Wednesday 21 February 2007

AKU DAN DUNIA BARU

Aku saat ini menemukan dunia baru. MENULIS. Aku menulis bukan untuk siapa-siapa. Aku meniulis untuk diriku sendiri. Aku menulis untuk mereka yang ingin membaca dan aku menulis untuk berbagi sedikit informasi... Aku menulis karena aku mau BELAJAR DAN TERUS BELAJAR UNTUK MENULIS...


Terimakasihku kepada Bang Sahala Saragih atas masukan dan motivasinya. Kepada teman-temanku yang juga suka menulis. TERUSLAH menulis. MEMBACA dan MENULIS... We ALL living for any reasons...


Aku memang telah lama menulis. Tapi aku menulis selalu untuk diriku. Kini aku sedang berjuang menulis untuk mereka yang ingin membaca...



BE CRAEATIVE AND INOVATIVE... MEMBACA dan TULISKANLAH...



PS : Rekor banget deh gue. Anak MIPA tapi kucluk-kucluk berkeliaran ke FIKOM nyari sesosok dosen sono yang bernama Bapak Sahala Saragih lalu kami pun ngobrol abis. Yah, akhirnya. Autis gue sedikit tersembuhkan lah...
Intinya adalah, menulis bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk APALAGI anak KiMiA... gud info... THANKS SO MUCH Abang Sahala yang baik hati dan tidak sombong...

