tak tahu, di mana rumah beliau.
“Ingat aku, Neneng janda muda. Itu kan?” tanyaku memastikan.
“Sudah punya suami lagi Neneng sekarang. Kak Putri kapan? Neneng lho, sudah dua kali menikahnya.”
“Halakh, Pak. Aku eh, mau cari suami di mana.” ujarku sambil manyun.
“Woooo, monyong-monyong gitu ah, Kak Putri.”
Seperti bisa melihatku saja, beliau ini. Kemudian dilanjutkannya perkataannya tentang anaknya Neneng tadi.
“Ini anaknya Neneng yang nomor lima, masih kecil banget.”
“Hah? Nomor lima. Banyak amat.” seruku spontan.
“Empat kalau dari hasil pernikahan sama yang ini. Itu mereka nikahnya pas yang anaknya Wawa sudah sekitar… umur tiga tahun atau empat ya. Aku lupa juga itu.”
Dia masih asyik mendongeng dari seberang sambungan internet.
. . . . . . .
Dan aku mulai bosan.
“Pak, Kak Muz ini dari mana sheh? Ini kedatangan proyek mana lagi?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.
Sejenak hening, mungkin beliau terkejut karena pertanyaanku yang tak terduga. Karena akhirnya kuputuskan untuk bertanya, si pertanyaan yang sedari tadi mengangguku, minta dieksekusi. Atau mungkin beliau terkejut, sekadar karena dongengnya diputus olehku begitu saja; bagai pengemudi brutal yang main menikung saja itu si jalur laju kendaraan lain.
“Oh, ini tuh dari partai Anu-Anu Nganu-Nganu. Kak Muz di partai itu bagian …”
Tak terlalu kuhiraukan kelanjutan penjelasan beliau.
Ah. Pikirku dalam hati.
Sudah kuduga.
“Oke deh, Pak. Nanti kutunggu kabar ajaib selanjutnya.” selaku tajam.
Di ujung sambungan koneksi internet, kudengar suara tawa beliau; kembali berupa tawa yang terkekeh.
Provinsi Bigot Jawa Barat,
21 Juni 2021
Labels: fiksi, kontemplasi, MenulisDiBulanJuni, realisme