Tuesday 30 June 2020

Sebab Yang Diperlukan Hanyalah Sedikit Perhatian

hari dua puluh sembilan



Akhirnya kuputuskan untuk kirim balasan pesan padanya, lagi.

"Jangan mati cepet2 yha. Nanti ngurang lagi orang yang bisa diajak ngobrol. Mosok aku harus ngobrol lagi ama pot kembang."

Masih belum ada balasan.

Namun rupanya ada balasan darinya saat aku tertidur.

"Nanti kalo kamu matik cepet gimana? Kan kita belum jadi makan jamur."

Aku tersenyum melihat pesan itu.

Segera kubalas lagi dia.

"Oia, yah! Aku baru ingat bahwa aku nggak immortal."

Dan pagi itu terasa lebih menyenangkan dari biasanya. Aku siap kembali menembus hiruk-pikuk belantara manusia ke tempat kerja dan di tempat kerja.



=== Dekat Pohon Mangga,
di pergantian tanggal 29 ke 30 Juni, 2020 ===

Labels: , , ,

Sunday 28 June 2020

AkHIRNYA

hari dua puluh delapan ~ masih sesi #cerita #eksperimental



"Kok gak menang lomba sih?! Kalah kamu. Bikin Mama malu.

"Iya, Ma." sahut si bocah pada perempuan muda di depannya.

Perempuan muda yang dipanggilnya Mama memarahinya habis. Si bocah hanya diam. Walau beberapa hari sudah berlalu, Sang Mama tetap mengungkit kekalahan dalam lomba. Namun, semuanya berubah di hadapan sejumlah orang yang dipanggil teman-teman oleh Sang Mama.

Acara lomba lain lagi.

Dan kekalahan lain lagi.

Kali ini, bonus nilai di sekolah.

Meskipun demikian, kali ini pula ada yang berbeda.

"YA KAMU JADI ISTRI KERJANYA NGAPAIN AJA?!" Suara seorang laki-laki bertubuh tinggi besar memenuhi ruangan.

"KAMU LIHAT, KAN? GARA-GARA KAMU, PAPA KAMU MARAH. MARAHIN MAMA!" Suaranya sama-sama memenuhi ruangan.

Tidak pernah ada pukulan atau kekerasan fisik lain, seharusnya itu baik-baik saja bukan?

Hari-hari berlalu dengan tenang. Diselingi adegan-adegan seperti sebelumnya yang terus berulang. Tak boleh ada kekalahan, kekurangan, kesalahan, dan semua yang membuat Sang Mama malu. Semua yang membuat Sang Papa marah besar pada Mama.

Hari-hari berlalu dengan tenang. Diselingi adegan-adegan seperti sebelumnya yang terus berulang. Meskipun kali ini, ada suara-suara asing bagi si bocah. Tangisan.

"Mama..." si bocah memanggil perlahan. "Papa..."

Tak ada yang menghiraukan si bocah.

Si bocah, tersenyum bahagia. Karena walau dia tak dihiraukan, tetapi suara tangisan Sang Mama dan Sang Papa kali ini memenuhi ruangan alih-alih teriakan saling membentak dan teriakan-teriakan yang membentaknya.

"Kamu ini gimana jadi istri? Aku sudah bilang, asuh anak itu yang bener..." suara pria tinggi besar itu kali ini terdengar pilu. "... tapi kok malah jadi gini?"

"Mana aku tau kalau dia bakal lari-lari dari sekolahnya ke jalanan besar di sana?"

"Mama..." si bocah memanggil perlahan. "Papa..."

Si bocah, tersenyum bahagia. Seraya melambaikan tangan.

Kelak bocah ini, akan menemani setiap anak kecil yang senantiasa tak dihiraukan. Setiap anak kecil, yang kehadirannya hanya untuk kebahagiaan semu.


== Halaman Rumahmu, 28 Juni 2020 ==

Labels: , ,

Malam Minggu di Pojok Dapur

Ibadah Menulis dua puluh tujuh ~ #cerita #eksperimental #realisme



“Sini, bantuin! Keburu Ibuk ama Bapak pulang nanti.”

Seiring senja berlatar kompetisi azan magrib di luar sana, Nyai memanggil.

“Bentar, masih bikin cerpen ini… dikit lagi.” bantahnya pada Nyai.

“Anak emang suka kurang ajar ama orang tua. Disuruh bantu-bantu malah melakukan hal gak guna. Gue yang udah nenek-nenek gini masih harus kerja bakal ngidupin elu.”

Ditinggalkannya corat-coret kertas yang sedari tadi direnungkan dalam-dalam.

“Kadang kasianama Ibuk ama Bapak. Capek-capek kerja, tapi gak ada anak di rumah ini.” Nyai nyeletuk sambil sibuk merapikan meja makan.

“Tapi ada anak gak ada duit juga buat apa? Gak bisa nyekolahin elu, tong!” lanjut Nyai sambil ngegeplak kepalanya dengan serbet.

Dih. Geplak palanambah bodo, ntar!” serunya sambil menghindar, tetapi tak berani sebab takut kuwalat.

Kayak cucu tiri, ih!” serunya lagi. Kali ini sambil mengusap kepala dan merengut manja.

Lhah, serbet doang ini?!” hardik Nyai.

Beberapa puluh menit kemudian, Ibuk dan Bapak pulang. Mereka menyapa sambil lalu. Kemudian mereka makan malam bersama di meja makan. Nyai selalu menolak, dan menghalangi; setiap kali diajak bergabung untuk makan bersama Ibuk atau Bapak atau keduanya. Harus tahu diri, demikian Nyai senantiasa berpesan.

“Mbah Pur, sekarang malam minggu. Yudhis gak mau malam mingguan, gitu?” tanya Ibuk sambil merapikan bekas makan malam mereka. Tepatnya, menggeser peralatan bekas makan ke wastafel tempat cuci piring.

“Oh, nggak Buk. Ini Yudhis malah mau tanya…”

Nyai melirik ke arah cucunya, memberi gestur untuk mendekati meja makan Ibuk dan Bapak. “Yudhis, itu… Ibuk tanya.” lanjut Nyai.

Dilakukannya yang diperintahkan Nyai, lalu dijelaskanlah semua maksudnya itu sambil terbata-bata. Bukan karena takut, melainkan karena sedikit rasa malu tapi butuh mulai membuncah dalam dada.

“Oh. Festival sekolah? Jadi… maunya pertunjukan teater aja?” sela Bapak sambil melirik Ibuk.

“Iya, Pak. Buk. …” aku tak melanjutkan ucapanku.\

“Kalau nilai-nilai UTS nanti bagus-bagus, Ibuk gak akan nagih utang. Kalau jelek, potong dari uang jajan tiap minggunya ya Yudhis. Deal?” Ibuk menawarkan perjanjian padaku.