Coba dosen KiMiA gue pada asik enak kayak gitu... Juara BANGEUD DAH KIMIA

CINTA TERLARANG

Apa yang akan terbayang di benak kita mendengar sebuah Cinta Terlarang? Mungkin di era film Siti Nurbaya yang tergambar adalah perjuangan sepasang kekasih terhadap hubungan mereka yang tidak disetujui, umumnya oleh kedua orangtua dari masing-masing pihak baik lelaki ataupun perempuan. Dan hingga masa kini pun hubungan-hubungan yang mengalami pertentangan itu masih banyak terjadi. Dramatis. Eksotis. Mungkin miris? Kenapa miris? Karena hubungan itu terlarang akibat sebuah kesamaan. Kesamaan jenis kelamin.
”Gue udah begini dari kelas 6 SD. Tapi gue pernah juga sih tidur ama cewe. Waktu gue masih di kelas 1 atau 2 SMA gitu lupa. Gue ditawarin temen gue, terus kita kontak by the phone, lalu gue ke rumah doi dengan temen gue dan temen gue basa-basi gitu mau jemput temen yang lain lagi. Gue foreplay dengan nemenin dia ngobrol di mini bar (bar pribadi di rumah – atas penjelasan X). Terus, ya gitu lah. Dan pulangnya gue dapet duit sekitar Rp 1.100.000,00. Lumayan buat belanja. Umur dia masih lumayan muda deh, sekitar 28 atau 29 gitu.” Tutur X, salah seorang mahasiswa – cowo tentunya – yang kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri.
Oke, praktik jual diri tampaknya akan tetap ada dan semakin berkembang karena bukan hanya wanita yang bisa jual diri. Pria pun bisa jual diri mereka. Lantas, apanya yang Cinta Terlarang?
X melanjutkan ceritanya. “Gue selama hidup menjadi seorang gay belum pernah jatuh cinta beneran dengan semua cowo gue. Paling tahan lama tuh 3 bulan udah bosen banget. Kecuali kalo ama para Gadun (om senang – atas penjelasan X) atau sega (Semi Gadun. Jika gadun adalah om senang dengan usia di atas 40 tahun, sega adalah kaum esmud alias eksekutif muda yang berusia sekitar akhir 20-an dan awal 30-an, mapan finansial tapi masih cukup muda – atas penjelasan X). Lumayan duit mereka kan kenceng tuh! Tapi baru pas gue kuliah gue nemu seseorang yang bikin gue jatuh hati setengah idup. Gue total ama dia selama sekitar 2 tahun, itu udah termasuk ama PDKT.”
“Oia, jangan kaget ya, gue sering nyimpen kondom di tas atau dompet, buat jaga-jaga. Kali aja ada yang ngajak main. Tapi asal tau aja yah, mending gue engga main deh apalagi kalo gue kebagian yang dimasukkin dan dia engga pake mau kondom. Hari gini ya, kudu ati-ati. Gue masih sayang ama badan gue kalle.” Sambil berkata begitu X pun mengeluarkan sebuah kondom – dengan bungkus transparan, jadi saya bisa melihat kondom itu berwarna merah – dari dalam dompetnya.
“Yang lucu tuh pernah waktu gue clubbing ada seorang cewe yang setengah mabuk ngerayu-rayu gue, pas gue bilang kalo gue homo dia tampak hopeless gitu. Jadi geli sendiri ngeliatnya. Oia, ntar kalo cerita gue mau ditulis jangan sebut nama ya. Pake X aja deh.”. Dan atas permintaannya maka saya menuliskan nama beliau ini sebagai X.
Apa beda Homo dan Gay? Homoseksual adalah seseorang yang secara emosional dan fisik tertarik pada jenis kelamin yang sama dan memperoleh kepuasan seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama. Sedangkan gay adalah suatu istilah yang menggambarkan cowok yang secara fisik atau emosi tertarik pada orang yang berjenis kelamin sama. (dikutip dari sexual orientation – girlsmagazine – OLGA Issue24/II/18-31 Januari 2007)
Jadi cowo ini jatuh cinta pada cowo lagi? Apanya yang cinta dan apanya yang jatuh? Picisan banget sih? Udah kayak sinetron aja.
“Gue juga engga ngerti kenapa. Mungkin gue kesirep kali ya?! (kesirep bisa diterjemahkan sebagai terpesona – penulis). Tapi sumpah, gue selama jadian ama dia gila-gilaan banget. Hubungan kita bener-bener fluktuatif (aslinya X tidak bilang fluktuatif, saya mengistilahkan demikian karena hubungan mereka yang memicu emosi turun dan naik). Waktu gue ngeliat dia cupika-cupiki ama cewe, gue cemburu berat. Dia sampai memohon-mohon ama gue, tapi gue cuekin. Malah akhirnya saking gue emosi, gue gampar aja dia. Dan itu bikin gue sakit juga. Di hati gue. Selama hubungan itu pula kita tuh banyak masalah. Temen-temen dia dan temen-temen gue pada mempertanyakan kenapa kita engga barengan mereka lagi, nyaris lose contact. Ya iyalah, dunia udah serasa milik berdua.”
X melanjutkan ceritanya sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya. ”Pernah juga gue melakukan kesalahan, dan sebagai balasannya gue setelah datang susah payah ke kosan dia, eh diusir dong. Gue cuma bisa pasrah. Tapi kita juga punya banyak kenangan indah. Lagu itu dan saat jalan-jalan berdua. Waktu gue beliin bunga mawar buat dia. Waktu dia manja minta dipeluk. Dan masih ada pula cincin barengan kita yang sampai sekarang masih gue pake.”
“Aslinya gue tuh botty – bottom, eh semenjak gue pernah jadian ama dia gue jadi toppy alias top. Dan gue merasa nyaman dengan posisi gini. Bahkan sekarang, gue dan mantan gue itu jadi di tengah-tengah, botty ok toppy hayuk.” Bottom dan top adalah istilah yang dipakai para gay di dunia mereka, saya tidak begitu paham persisnya tapi kurang lebih posisi top sebagai pria dan bottom sebagai wanita. Sedangkan untuk istilah posisi yang tengah-tengah, X menyebutkannya tapi saya dengan bodohnya lupa.
Masih dengan kisah cintanya, X melanjutkan. “Gue dan dia waktu jadian itu emang dengan niatan untuk real commitment. Sampai suatu ketika ada temen gue yang baru balik dari Jepang terkaget-kaget waktu gue bilang kita udah jadian.” Duh X. Kayaknya ni orang engga bisa bedain kata kami dan kita. Maaf dengan komentar tidak penting saya. Mari kita lanjutkan ceritanya.
”Temen gue tanya ’Lo jadian ama dia? Kok engga keliatan sih?’ Ih, cape deh! Emang gay mesti jadi banci ya?! Apa yah? Gue sering kok kissing ama temen-temen gue yang cewe-cewe dan yang naksir gue lah, dan itu tuh engga ada rasanya aja buat gue. Seriusan. Laki kan gue?”
Lebih jauh X meneruskan ”Gue akhirnya putus ama dia. Tapi justru dengan putus ini kita makin deket. Kita lebih fun dalam menjalani hubungan, engga ada lagi cerita posesif engga penting. Yah, TTM lah. Biar gimana engga gampang kan melupakan semua memori selama 2 tahun itu?”
Lain X lain lagi dengan D. Saya bingung mau kasih dia inisial apa. D menjalin hubungan dengan seorang cowo mapan yang setia dan sayang padanya.
”Dulu laki gue itu pacaran ama cewe. Lama banget dia ngerasa ribet. Dan akhirnya setelah dia putus, dia memutuskan untuk jadian ama gue, dan kita udah jalan selama 1 tahun lebih. Tapi kita engga aneh-aneh kok. Baik laki gue dan gue sendiri berpendapat bahwa hubungan ini udah salah, kenapa engga kita coba jalani dengan baik. Laki gue bahkan suka ngingetin gue buat sholat (suatu ibadah yang dilaksanakan 5 kali dalam sehari semalam oleh umat Islam). Dia akhirnya berani meluk gue empat bulan lalu. Dan tiap dia meluk gue pasti dia bilang kalo gue engga boleh banyak cape dan diet. ‘Awas ya kamu kalo aku peluk lagi badan kamu berkurang ukurannya dari ini.’ Mana ada laki jaman sekarang yang sweet gitu ama pasangannya.”
Untuk seorang I, lain pula ceritanya. Saya dengar dari seorang temannya bahwa dulu I adalah seorang biseks. (Biseks merujuk pada seseorang yang tertarik pada kedua jenis seks. Dikutip dari sexual orientation – girlsmagazine – OLGA Issue24/II/18-31 Januari 2007). Tapi teman si I ini bilang sekarang ini I memutuskan untuk total menjadi seorang gay tulen.
Dan untuk melengkapi perjalanan kisah para gay, ada cerita cinta terakhir dari seorang P. Dia menjadi seorang gay dari umur 5 tahun. Walau saya sempat bingung, emang bisa ya umur segitu udah ada rasa suka. Perasaan dulu saya waktu umur 5 tahun masih ingusan dan hobinya nangis dan engga ngerti apa-apa.
P bilang ada peran ayah dan om-nya dalam terciptanya keadaan ini semua. Entahlah, saya pun tidak mengerti. Yang saya tahu dari novel Lelaki Terindah karya Andrei Aksana, seseorang menjadi gay bisa karena ketidakmampuan keluarga untuk menerima dirinya utuh dengan segala kekurangannya dan bisa juga karena tidak adanya figur seorang ayah dalam fase kehidupan seorang anak laki-laki pada usia imitasi (fase di mana ada peniruan terhadap orang tua dengan jenis kelamin yang sama – saya lupa sumber untuk penjelasan ini). Kata novel ini pula jenis gay yang disebutkan kedua adalah orang yang mengubah tokoh gay pertama karena si kedua ini mau menerima segala kekuatan dan kelemahan si orang pertama.