Dia mengangguk mantap.

Okedeh. Ini, dua ratus ribu aja dulu. Cukup? Buat biaya ekstra yang kamu tadi jelaskan?” Bapak berkata seraya menyerahkan dua lembar uang merah dari dompetnya.

Kembali dia mengangguk mantap.

“Mbah Pur kalau mau istirahat duluan, gapapa. Biasa, malam minggu. Yudhis kalau mau malam mingguan, uang yang tadi jangan dipakai sembarangan ya? Kan tadi janjinya buat apa?” Ibuk berkata seraya mengacungkan telunjuknya.
Lagi, dan lagi. Dia hanya menjawab dengan anggukan kepala.

“Oia, Mbah Pur. Yang bocor di paviliun, nanti suruh Mang Jum panggil tukang. Beresin. Besok.” Ibu menambahkan, tapi untuk Nyai.

Akhirnya, kediaman super besar ini kembali ditinggal oleh Ibuk dan Bapak.

Sebelum beranjak hendak ke paviliun dekat kebun tak bertuan di ujung area rumah besar ini, Nyai memberi cucu satu-satunya itu ceramah; seperti biasa setiap ada adegan Ibuk atau Bapak kasih duwit.

Baek-baek, elu jaga janji ama Ibuk ama Bapak. Bagus bener, biaya SMK elu ditanggung Ibuk ama Bapak. Orang-orang di luaran sana, cuma bisa ngomongin mereka. Ujung-ujungnya, belum tentu jugak ada yang peduli.”

Nyai melanjutkan ceramahnya sebelum menutup pintu belakang yang mengarah ke paviliun sono.

Ama anak miskin yang gak punya orang tua, ngapain sih harus repot-repot. Nah. Eluuuu. Harus bisa lulus SMK, biar ga pait nanti idup pas gue nyusul anak ama menantu gue ntar.”

Idup syape?” tanya sang cucu gak penting.

Idup elu, lah. Kan gue sih bentar lagi juga matik, dah nenek-nenek gini.” sembur Nyai sambil menutup pintu.

Namun, beliau kembali membuka pintu hanya untuk bertanya, ”Ini benerangak malam mingguan? Trus, mau napain?”

“Nonton TV, dong! Sayang ini, ada TV Kabel tapi TV jarang dinyalain Ibuk ama Bapak!” seru satu-satunya anak di bawah umur itu sambil menyeringai lebar. Bahagia doooong, pegang duit dua ratus ribu gitu, lho!

Nyai akhirnya serius pergi. Maksudnya, ke paviliun.

Si anak SMK yang dipanggil Yudhis itu sejenak melihat coret-coret yang tadi tak tuntas. Ditinggalkannya coret-coret untuk cuci piring, dan merapikan yang tersisa usai Nyai pulang ke paviliun.




== Dekat Dispenser, 27 ke 28 Juni 2020 ==

Labels: , ,

Saturday 27 June 2020

Karena Orang Tua

Ibadah Menulis ke-26 edisi sekumpulan kisah super pendek antitesis.


#fragmen 1
“Kamu tega meracuni adikmu sendiri? Umurnya masih lima tahun!” hardik perempuan di hadapanku. “Kata siapa dia adikku? Hanya karena Anda, menikah dengan Ayah? Tunggulah sebentar lagi. Anda tertidur untuk selamanya.” Kuberi jeda pada perkataanku sambil tersenyum, “Jangan harap hartanya dapat Anda nikmati. Terima kasih.”
[ 50 kata ]

#fragmen 2
“Bagaimana dengan keuntungan bagianku?” tanya perempuan muda di seberang meja makan malam romantis kami. “Kebebasan dan status sosial, dengan label istri. Juga uang bulanan dan uang lain-lainnya. Dalam lima tahun, baru kita boleh cerai. Tapi aku perlu anak yang mewarisi genku. Kamu pun akan dapat kompensasi balasan untuk itu.” jawabku dengan lengkap. Dia menyalakan rokoknya, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Jadi, aku harus menambahkannya lagi, “Dan jangan merokok di ruang publik, juga nanti saat hamil. Sembunyikan kebiasaan itu.” Dia melirik sinis padaku, lalu kembali bertanya, “Bagaimana dengan posisiku di perusahaan gabungan kita nantinya?”
[ 100 kata ]

#fragmen 3
“Kenapa kita tidak Nikah Siri saja?” tanyaku padanya. “Kawin lari? Biar apa? Hanya biar tidak jadi omongan orang? Agar aku bisa kau pamerkan sesukamu? Percuma. Aku tidak mendapat keuntungan apa-apa dari Nikah Siri. Hanya hukum negara, yang bisa membantuku selamat dalam pernikahan.” balasnya panjang kali lebar kali tinggi, jadilah volume. “Tapi orang tua kita sama-sama tidak sepakat, kan? Terus, maumu bagaimana?” tanyaku lagi. “Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kalau kamu memang ingin beli rumah, ya beli saja. Beli rumah kan tidak perlu harus menikah. Kalau aku ada uang ya aku mau membeli rumah sendiri.” Kembali dia menjawabku, tetapi kali ini ada bayang-bayang kilau air di kedua bola matanya. “Tidakkah cinta cukup bagi kita untuk bersepakat bersama?” tanyaku masih bertahan. “Kalau hanya untuk mengganti status anak perempuan dengan status istri, aku perlu lebih banyak waktu untuk berstrategi.” sahutnya lirih tapi tegas.
[ 150 kata ]



=== Pojok Kamar dan Segala Antitesis Normatif di Dalamnya,
tanggal 26 menuju 27 Juni, 2020 ===

Labels: , ,

Thursday 25 June 2020

BULAN SABIT

Ibadah Menulis di Sepanjang Juni sesi ke-25

(sebuah cerita tentang dongeng omong kosong)