Kehidupan P menjadi seorang gay akhirnya ketahuan oleh kedua orangtuanya. ”Bonyok gue udah pada wellcome, tapi terus nenek gue collaps (P bilang neneknya itu masuk rumah sakit, entah apanya yang kumat) pas ini berita bocor kedengeran ama doi. Jadi gue sekarang ini memutuskan mencoba untuk kembali menjadi straight. Pelan-pelan lah pastinya.” Straight yang dalam bahasa indonesia harfiah berarti lurus adalah maksud P untuk menjelaskan niatnya kembali menyukai lawan jenis – dalam hal ini perempuan. Meskipun begitu, kebiasaan flamboyannya masih suka muncul.
Kenapa X bilang ingin namanya dirahasiakan? Saya pikir wajar. Tidak semua orang bisa open minded untuk menerima keadaan X dan kaumnya. Dan jika ada yang seperti T, ingin berubah, apakah ada pula penerimaan dari orang-orang yang terlanjur memandang sebelah mata kaum seperti T ini. Saya pribadi menerima mereka apa adanya, walau tetap saja saya tidak setuju dengan perbuatan mereka. Sebuah penyimpangan seksual. Dan mereka salah.
Karen Gurney dan Eithne Mills, pada Deakin University Law School menyebut kalau penggolongan Gender Identity Disorder (GID) dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder) yang dalam hal ini memasukkan transeksual (Seseorang yang punya keinginan untuk tetap dan terus menerus atas perubahan seks secara medis, operatif dan sah sampai memungkinkan mereka untuk hidup sebagai anggota gender kebalikan – opposite seks – dengan gender yang mereka miliki saat itu. Secara emosional, mereka benci alat kelamin yang menempel pada tubuhnya atau payudara yang menonjol dan selalu berusaha menutupinya) dalam golongan psikopath, dibantah! Artinya transeksual bukan psikopath. Bahkan APA (American Psychology Association) menyebutkan kalau LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual) bukan suatu penyakit mental. (dikutip dari sexual orientation – girlsmagazine – OLGA Issue24/II/18-31 Januari 2007).
Sebenarnya, mereka tidak pernah ingin disebut atau dilahirkan sebagai seorang lesbi, gay, transgender – orang sering menyebut waria – atau apapun. Semua itu cuma istilah yang dilahirkan oleh masyarakat untuk membuat mereka atau bahkan merasa ’berbeda’ dari yang lainnya. Adilkah ini? (dikutip dari sexual orientation – girlsmagazine – OLGA Issue24/II/18-31 Januari 2007).
Lebih jauh, P berpendapat bahwa sebenarnya setiap jenis kelamin memiliki potensi untuk bisa menyukai jenis kelamin yang sama. Untuk pernyataan P saya jadi ingat magnet. Yang namanya magnet pasti punya dua kutub, selatan dan utara. Dan kalau itu kutub selatan berdekatan dengan kutub selatan lagi, maka akan terjadi tolak menolak. Atau seperti yang terjadi pada peristiwa tomat pecah setelah direndam cukup lama dalam air. Pada peristiwa itu terjadi tekanan osmosis untuk mencapai kesetimbangan, yaitu air menembus kulit tomat masuk dan mempengaruhi kandungan air dalam tomat. Kandungan air dalam tomat tentunya lebih rendah daripada air biasa yang merendam tomat itu. Artinya apa, bahkan magnet dan air pun mengikuti hukum alam. Magnet akan menarik magnet lain yang kutubnya berlawanan dan air yang merendam tomat akan tertarik untuk menembus kulit tomat yang kandungan airnya lebih sedikit. Tarik menarik ini semua serba berlawanan. Tapi kalau urusannya sudah menyangkut hati dan perasaan, masak iya mau disamakan dengan magnet atau air si tomat?
Memang – sekali lagi saya bilang – X, D, I, P atau siapa pun mereka melakukan perbuatan yang tidak benar. Tapi saya pikir, setidaknya mereka tidak merugikan orang lain. Daripada mereka yang duduk di pemerintahan sana, sibuk dengan uang rakyat – utang negara makin lama bukannya makin berkurang kok ya malah nambah buanyak. X, D, I, dan P cuma mencari cinta sejati mereka dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan mereka pun bahkan siap untuk memberikan ketulusan cinta mereka. Seperti kata X ”Gue mau cari lagi real commitment gue yang lain. Tapi dunia kayak gini – dunia gay, keterangan saya si penulis – kan susah. Gue juga ada keinginan untuk berubah. Tapi nanti deh.”

Bukankah mencintai dan dicintai adalah hak setiap orang?

NGE-GELE BIKIN ENDUT LHO!

Suatu sore di dalam laboratorium XXX sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung (tepatnya, cabang Djatz alias Jatinangor). Saya dan seorang teman sedang mengobrol. Awal mula pembicaraan adalah ketika seorang teman saya dari jurusan psikologi mencari orang untuk dijadikan bahan skripsinya. Setahu saya Powpowh – begitu ia biasa dipanggil – adalah seorang mantan alkoholik. Dan kami pun akhirnya mengobrol banyak. Entah juga bagaimana awal mulanya percakapan kami.

”Gue mulai merokok sejak kelas 1 SMP. Lanjut nyimeng pas kelas 2 SMP. Mulai SMA gue minum deh. Paling aman di kantin, kalo di WC kadang suka ada bekas suntikan buat morfin.” Powpowh memulai ceritanya.

”Gue suka nge-gele Budhastick, semacam ganja merah buatan Palembang yang sering gue dapat dari Cicadas. Dan lo jangan salah. Nge-gele tuh sebenernya nambah nafsu makan. Nih badan gue jadi melar gini. Kalo cuma nge-rokok, itu yang bikin kurus karena rokok mengurangi nafsu makan. Tapi yang bikin gue paling BT adalah hobi minum gue menghasilkan efek perut buncit.” Ia bercerita sambil mengepulkan asap rokoknya. Rokok biasa, filter. Saya bisa pastikan itu karena saya yang mentraktir dia, saya beli langsung rokoknya buat dia.

”Awal nyoba minum dari yang beverage (sedang) dulu. Lalu gue minum liquer dan vodka.” Menurut Powpowh, liquer adalah sejenis wishky. Ada wishky black lable yang netral dan tidak berbau, dan ada yang red lable yang berbau seperti minyak tengik. Tapi menurutnya, tiap orang punya kesukaannya sendiri. “Gue suka black lable. Gila aja yang red, rasa dan bau kayak kecoak gitu. Kalo vodka tuh naeknya (mabuk) drastis dan rasa pahang yang aneh, nyenggrak. Tapi kalo liquer naik pelan dan awet (maksud dia awet mabuk).”

Powpowh biasa minum Baccardy, Smirnoff, Jack D, dan tequilla. “Tequilla rasanya pahit. Dan kalo lo di tempat ajeb-ajeb (clubbing), pasti suguhan tequilla dibarengin ama penetral yaitu jeruk nipis dan garam. Dan satu hal lagi, gue engga pernah jackpot! Temen-temen gue ada yang sampe muntah dan bahkan engga bisa nahan buang hajat segala. Gue pernah minum 2 botol vodka sekaligus dan hasil akhirnya gue cuma keringetan parah, melayang, lutut lemas, dan jatuh ngejoprak. Kandungan alkohol di vodka dan minuman yang gue sebutin tuh 40% ke atas.” Maksud 40% di sini tentu saja kandungan alkoholnya.

“Yang pasti sih bikin on iya. Dan kalo masalah gue maen ama cewe apa engga, yah itu mah ibarat sayur lodeh kagak pake garem, kurang berasa!” Maksudnya, alkohol bisa meningkatkan libido. Dan tentu saja dia pernah menuntaskan hasratnya dengan wanita-wanita yang mau untuk itu. Untuk informasi yang satu ini, Powpowh memilih untuk tidak menceritakannya secara mendetail. ”Sejujurnya sih sempat juga ada perasaan bersalah.”