Mulai temaram. Sebentar lagi, pasti gelap. Namun, perpaduan semburat oranye membara dan warna biru gelap di langit yang hanya berlangsung singkat ini senantiasa indah untuk dinikmati.
Senja, seperti yang sekarang terlalu banyak disebut jutaan orang di perlbagai platform media sosial, sudah menjadi kesukaanku sejak lama.
Kesambet, ntar! Balik, yuk!” ucap sebuah suara yang mendekat.
Eits! Jaga jarak aman!” balasku seraya mengangkat kedua lenganku dengan gestur berupa penolakan.
“Sebentar lagi tahun ajaran baru…” sahutnya dengan jeda panjang di akhir kalimatnya, membuatku mudah untuk menyelanya.
“Iya, teruuuuuus.” balasku sinis.
“Kita kapan naik gaji, yak?” tanyanya dengan mata menerawang.
“Kalau penjualan meningkat?” jawabku dengan tanya.
“Sebenarnya menteri kita ini, jadinya keputusannya gimana sih?” tanyanya lagi, seperti yang tak menghiraukan responsku sebelumnya.
“Kabarnya, kita ada perpanjangan waktu satu semester. Kabar lain lagi sih, bulan Juli nanti semuanya kembali seperti sedia kala.” jawabku sambil menoleh melihatnya.
“Lho?! Nanti kita kunjungan ke sekolah lagi, kayak sebelum korona-koronaan ini?” tanyanya lagi. Kali ini, dia ikut menoleh. Memandangku. Kami saling bertatapan sejenak.
Tenang, ini bukan cerita cecintaan apalah-apalah. Ini hanya cerita tentang omong kosong, di antara dua orang yang membicarakan omong kosong.
“Nanti kita pakai APD?” lanjut dia berkata, saat kami masih saling bertatapan.
Akhirnya kami berdua sama-sama mlengos, memalingkan muka masing-masing.
“Ya enggak lah, ghobloq…!” sergahku tajam.
Trus, kita nanti gimana?” Dia memutar badannya sekitar empat puluh lima derajat, dengan aura gestur yang memancar berupa paksaan, agar ikutan memutarkan badanku juga sekitar empat puluh lima derajat berlawanan arah.
“Ya kita bawa laptop, dan bahan presentasi. Proposal penawaran tentu saja. Dan seterusnya, dan seterusnya.” jawabku. Kali ini aku tak tahan untuk tak noyor kepalanya.
“Aku jangan … kamu ini, jangan noyor-noyor gini, dong! Nanti kalau aku tambah bego, gimana?” rengeknya setelah kutoyor kepalanya tadi.
Aku menghela napas lalu menengadah menatap langit yang sudah gelap. Malam sudah seutuhnya datang. Terlihat penampakan bulan sabit.
“KITA KAN JUALAN BUKU PELAJARAN IMPOR. YA GAK ADA URUSANNYA SAMA KOSTUM APD!” seruku kesal.
“Kamu resek kalau lagi baper. Nasi goreng Mang Aep yang biasa, yuk!” bujuknya sambil mengedip-ngedipkan mata semakin membuat kesal.
“Bayarin, nggak?” Tak mau kalah dengannya, aku balas merajuk.”
“Kita ini mau jadi apa? Sama-sama miskin, kok malah minta traktir-traktir? Gak ada!” sahutnya ketus.
Kami melangkahkan kaki ke Nasi Goreng Mang Aep yang jaraknya hanya sekitar lima ratus meter.
Kulihat bulan sabit yang tadi, mengiringi perjalanan kami.
Mengiringi omong kosong kami.
Mengiringi keluh kesah khas, milik orang-orang yang berjibaku dengan target penjualan.



[ neto 440 kata, menurut perhitungan Word Count ]

=== trotoar dalam ingatan, 25062020 ===

Labels: , ,

Wednesday 24 June 2020

Inilah Caraku Mengingatmu

#IbadahMenulis Ke-24 Beercerita Ke-23 sebab yang pertama hanyalah ocehan tentang Bulan Juni yang legendaris



[ November Tahun 2019 ]


"SINI, DOOOONG. CEPETAN! PIZA EBIRA, CUS!"

Aku menjauhkan ponsel dari telingaku.

Sambungan ponsel terputus. Namun, bunyi notifikasi langsung plentang-plentung saling bersahutan membuat bising.

Pesan dari layanan LINE-Chat darinya mbrudul bertaburan. Lengkap dengan stiker menggemaskan, memohon agar aku memenuhi permintaannya.

Bir gratis, pikirku. Kenapa tidak. Sampai kemudian aku ingat, kalau salah seorang di antara kami mabuk berat, berarti alamat repot urusan memulangkan mobilnya.

Sesampainya di sana, dia merengkuh pundakku memeluk. Kami lalu duduk di tempat masing-masing, menikmati bir dingin dan pertunjukan musik Live Show.

"Pacar aku... main... tapi anak-anak kantor masih pada miting..." ucapnya dengan suara pelan sambil wajahnya mendekat ke arahku. Kemudian, sambil tertawa dia melanjutkan, "hahahhaa gimana doooong! Pacar manggung, masak aku rapat! Kan kesel, yak!"

Tempat itu riuh, salah satunya karena musik. Orang-orang saling mengobrol, aku merespons sekenanya.

"Kamu kenapa judes banget, ih?! Kalo ada yang oke, ambil siiiiiih...!" sahutnya sambil menoyor bahuku dengan bahunya. Kubalas dia dengan cubitan di pipi. Lalu, aku kembali asyik teriring suasana ala kehidupan kota besar dengan segala gelisah di baliknya.

Aku semakin tenggelam menikmati musik jeda, karena band sedang istirahat.

November Rain. Guns 'N Roses.

Sudah jam bubar. Kulirik jam di ponselku. Kulihat angka 00.24 di layar.

Akhir dari pertemuan transaksional ini adalah dia mabuk lumayan, dan aku masih baik-baik saja dengan beberapa gelas bir dingin. Di Indonesia, belum pernah ada kejadian di mana yang nyupir dalam keadaan habis minum bir kena tilang. Yang penting, jangan buat kecelakaan kan? Sebenarnya ini bertentangan dengan kebiasaanku tetapi karena sogokan darinya, aku melanggar diriku sendiri.

Dia memintaku lewat studionya. Sudah kuduga, dia pasti ingin tidur di sana.

Aku tiba-tiba merasa bosan dengan kamar kontrakanku di sudut gang miskin di pelosok sudut dekat kampus. Kuputuskan untuk ikut tidur di sana.

Keesokan paginya, "KOK KITA DI SINI?"

"Sadar, bego. Kamu skip semalam."

"OIA, AKU LUPA!" balasnya sambil tertawa, lagi.

Aku meregangkan badanku sambil celingukan untuk geratakan mencari minum.

"Kopi AROMA ada di pojok situ, aku umpetin. Kamu ih kayak kuli, minumnya kopi item." Seperti membaca pikiranku, dia berkata seraya mengarahkan telunjuknya ke sudut yang dimaksud. Aku menyeduh kopi, dan dia pergi ke kamar mandi.

Bila di media sosial ada tagar-tagar goal apalah entahlah apalah-apalah, mungkin menaruh bubuk kopi kesukaan di studio temanmu termasuk salah satu dari friendship goal apalah itulah entahlah. Mungkin.