”Untuk cewe, ada countreau yang rasa cherry dan chivas regal yang strong rasanya tapi lembut naiknya. Buat yang engga biasa ama alkohol, langsung minum vodka yang jenisnya cepet bisa bikin kesedek sampe idung. Dan istilah alergi alkohol tuh sebenernya engga ada. Ruam-ruam badan merah-merah panas dan gatal? Yang ada itu badan yang lagi engga fit dipaksa masuk minuman. Bukan fun malah susah yang didapet.”

”Mungkin karena gue anak tunggal dari keluarga broken home, jadi gue terbiasa menyelesaikan masalah sendiri dan gue memang hanya mencari kesenangan dengan semua ini. Gue bukan junkie. Suka juga dapet barang gratisan dari temen, neken rame-rame.” Maksudnya neken adalah minum. “Pokoknya gue engga mau ketagihan, selain karena alasan ekonomi juga sih. Kalo junkie tuh dosisnya makin lama makin besar, kalo gele doang mah gue atur sendiri biar engga ketagihan. Gue nge-gele cuma kalo gue pengen dan cari fun.” Gele atau chimenk adalah sebutan gaul untuk ganja

“Paling seru tuh waktu gue maen di Yogyakarta. Gue minum Lapen (Powpowh bilang itu adalah nama sejenis tuak tradisional Yogya) 2 liter abis berdua doang ama sodara gue. Engga kerasa karena kita sambil ngobrol. Ada di banyak tempat lesehan. Hasilnya gue ngejoprak (maksudnya jatuh saking mabuknya) parah mampus dan itu rekor banget. Gue gak ngerti ya, abisnya tu Lapen naik slowly but sure, dan gak ada labelnya lah jadi mana gue tau berapa kadarnya.”

Powpowh cerita kalau Lapen terbuat dari air sisa fermentasi beras ketan baik putih maupun hitam. Sementara ada bir ketan yang terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang diblender lalu diambil sarinya. Bingung juga saya sebenarnya. Yang jelas kata Powpowh, semua bir tradisional Yogyakarta itu enak dan dijual bebas di sana.

”Gue sempet mau coba bikin minuman dari gele, yang katanya sih di Swiss atau entah itu di mana, minuman dari gele udah banyak beredar dijual dalam kaleng-kaleng minuman kayak minuman soda yang biasa ada. Gampang sih harusnya, berhubungan dengan kimia organik. Aplikatif kan ilmunya?”

Saya dan Powpowh lantas berandai-andai. Ide bagus. Rasanya sih itu akan menjadi menarik. Bagus kan, gedung kimia-nya (nya yang entah merujuk ke siapa) diubah jadi pabrik minuman gele. Yang difermentasi bukan sekadar ketan, tapi daun ganja. Pada dasarnya kan fermentasi bisa dipastikan memiliki hasil akhir berupa alkohol. Tinggal diatur kadarnya dan jenis alkohol apa yang mau diminum? Yang jelas bukan etanol 70% untuk membersihkan luka itu. Nanti pajak penghasilan bisa untuk devisa negara. Weits, tampak aplikasi ilmu yang salah arah ini. Hush hush! Saya dan Powpowh sama-sama mengusap kepala tanda menghapus pikiran tidak baik semacam membuat pabrik minuman gele.

”Banyak yang bilang, minum bikin idiot. Tapi buktinya gue lulus juga kan nih?!” Saya jadi berpikir, lantas kalau begitu saya tidak minum tapi saya tetap idiot dan belum lulus? Apa mending ikut minum saja sekalian? Tidak tidak!

”Dan gue akhirnya memutuskan untuk stop total dari konsumsi semua itu. Paling ngerokok biasa kayak sekarang ini. Thanks ya bos.” sambil berkata begitu Powpowh menoleh ke arah saya. ”Umur gue udah menjelang 25. Gue mau cari kerjaan bener dan hidup bener, punya istri dan anak. Kalo tetap nge-gele bisa ngaruh ke kerjaan gue dan godaan pastinya banyak banget.”

”Gue sempet sakit waktu tingkat 3 kuliah, total seminggu dirawat di ICU. Usus bolong gara-gara alkohol. Gue kena infeksi saluran kencing. Rusak kena alkohol. Tapi setelahnya gue malah main selama cuti gue yang setahun lamanya. Gue sibuk nge-band, hobi gue sekaligus cari kerjaan. Jadi sekalian aja karena percuma gue maksa kuliah, orang gue tidur tiap malam jam 3 atau 4. Mana bisa bangun pagi? Pas band gue bubar, baru gue memutuskan untuk back to school. Tapi asli, kesadaran gue untuk berhenti total bukan gara-gara sakit. Dan gue berhenti dengan langsung total stop ketika menyadari umur gue semakin bertambah. Dan tentunya dengan mencoba untuk lose contact dengan temen-temen gue dari dunia kayak gitu.”

Biar bagaimanapun, menggunakan ganja untuk kesenangan dan minum alkohol demi kepuasan batin tidaklah dibenarkan. Selain berpotensi merusak diri sendiri, kecenderungan untuk sadar dan sembuh itu jarang muncul. Tidak semua orang sanggup untuk mengatur dirinya sendiri sebaik Powpowh. Atau bahkan tidak pula semua orang mendapat kesempatan seperti Powpowh untuk menata ulang kembali hidupnya paska penghentian konsumsi ganja dan alkoholnya. Dan mungkin yang lebih ekstrim adalah, belum tentu semua orang bisa memiliki kesempatan untuk berhenti mengkonsumsi ganja, alkohol, ataupun morfin dan teman-teman lain karena keburu lewat (meninggal).

Hujan turun rintik-rintik, terlihat dari jendela laboratorium. Powpowh dan saya memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dan pulang dari gedung yang telah lengang.

Mari kita KATAKAN TIDAK UNTUK NARKOBA. Say no to Drugs. Kita semua seharusnya berjuang untuk hidup, dan bukannya menanti untuk mati. Dan mungkin sebaiknya ganja tidak dipakai sebagai penambah nafsu makan.

HARGA BERAS NAIK HARGA HANDPHONE TURUN?

Sebenernya tidak ada yang salah dengan menjadi sendirian. Selain karena bosan, saya kebetulan lagi memiliki buku asik untuk dibaca. Dan ternyata teman-teman saya pun sibuk dengan dunianya masing-masing. Jadi saya dan teman-teman saya sendiri-sendiri dan sibuk masing-masing.
Tapi gara-gara sendirian maka saya yang ceroboh menjatuhkan handphone tua saya. Lalu saya jadi sedikit menerawang sambil mengusap-usap si handphone tua, merangkai-rangkai cita-cita saya yang sederhana yaitu pengen punya handphone berkamera dengan resolusi lumayan dan harga hemat. Dan demi mengingat handphone tua saya itu saya beli 4 tahun silam dengan harga sejuta rupiah lebih, saya sakit hati melihat di daftar harga handphone yang saya baca di koran bahwa harga si handphone tua yang saya miliki sekarang ini hanya sekitar enam ratus ribu rupiah saja, apalagi kalau yang bekas dan apalagi kalau yang batangan (dijual tanpa kotak dan surat-surat, umumnya terjadi pada handphone curian). Memang orang sering bilang kalau mau beli handphone lebih baik nunggu beberapa bulan samapi harga kira-kira turun dan kecenderungan itu berlaku bagi pada banyak macam benda elektronik selain handphone. Tapi kalau mau jadi orang pertama yang pakai itu tipe handphone, maka sebaiknya membeli segera dengan resiko harganya pasti seamit-amit.
Lain dengan harga beras yang akhirnya naik (lagi). Seperti yang dibahas dua orang ibu di sebuah rumah makan sederhana di suatu sudut di Jatinagor, tempat saya akhirnya makan karena lapar tetapi ingin mengirit. Kenapa dibilang irit? Biasanya saya sebagai anak yang indekost sering beli makan di luar. Kalau lagi ingin makan enak dan nyaman, kadang butuh biaya banyak. Tapi kadang beli makan di warung makan sederhana gitu gengsi juga. Padahal enak lho. Dan murah juga. Rasa enak kebersihan dan kenyamanan pun lumayan. Ini bukan semata promosi.
Seorang ibu berperawakan gemuk berteriak memanggil si mbak jualan. ”Mbak aku makan sini wae ya. Males masak.” Sambil berkata begitu si ibu gemuk mulai mengambil sendiri nasi dan lauk pauknya.
Si mbak jualan keluar dari pintu dapur yang juga berfungsi sebagai tempat dia tinggal. Ketika si ibu gemuk berkata dengan harga nasi sepaket di piring itu ingin nambah bonus baso, si mbak langsung bilang ”Punten aja mbak, itu harga nasi aja udah saya bonusin. Harga beras sekarang naik.”
Dan si bu gemuk mulai makan tanpa banyak bertanya. Ketika melihat saya yang juga makan sendirian di situ, kami saling tersenyum. Lalu ia mulai mengajak saya bercakap-cakap.
”Repot ya neng sekarang sih. Harga beras yang tadinya enam ribu eh jadi enam ribu limaratus. Sekalinya harga beras naik, harga lain pasti ikutan pada naik. Saya sih gemuk udah bakat badannya gini, bukan karena doyan makan.” Saya tersenyum dan ikut berkomentar bahwa mungkin ibu saya di rumah pun sedang mengalami kepusingan yang sama.
Si mbak jualan ikut menambahkan ”Iya neng, saya kan ngerantau dari Jawa. Harga beras naik lha harga pupuk juga naik. Harga naik begini jadi berkurang deh kiriman buat anak-anak saya di kampung. Soalnya saya ndak bisa langsung naikin harga tiba-tiba. Kalau ada anak yang beli nasi seribu, walau berat saya layanin juga daripada dia engga makan kan kasihan. Dulu saya jualan bisa 2 kali masak, pagi masak dan siang habis langsung masak lagi. Sekarang sih boro-boro. Entah ini apa karena harga beras naik semua naik dan jualan makan begini jadi sepi.”
Sunyi menyerbu. Kami kembali diam dan berkutat dengan diri masing-masing. Si mbak balik lagi ke dalam, mau mencuci katanya. Si ibu gemuk kembali asik menikmati makan dalam piringnya. Dan saya ikut diam dan meneruskan makan sambil berpikir. Berpikir juga sedikit tentang kemnungkinan jenis beras yang harganya enam ribu rupiah itu dan sekarang naik jadi enam ribu rupiah, sekilo-nya tentu saja.
Berarti si mbak jualan nasi itu baik hati juga mau memikirkan kepentingan para anak indekost seperti saya. Untuk para mahasiswa rantau yang ketika harga beras naik tetapi uang sakunya tidak naik karena gaji orangtuanya pun tidak naik. Atau mungkin memang irit makan, karena uangnya ingin dipakai untuk beli handphone? Ah, tapi itu bukan saya.
Kalau begini siapa yang salah? Petani karena tidak mau menjual berasnya dengan harga yang lebih murah? Buktinya banyak petani miskin. Kalau gitu para penjual handphone? Lha, memang mereka apanya yang salah? Lha wong mereka jualan handphone juga biar bisa dapat uang untuk makan. Kalau gitu yang beli handphone? Ini lebih bodoh lagi. Kenapa mereka disalahkan? Karena bisa membeli handphone? Ya suka-suka mereka dong mau menghabiskan uangnya untuk membeli handphone atau beras.
Ya sudah, tidak ada yang salah berarti. Lebih baik membeli handphone daripada beras kalau begitu. Tapi kalau tidak ada beras tidak bisa makan. Budaya orang Indonesia, seperti tante saya, yaitu walau sudah makan mie ayam semangkuk dan roti setangkup besar tapi kalau belum ada nasi masuk mulut berarti belum makan. Padahal badan tante saya kecil mungil. Atau tidak bisa makan karena tidak bisa membeli beras dan lauk pauknya? Jual saja handphone-nya. Apa yang mau dijual, sudah tidak punya apa-apa lagi kok.
Baiklah. Saya usulkan bagaimana kalau kita menjadi pedagang handphone dan pedagang beras sekaligus. Terus siapa yang mau jadi petani dan siapa yang mau membeli handphone dan beras? Sulit memang.