Ini hari Minggu, dan di genggaman tanganku ada secangkir kopi panas membara seperti cinta yang tak kasat mata. Betapa indah kehidupan bila dimulai dengan kebebasan dari kewajiban duniawi bangun super pagi untuk berjibaku mencari duit di belantara kota.

Dia kembali dari kamar mandi dengan masih ada sisa tetesan air dari wajahnya.

Kusodorkan tanganku, menengadah padanya. Dia melempar sekotak rokok yang masih tersegel rapi dari tasnya dan sebuah Cricket. Rokok kesukaannya. Kunyalakan rokok, kuberikan padanya. Dia menyesapnya dalam-dalam. Aku lantas membakar satu lagi untuk diriku sendiri.

"Kamu gak mau tanya-tanya apaaaaa, gitu?"

"Sejak kapan aku nanyak-nanyak? Memangnya aku polisi, hobinya interogasi?" balasku santai.

"Pacar mau nikah. HAHAHA! Beda tuhannya, jadi aku ama dia ga bisa lanjut. HAHAHA KASIAN IH AKU."

Aku hanya menoleh, menatapnya.

"Udah tau. Semalam siapa ya, yang nangis? Meraung-raung. Untung gak muntah-muntah. Repot, ntar." sahutku sambil tersenyum iseng.

"HAHAHAHAA BANGSAT AKU MABUK TERNYATA...!" dia membalasku dengan tawa dan seruan.

Dia lalu mengulang ceritanya dengan lebih rapi, tinimbang semalam. Sambil mengakhiri dengan, "Jangan! Jangan kasih aku omongan yang berat-berat. Aku pusing, gak mau mikir. Ini aja, studio, aku suetressss! Ada ya, orang bikin usaha Wedding Organizer, tapi gak kawin-kawin. ADAAAAAA!"

Kami berdua tertawa bersama.

Setelah itu, lama sekali kami tak saling bertemu untuk sekadar melakukan kebodohan. Seperti yang konon katanya, biasa dilakukan anak muda. Walau kami, gak muda-muda banget sih. Sibuk masing-masing. Dia sibuk dengan kehidupannya, aku pun demikian.

"Kita ini, kudu kawin. Kalau engga, nanti tetangga, saudara, dan semua orang. Pada ribut nanyain dan ngedoain. Mending ngedoain, ngomongin sih iya!" katanya suatu ketika.

"Karena kita terlahir perempuan di negeri ini?" balasku kala itu.


[ Juni Tahun 2020 ]

Wabah zombie korona meramaikan dunia. Aku sendiri tak mudik tak pulang kampung. Bertahan sebisanya, terutama dengan kesibukan klasik khas manusia umum: cari duit dan bertahan hidup.

Namun, tidak dengannya.

Bulan-bulan berlalu, termasuk masa-masa di mana Pembatasan Sosial Berskala Entahlah diberlakukan.

Lalu di suatu hari yang tak kalah entahlah, kulihat kabar di lingkaran pertemananku dengannya di media sosial.

Sejak itu, beberapa hari berlalu dengan mencekam. Hingga suatu hari, hari di mana badai menyambanginya. Menyambangi mereka yang akhirnya kehilangannya.

Sesampainya di rumah sakit, aku buru-buru mencari ruangan ICU yang ditempatinya. Kulihat ada orang tuanya, adiknya, dan beberapa orang yang juga kukenal baik. Kami berteman, dan kami berbagi teman.

Mereka semua sudah dipenuhi tangisan; setidaknya isakan, rintihan, wajah sembab, dan sisa-sisa air mata memenuhi wajah-wajah di sekitarku ini.

Ternyata aku terlambat. Setelah dirasa aku tak ada gunanya bila berlama-lama di sana, aku pulang.

Malam itu, pecah sudah. Tak dapat kuingat, kapan terakhir aku menangis sedalam ini.

Dan di sinilah aku, pagi ini.

Aku turut dalam iring-irangan yang mengantarnya. Ritual pemakaman berlangsung sebagaimana seharusnya. Lengkap dengan doa-doa yang bertaburan.

Gelombang kesedihan menyerbu, lagi. Aku merutuk dalam hati.

'Gak sopan! Kamu bikin aku nangis dari kemarin. Semalam, dink!'

Semua yang mengantarnya terlihat sibuk, entah apa yang masing-masing orang pikirkan. Yang kutahu, orang bisa menangis kehilangan bila ada memori tentang dia yang pergi.

Pergi karena berpisah alam.



Kamar dalam Rumah, 2462020

Labels: ,

Tuesday 23 June 2020

KEMBALI

Sekumpulan #CeritaSuperMini ~ #IbadahMenulis #HariDuaPuluhTiga



#fragmen 1

Dicarinya sumber suara yang sedari tadi samar-samar tetapi cukup mengusik. Sekitar dua meter dari hadapannya, sang sumber suara berkata perlahan, “Aku menjaga jarak di antara kita, sayang.” Terkejut, dia pun membalas, “Kamu kan sudah meninggal.”


#fragmen 2

Hari-hari berlalu dalam kedamaian. Namun, tak sampai tiga bulan saja sudah ada yang mengetuk pintu rumahnya. Dia membuka pintu hanya untuk mendapat sapaan berupa teriakan, “Kalau gak bisa bayar utang, jangan pinjam duit dong!”


#fragmen 3

Menit-menit berlalu, tetapi mereka hanya saling bertatapan. Salah seorang di antara keduanya menyapa duluan, “Heeey, aku rindu….” Balasan yang tak senada meluncur, sambil sang pemilik tubuh mendorong sang lawan bicara yang hendak memeluknya, “Percuma! Sudah rugi uang, masih pula diselingkuhi.”


#fragmen 4
Dengan wajah sumringah bahagia sejahtera, dia menyapa, “Lho, ketemu di sini? Apa kabar?” Yang disapa hanya membalas, “Aku sudah mati dua hari lalu, lho.” Sang wajah yang sumringah tak tinggal diam, “Harusnya kamu yang khawatir! Utangmu yang sudah setahun lebih terlupakan, kamu pikir akan aku ikhlaskan?”


#fragmen 5

Dijawabnya panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. Setelah puas tertawa basa-basi, “Jadi, elu termasuk yang aman atau tidak?” Suara di ujung sambungan telepon membalas dengan cepat-cepat dan histeris, “Gilak! Gue karantina mandiri! Pacar jugak! Orang tua manten urut-urutan kenak! Perbuatan durjana macam apa ini? Pacar berkontribusi menyumbang virus zombie akibat sungkan menolak undangan! Gue memang goblok! Abis karantina mandiri gue mau mintak putus! Eue, kagak; HIV kagak! Malah kenak serang korona! Sama-sama sial.”