INDONESIAN IDOL DAN IDOLA INDONESIA

Belum lama ajang Indonesian Idol di Bandung berlalu. Dua orang teman saya domisili Bandung ikutan audisi, yang di Bandung tentunya, yang katanya diadakan di Sabuga. Anehnya, kata seorang teman saya, Sabuga tidak macet. Teman saya yang ikut Indonesian Idol yang pertama bernama Jaya, dia adalah teman kuliah saya. Kami berdua adalah mahasiswi tingkat akhir di jurusan Kimia sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Dia bilang dia ikutan, kebagian maju hari Selasa 13 Februari. Dan dia bilang lagi bahwa dia akhirnya tidak lolos audisi. Teman saya yang satunya lagi bernama Indra. Dia masih sekampus dengan saya, tetapi kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, entah apa jurusannya saya lupa. Dia SMS saya bilang kalau dia dapat nomor urut 20789, dan jatah dia untuk audisi yaitu pada hari terakhir – wuih, banyak bener yak yang ikutan? Syerem... Dan sama seperti Jaya, akhirnya Indra pun SMS saya untuk bilang bahwa dia gagal dan bahkan memaki ”Yang 1 sih nerima gue, tapi 2 juri yang lain idiot. Tapi GPP (engga apa-apa). Gak jadi artis nasional juga masih bisa jadi artis lokal dengan DJ radio.” Kebetulan Indra ini dulunya adalah salah satu kru di radio ninetyniners Bandung. Kalau saya tidak salah ingat, dia berhenti karena mau fokus kuliah dulu demi mendapat gelar sarjana.
Jadi, benar kan? Indonesian Idol itu bahasa Inggris. Kalau dalam bahasa Indonesia berarti Idola Indonesia. Lantas, apa sebenarnya yang diidolakan? Karena bisa menyanyi? Mungkin saya memang membela teman-teman saya. Menurut saya kedua teman saya memiliki kualitas untuk menjadi seorang penyanyi tetapi mereka hanya belum beruntung sehingga tidak lolos audisi. Berbeda halnya dengan mereka yang cuma ingin numpang nampang. Yang penting heboh ikutan audisi, gaya dulu bisa belakangan. Nah, kalau yang model begini yang menang apa masih bisa dikatakan Indonesaian Idol? Karbitan barangkali?
Kembali pada kedua teman saya. Mereka bisa menyanyi, saya yakin itu. Apalagi bentjonk yang suka karaokean. Duh, nyanyinya pake hati deh tu! Kalau Asepsurasep? Mungkin berkat sering siaran. Lho? Apa hubungannya dengan menyanyi? Entah juga. Saya pikir kalau menjadi seorang penyiar radio dia, yaitu Asepsurasep, seharusnya kenal banyak lagu jadi tahu kapan suara masuk. Intro dan outro harus pas. Ini kayaknya lebih tidak nyambung lagi deh?! Intinya, mengenali lagu, karakter lagu, cara membawakan, dan lain sebagainya.
Kok bisa begitu? Bisa karena bakat, bisa karena rajin berlatih. Apalagi sekarang banyak kursus. Ada juga kan kursus menyanyi? Yang saya tahu di dekat rumah teman SMA saya ada tempat les Bina Vokalia. Dan adalah jelas bahwa itu tempat dipakai buat latihan menyanyi.
Kalau memang tidak bakat menyanyi tapi maksa ingin jadi penyanyi ya repot. Kalau tidak punya bakat nyanyi lalu ikutan les menyanyi dan akhirnya bisa menyayi, berati dia kerja keras. Bagus, tapi tentunya butuh usaha dan uang – terutama – yang tidak sedikit. Hari ini mana ada yang gratis? Semua jadi komersil, semua yang bisa jadi duit ya diduitin. Termasuk mengajari anak orang menyanyi. Jadi kalau dipikir-pikir, bisa disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang Indonesian Idol – minimal untuk ikutan audisi dulu saja – sudah berapa biaya yang harus dikeluarkan. Setidaknya untuk menunjang penampilan saja.
Berbeda dengan ajang Indonesian Idol untuk mencari Idola Indonesia, ada seorang pengamen yang menyanyi dengan begitu syahdunya. Saya yang tidak bisa tidur di dalam sebuah bus Damri Jatinangor – Dipati Ukur akhirnya mendengarkan si pengamen bernyanyi. Bagus juga suaranya. Mengalun lembut dan sekaligus lantang mengalahkan deru mesin DAMRI. Mirip sekali dengan vokal Ebiet G. Ade, cuma sayang nasibnya tidak. Lalu si pengamen mulai meminta sumbangan receh alakadarnya dengan bungkus permen. Dia juga lagi usaha. Dan dengan cara menyanyi pula. Kenapa tidak ikut Indonesian Idol? Mungkin usianya sudah melebihi syarat? Atau mungkin tidak ada biaya untuk mendaftar dan apalagi biaya untuk menunjang penampilan saat audisi. Sebentar, memang penting apa penampilan saat audisi Indonesian Idol? Tampaknya begitu. Karena selama ini saya selalu melihat gaya-gaya dan busana yang oke dari tiap kontestan. Atau itu cuma untuk mereka yang masuk di televisi, bahwa harus oke penampilan selain suara oke? Pada akhirnya, siapakah yang peduli dengan kehadiran seorang pengamen yang bersuara seperti Ebiet G. Ade?
Kita semua menyanyi. Musik adalah juga makanan untuk jiwa. Mungkin Indonesian Idol memang salah satu ajang untuk menemukan orang yang bisa menyanyi. Jadi itu maksud dari pencarian sesosok Idola Indonesia – terjemahan dari Indonesian Idol bukan? Akan tetapi, nyanyian seperti apakah yang dinyanyikan? Sebatas lagu-lagu yang berkisar tentang cinta? Nyanyian suara hati yang haus kasih sayang dan ingun menyuarakan kebenaran? Nyanyian lirih orang-orang yang tak memiliki tenaga karena lapar belum makan beberapa hari?
Adalah baik menjadi orang penting. Seperti menjadi seorang Idola Indonesia. Dielu-elukan dan dipuja, mungkin suatu saat kalau apes akan dihujat. Namun, bukankah akan menjadi lebih penting untuk menjadi orang baik? Menjadi seorang Idola Indonesia yang pantas. Layak untuk diidolakan bukan semata penampilan dan suara yang bagus. Tapi juga perangai yang baik dan tentunya sumbangsihnya pada negara ini, negara Indonesia. Tempat di mana dirinya telah menjadi seorang idola.

PS : setahun setelah tulisan ini dibuat (dengan bahasa yang sangat engga gue bangeud, heuheu,,, gue baru merasakan payahnya ngantri wat audisi lokal Indonesian Idol di Sabuga.waktu ama si bentjonk nih. semoga lekas sembuh,,, naon sih???)