=== Hati(-hati) yang Psikosomatik, 23062020 ===

Labels: , , ,

̶A̶n̶d̶a̶i̶ ̶A̶k̶u̶ ̶B̶i̶s̶a̶ Membunuhmu Tanpa Menuai Hujatan

Ibadah Menulis Sesi Ke-22 Cerita Ke-21
(sebab tulisan pertama isinya khotbah sastrawi)


“Selamat yaaaaaa, Andiiiiin!”
Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Baru berapa bulan berlalu sebelum semuanya berbalik seratus delapan puluh derajat.
“Kamu tau apa?! Itu kan hanya teman! Ini mangkanya aku tak suka perempuan yang kerja segala! Diem di rumah! Suami datang bukannya disiapkan minum atau dikasih senyum, malah ditanya yang tidak-tidak!” hardiknya sambil mendorong sang perempuan yang perutnya sudah membuncit itu, hingga bahunya menghantam tembok.
“Aku tanya, Mas…” balas Andina halus. Dia masih mengeryitkan wajah karena kesakitan, ketambahan campur aduk segala rasa dari perutnya.
“Pertanyaanmu keterlaluan!”
“Mas… kalau aku gak kerja… kalau aku resign… memangnya uang darimu cukup buat kita sehari-hari?” ucap Andini lirih sambil mencuri pandang.
Tatapan mata yang tajam menusuk membalas curi-curi pandang Andini.
Hari-hari sejak saat itu dilalui Andini dengan kekasaran silih berganti. Kadang ucapan, kadang tangan yang menggebrak bahunya alih-alih menggebrak meja.
“Eh, Mas Fauzi. Abis jalan-jalan sama istri, Mas?” sapa seorang tetangga menyapa dari seberang rumah.
“Iya, Bu…” jawab sang pria serigala berbulu domba yang merangkul pundak Andini.
“Dengar-dengar besok malam mau ada pengajian di Mesjit Anu-anu, Mas Fauzi yang ngisinya? Benar?”
”Insyaallah, Bu. Kebetulan, Pak Hanif yang meminta. Sekalian persiapan kita berapa hari lagi mau Ramadan.”
Sang tetangga berlalu, dan sepasang insan manusia itu memasuki rumah kediaman mereka.
Sebentar saja keheningan melingkupi mereka, riuh amarah kembali menyeruak.
“INI. APA INI? FITNAH. KAMU TAU KAN, AKU BANYAK MUSUHNYA.”
Andini tersentak dengan hardikan yang tajam dengan volume suara tertahan itu.
“Stalker. Paparazzi. Apa itu sebutannya?!” tambahnya seraya membanting ponsel Andini selepas dia investigasi isinya. Ajaibnya, ponsel itu tak mati, hanya permukaan layarnya saja retak.
Ramadan dan Lebaran terlampaui sudah. Pria yang seharusnya menjadi ayah dari bayi yang dikandungnya semakin rajin menghardik, jarang pulang, bahkan nafkah uang bulan ini sudah tak ada kabar selama dua minggu lebih.
Hingga saatnya sang bayi berontak ingin muncul ke dunia.
“Ndin, sehat-sehat! Kuat! Semangat! Bi Rum beresin admnistrasi dan jaga di sini.”
Hingga saatnya ibu dan bayi pulang dari rumah sakit.
Makasih, Bi Rum. Dah, kok. Gapapa.”
Hingga usai jatah masa cuti melahirkan.
Bener, Bi Rum? Mau? Gapapa, ini?”
Gapapa. Bibi mau ngapain lagi coba? Anak sama suami dah pada pergi ngeduluin Bibi. Udahlah anak hanya satu-satunya, belum sempat mantu belum sempat gendong cucu. Bibi pengen gendong-gendong Bayi Lyla.”
Tak cukup sampai di situ, sumber kekusutan hidup. Omongan tetangga terkadang bisa menjadi ajaib, bila tak dapat disebut tak masuk akal. Karena beliau lebih senior.
“Ih, Bu Andin. Kok mau sih, diasuh Bi Rum. Dede Lyla. Bawa sial, lho. Bi Rum kan ditinggal suami dan anaknya gara-gara dia liberal. Gak mau berhijab.”
Pun ocehan orang kantor. Kala berpapasan di mal sepulang jam kantor. Karena posisi jenjang kerja beliau, lebih tinggi.
“Ya ampun, Ndin. Kok gak ASI aja sih, dedenya! Jangan keseringan pakai sufor! Kasihan anakmu! Mangkanya jangan kebanyakan stres, apa-apa serba dipikirkan. Ibu bilang gini kan karena pengalaman pernah jadi Duta ASI sak Bekasi Raya.”
Tiga bulan kemudian, Andini berhasil melakukan operasi tangkap tangan pada dia yang terikat buku nikah dengannya.
“Kamu harusnya tau diri, sebagai istri kamu sudah melakukan apa saja ke suami!”
Kembali, hardikan yang diterimanya.
“Terus, maksud kamu? Kamu mau nikahin perempuan itu? Yang katamu teman kerjamu?”
“Ada hukumnya dalam agama kita! Kamu jangan sembarangan bicara! Kamu bilang sendiri kan, kamu sudah luluh dan tergerak hati untuk menjadi perempuan yang lebih baik, jadi istri yang mulia!”
Masih, hardikan yang menjawabnya.
Segala kekusutan yang menumpuk menemui puncaknya, kala ada surat tagihan dari bank. Cicilan yang mangkrak sudah 3 bulan. Cicilan dengan surat tanah dan rumah yang ditempati Andini dan sang suami. Surat tanah dan rumah atas namanya sebab semuanya itu memang miliknya, warisan dari kedua orang tua yang telah pergi ke alam lain. Yang seharusnya menjadi jatah dia dan adiknya yang sedang menempuh studi sarjana di luar kota.
Andini menggendong Bayi Lyla sembari menyetel lagu dengan volume suara yang cukup kencang, tetapi tak sampai mengganggu tetangga sekitar.
Air matanya tumpah sejadi-jadinya. Sesenggukan menahan isak amarah dalam dada, Bayi Lyla mulai merengek minta diperhatikan.
Andini meraih bantal di dekatnya, dan mulai menekannya kuat-kuat ke wajah sang bayi.
Namun, dalam hitungan detik, dering panggilan masuk di ponsel membuyarkan keruhnya sesaat.


=== Dini Hari di Peralihan Tanggal,
22 ke 23, Juni 2020 Masehi ===

Labels: , , ,

Sunday 21 June 2020

Karena ̶G̶e̶r̶b̶o̶n̶g̶ Yang Khusus Perempuan ̷A̷n̷e̷h̷n̷y̷a̷ Sama Ajaib

Ibadah Menulis ke-21 Sesi Bercerita ke-20


#CERITA #eksperimental #REALISME



"Wah, ditraktir lagi sama si Tante. Jadi mau seneng saya... Hahaha!" Sambil tertawa tanpa malu, diraihnya sepotong Chiken Spicy dari kotak ayam goreng Nganu-Nganu yang tersaji di meja.

Yang dipanggil Tante hanya tersenyum seraya melirik pria di sebelahnya.

"Engga, ini sih pacar Tante Di... yang traktir. Kan dari dompet pacar..." sahutnya sambil menoleh para seorang pria di sebelahnya sebelum meneruskan, "ya kan Yah ini sih dompet Ayah bukan uang Ibu."

"Hahahaha!" sang pria terbahak-bahak sambil mendongak, sejenak mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel dalam gengamannya.

"Siap, Om. Nanti dibantu lagi pas tanding..." kata dia yang dipanggil Tante Di.

"Hadeuuuuh. Pusing. Kalian main apa sih? Aku suka ga ngerti, ih..."

"Dasar si Tante Ningsih, padahal si Om main itu terus. PUBG doang, ini. Heuheuheu."

"Trus mau lanjut ke mana ini, Tante? Sori, lho. Gak jadi lanjut ke Bu Vina. Sedang ingin pacaran di bioskop. Aa' Lingga sampai sengaja ditinggal di tempat nini-nya, biar konsen ini."

"Pantesan, kok gak ada Aa' Lingga. Biasanya trio terus, Tante." ujarnya seraya meraih minuman dingin dalam gelas plastik dengan segel machine press macam di lapak-lapak jualan minuman kekotaan.

"Hehehe. Ikut panduan, kan mau nonton yang tujuh belas pleus. Anak umur sepuluh tahun ya gak boleh diajak nonton. Trus, gimana? Kenapa itu Bu Vina?"

"Oh, tenang Tante Ningsih. Semua bisa diatur. Sebenarnya itu Bu Vina sedang perlu bantuan untuk mahasiswa bimbingan dia, yang ada kaitannya ama ICT-Based. Besok sore saya ke sana buat keputusan apakah si mahasiswa perlu sekalian ganti pembimbing atau pakai pola pembimbing kedua. Dan, denger-denger Bu Hayati mau ikutan. Kan spesialis Listening. Bilangnya mau Listening Assesment, tapi gak kelihatan di proposal penelitian."

"Ini mahasiswa perlu lebih ditatar. Kita ini, kalau lagi libur semesteran, belum tentu bisa libur full. Ada ajaaaaaa, rapat ini dan itunya. Apalagi kalau urusan akreditasi." keluh dia yang sedari tadi dipanggil Tante Ningsih. "Untung saya sih yang standar aja, Curriculum Design." lanjutnya menutup secercah keluhan di awal.

Keesokan sorenya, Bu Di alias Bu Diana Rahmanita, berpapasan dengan Bu Hayati di ruang dosen. Kedua dosen yang sama-sama kisaran usia awal tiga puluh tahunan ini saling tersenyum, walau sekadar basa-basi.

"Lho, ada di sini Bu Didi?"

"Ibu kenapa ada di sini juga?" balasnya dengan tanya.

"Kebagian instruksi dari rektorat, mewakili jurusan. Persiapan DIES NATALIS."

"Oh. Saya sih biasa, numpang fasilitas di sini. Masih lanjut mau usaha buat hibah penelitian. Di pengumumannya katanya tahun ini diperpanjang batas waktunya. Lumayan, masih ada sebulanan lagi."

"Kirain Bu Didi numpang main game lagi di sini." ujar Bu Hayati sambil tersenyum.

Namun, ada nuansa tak nyaman menyeruak dari tebar senyumannya.

"Yah, Bu. Itu jelas mana bisa laaaaah. Kan ada proteksi akses Wi-Fi." balas dia yang dipanggil Bu Didi dengan tatapan wajah setengah menahan ekspresi tak nyaman yang dirasakannya.

"Kemarin saya kontak Bu Ningsih, dia santai gitu balasnya. Gak ikutan karena mau nonton sama suaminya. Saya saja anak empat, dua masih pada kecil-kecil, mau padahal. Dia sih enak, anaknya hanya satu."

"Wah!" serunya menanggapi Bu Ningsih. "Sebenarnya dia sudah minta tolong ke saya sih Bu. Kebetulan karena ada obral-obrol ICT-Based, saya tertarik ingin tahu. Mahasiswanya Bu Vina itu mau ngapain sebenarnya penelitiannya."

"Bu Didi sih enak. Belum nikah. Apalagi anak. Belum ada anak untuk diurus. Jadi santai yah, waktunya banyak." lanjut Bu Hayati melancarkan serangan keluhannya.

"Gak juga sih, Bu. Kalau dari penjelasan Bu Ningsih, pikir-pikir di metoda penelitian memang condong ke ICT-Based Learning. Tapinyagak ke arah Curriculum Design. Kalau memang ke Listening, mungkin itu bisa berubah. Kalau rumusan masalahnya berganti. Mungkin, Bu Vina lebih paham."

"Oh, gitu ya." sahut Bu Hayati dengan ekspresi seperti tak peduli.

"Ibu kenapa mau, kalau memang sibuk?"

"Ya, saya kan perlu dana bimbingannya. Siapa tahu keputusan akhirnya, kalau memang Listening, bisa ke saya SK Pembimbing Skripsi-nya."

Keduanya berpisah jalan, pulang ke tujuan masing-masing.

Sesampainya di rumah, Bu Didi mulai memeriksa ulang berkas coret-coret hasil tadi menumpang fasilitas kantor alias Univesitas Why Frankenstein Maju Jaya, sang universitas swasta yang terkenal di Kota Nothing Lost di Provinsi Skotarizona Selatan.

Beberapa puluh menit berlalu dengan tenang. Sudah beberapa minggu terakhir ini, hanya tinggal dia seorang tinggal di rumah. Kedua orang tuanya sedang liburan ke Freiburg, Jerman. Menyambangi adiknya semata wayang.
Terdengar suara ketukan di pintu memecah ketenangan.

"Sebentar!"

"Oh, Bu Iswandanu. Bagaimana, Ibu? Ada apa tuh?"

"Oh, Ibu ada Neng?" ucap dia yang dipanggil Bu Iswandanu.

Rupanya beliau hendak minta keringanan biaya kontrak rumah Mama di Naga Lima, untuk perpanjangan tahun berikutnya. Padahal, sudah tahun ketiga. Mereka biasanya menaikkan biaya kontrakan per dua tahun sekali, untuk biaya perbaikan standar dan perawatan rutin properti.

"Nanti saya bahas dulu. Kebetulan Ibu saya masih belum kembali, sama Ayah saya juga."

"Oh, gitu. Iya, Neng. makasih."

"Sama-sama, Ibu."

Malamnya, dia yang bila di kantor alias kampus dipanggil Bu Didi pergi menemui seorang teman lama di kedai kopi dekat stasiun.

"Kan pusing gue, beib! Dia ngelama-lamain, ngajak nikah tuh harusnya udah dari berapa tahun lalu." keluh sesosok perempuan yang sepantaran dengannya.

"Sherly, Sherly. Ini pacar yang mana lagi?" sahutnya sambil menyeruput kopi hitam di depannya.

"Pacar baru stok lama. Si Ramdan."

"Lho, katanya dia KDRT. Eh, KDP dink. Kekerasan Dalam Pacaran."

"Ya tapi masalahnya, di mana lagi ada calon suami potensial gitu."

"Okedeh. Lanjut..., ya ati-ati aja sih. Kalau emang bener..."

"BENERAN!" sergah dia yang dipanggil Sherly.

"Ya gimana ya, Sher. Elo, pake kartu kredit dia semena-mena. Trus, dia gak terima. Bukannya wajar ya, dia marah-marah. Bentak-bentak."

"Kok belain laki gue? Lo ada apa ama dia?!" serbu Sherly dengan tatapan mata merajuk.

"Lo jangan kumat, yak..." lirik Diana serius.

"Hehehe." Sherly merespons dengan tawa gemas menyebalkan.

"Jadi gimana?"

"Elo sih enak, kemarenan pas lanjut kuliahnya ada bisa gadein surat pensiunan bokap lo." ucap Sherly sambil manyun-manyun tanda mulai serius nyebelinnya.

"Gak gitu, ya Sher... ya..." lirik Diana lagi seraya melanjutkan, "Lo sekali lagi ngeselin, tinggal lho ya. Jangan cariin gue pe tahun depan."

"Yaaaaah, sensi..." Sejenak Sherly memberi jeda pada ucapannya, sebab dia mulai menyeruput es kapucino. "sensi... ih! Kan lo tau, gue gak ada bokap dari SMP gara-gara dia memilih sibuk sama betina lain ketimbang istrinya sendiri dan anak-anaknya."

Sejenak keduanya tenggelam dalam diam masing-masing. Sedangkan suasana di sana semakin riuh saja, namanya juga Prime Time alias jam orang nongkrong-nongkrong cantik dan tampan.

Tak satu pun di antara semuanya di sana yang dapat menduga, bahwa persebaran wabah virus korona ke seluruh penjuru bumi semakin serius, selang sebulan dua setelahnya.



=== Kota Fiktif Dalam Anganmu, 21 Juni 2020 ===

Labels: , ,

Saturday 20 June 2020

Karena Beliau adalah Pak Haji

Ibadah Menulis di penghujung 2/3 waktu ~ horeeee


#cerita #eksperimental #realisme



"Wah, Pak Haji. Sibuk trus, Paaaaak...." sapa Pak Adillah.

"Eh, Bapak Bewok. Tumben-tumben ini, lewat sini...." ujar dia yang dipanggil Pak Haji. Kemudian beliau melanjutkan, "Bagaimana, Pak Adi.... Sudah lancar lagi, lalu lintas?"

"Gini saja, Pak Haji. Ya, namanya usaha. Ini sedang bangun-bangun apa, Pak? Pantesan warungnya Pak Haji tutup terus. Sibuk terus." lanjut Pak Adi seraya duduk di teras sambil bersandar di tembok.

"Ekstrajosh es atau nutrisaree lagi?" Pak Haji tak sempat langsung menjawab Pak Adi sebab sedang mengawasi para tukang yang bekerja.

"... oh, ya udah. Ekstrajosh aja ya es-nya." sahut Pak Haji sambil menoleh ke Pak Adi dan menjawab tanya sapanya yang tadi.

"Itu sih, Pak Adi. Ya, mumpung kosong masih sepi belum nge-warung lagi. Beres-beres yang bagian sini." kata Pak Haji sambil bahu dan tangan kanannya memberi gestur menunjuk ke sebelah kanannya Pak Haji.

"Mau sambil ngopi, Pak Adi?"

"Wah, kalau gak ngerepotin sih Pak Haji. Saya ini baru jalan lagi, pake mobilnya si Adul..." seru Pak Adi dengan antusias.

"Pantesan... kirain Adul tadi kayak mobilnya Adul."

Pak Haji lanjut ke dalam rumah besar yang sekaligus biasa jadi warung nasi Padang dan Sunda. Menunya maksudnya, misalnya pada hari-hari di mana menu masakannya ada rendang dan sayur asam sekaligus. Kata Pak Haji, sedang ingin makan sayur asam. "Sekalian saja digelar, siapa tahu ada yang pengen makan dengan sayur asam juga." demikian jawab Pak Haji bila ditanya sedang ada menu yang berbeda apa di situ dan dalam rangka apa.

Bahkan pernah Pak Haji buat tumpengan lalu bagi-bagi ke warga sekompleks, dan Adul atau Pak Adi yang kebetulan mampir ikut kebagian; karena masih ada. Pak Haji buatnya banyak betul, sih. Saat ditanya dalam rangka apa, Pak Haji jawabnya setengah bercanda, " Sedang ingin ditanya saja sama kalian."

Tak berapa lama kemudian, Pak Adi pun pamit hendak beranjak dari sana.

"Berapa ini sekarang Pak Haji, kopinya?" tanya Pak Adi seraya mempersiapkan diri untuk beranjak dari rumah besar yang sekaligus adalah warungnya Pak Haji.

"Masih sama, Pak Adi. Cukup tiga juta saja."

Seraya menyerahkan selembar uang bernilai lima ribu rupiah, Pak Adi pun berpamitan.

"Punten, Pak Haji. Sisa dua jutanya simpan saja. Mana tau saya masih ada utang di sini. Atau ya buat nanti."

"Oh, gitu. Lanjut ke mana ini, Pak Adi?"

"Ke yang deketnya eXYeZetABeCe, Pak Haji. Ini temen-temen GREP sama ada GokARt di grup pada rame, katanya pada stand by di sana lumayan sedang ada rame."

"Oh, gitu. Iya Pak Adi, ati-ati. Biar di kita sini masuknya zona hijau, ya pokonya sih semoga pada tertib semua jadi ga berubah zona. Takut saya juga, Pak Adi. Sudah manula ini saya, ahahahahahahaa..." tergelak Pak Haji dengan ucapannya sendiri. Pak Adi membalas tawa khas Pak Haji dengan senyuman sopan.

Sepeninggal Pak Adi, Sang Pak Haji kembali sibuk menjadi mandor. Namun, tak berapa lama berselang, datang Iwansani si pria muda sekitar usia dua puluhan yang tinggal di area paling belakangnya belakang, dari ujung kompleks.

Iwansani memberi gestur menyapa dengan hormat pada Pak Haji dan bertanya, "Pak Haji kira-kira listrik saya sudah harus bayar lagi belum sih Pak?"

Pak Haji lantas melangkah, berpindah bagian rumah, mendekati Iwansani. Karena merasa ada yang terlupa, beliau kembali menoleh dan berkata dengan suara keras, "Itu jangan sambungin ke yang situ. Mending, beresin yang tadi. Kan udah tuh, diberesin Mang Dirman. Ya, Yo! Yoyo tuh jangan diem saja, nanya dulu kalo masih bingung. Kamu sih, nambah kerjaan..."

"Apanya, Wan? tanya Pak Haji setelah berhadapan dengan Iwansani.

"Ini, Pak Haji. Barangkali yang saya harus bayar lagi."

Setelah Iwansani menyerahkan lembaran struk bukti pembayaran listrik, Pak Haji pun berkata, "Oh, ya udah. Dilihat dulu."

Beberapa menit setelahnya, Pak Haji kembali menemui Iwansani di depan.
"Belum, Wan. Masih aman. Gratis! Kan ini masih bulan ketiga subsidi listriknya. Dan ternyata benar."

"Wah! Untung, ajaaaaaa... Pas kebeneran ini uangnya lagi gak ada lagi." ujar Iwansani setengah meluapkan curahan hatinya.

"Udah selesai yang kerja waktu itunya?" tanya Pak Haji.

"Iya, Pak Haji. Baru berapa hari lalu, sih. Palingan besok, mau coba ke Taci Fang-Fang di Pasar Waroo. Denger-denger kata Taci Fang-Fang kalo ada yang mau antar-antar barang siang-siang boleh kerja sama dia.

"Oh, ya syukur kalau gitu. Saya mau ajak, belum bisa. Si Yoyo, keneknya Mang Dirman, sudah bawa temannya dua orang. Dari tempat mertuanya... dan kerjanya bagus. Sementara ini empat orang sayanya masih cukup."

"Iya, Pak Haji. Makasih, lho... monggo."

"Eh, Wan. Sebentar." putus Pak Haji sambil bergegas ke dalam rumah, lalu kembali membawa bungkusan dalam kantong plastik berlogo Hipemat.

"Ini, buat kamu. Kebetulan anak, nyetokin di rumah kebanyakan."

"Mas Fauzi atau Mbak Linda, Pak?" tanya Iwansani sambil dengan polosnya mengintip ke dalam bungkusan itu. Dilihatnya pemandangan sekaleng susu kental manis. sekaleng sarden, sebotol kecil minyak goreng, dan sebungkus sedang gula pasir.

"Yang gitu sih, Mbak Linda. Sejak ada pengumuman dari pemerintah agar pada diem di rumah, setiap bulan kirim sembako berkardus-kardus... dikiranya saya mau buka toko kelontong apa. Kalau Mas Fauzi ya ga pernah kirim-kirim sembako gini. Repot dia bilang."

"Sehat-sehat semua, Pak Haji."

"Iya, karena ada larangan mudik dan pulang kampung, pada tetap di Jakarta dan Bali saja sampai sekarang."

"Oh, syukurlaaah."

"Trus ini mau ke mana jadinya?" tanya Pak Haji sekenanya.

"Lanjut ke deket Anu-anu Square Block, Pak Haji. Sambil-sambil aja, jaga parkiran luarnya."

"Oh, ya udah. Jagain yang bener, jadi gak malu nagih uang parkirnya." ucap Pak Haji sambil lanjut mengawasi para tukang bekerja.

Sesampainya Iwansani di tempat tujuan, terlihat Pak Hasyoodh lewat dari sela pagar mal yang memang dibuka secukupnya untuk sekadar pejalan kaki bisa keluar masuk area mal.

Pak Hasyoodh juga sama kaya raya seperti Pak Haji, tetapi dia jarang dipanggil Pak Haji. Padahal, dia dikenal orang-orang sudah naik haji dan umroh beberapa kali sebab setiap keberangkatan haji dan umroh pasti senantiasa ada perayaan besar-besaran sampai mengundang penceramah terkenal.

"Eh, Wan. Markir lagi?" sapa Pak Hasyoodh.

"Iya, Pak. Bapak abis dari mal, Pak?" balas Iwansani basa-basi.

"Ya masa dari Pasar Waroo. Kamu ini..."

Pak Hasyoodh tak melanjutkan ucapannya, sebab tatapan matanya terpanggil bungkusan yang dibawah Iwansani.

"Apa itu, Wan?"

"Oh, dari Pak Haji Kusnan. Tadi sambil mau bayar listrik, ternyata masih nol bulan ini sih."

"Enak, ya. Kamu listriknya nol. Saya ini, gak dapat subsidi sama sekali. Padahal listrik saya yang sembilan ratus, lho."

"Oh, kalau itu sih kata Pak Haji Kusnan memang beda-beda. Bapak mungkin termasuk yang non subsidi, sembilan ratusnya." jelas Iwansani tanpa diminta.

Yang diberi penjelasan hanya tersenyum sinis.

"Oh, gitu. Gak jelas pemerintah ini. Ya sudah, saya mau balik. Saya ga bayar parkir ya Wan, kan kamu baru dateng ini masak gak kerja sudah minta bayaran."

'Padahal biasanya pun enggan membayar,' dalam hati Iwansani ngerasani.

Waktu berlalu, dan senja akhirnya menyambangi kembali. Penanda satu hari lagi usai sudah.

Iwansani pulang sambil melewati rumah-warung besar Pak Haji Kusnan. Dilihatnya Pak Haji Kusnan asyik menyapu-nyapu dan mengepel-ngepel bagian teras depan yang berdebu. Tentu saja itu akibat seharian kebagian debu dari bagian yang direnovasi.

"Monggo, Pak Haji. Pulang dulu. Ini, makasih Pak juga buat Mbak Linda."

"Eh, Wan. Sudah pulang lagi?"

"Iya, Pak Haji. Sudah mulai sepi lagi. Tadi sih, tinggal ada dua motor. Satu punya orang, satu laginya punya temen yang di RUKO Relmiy. Lama dia sih baliknya pasti malem. Mending saya pulang, bantuin istri di dapur."

"Wah, udah buka lagi pesenan?" tanya Pak Haji Kusnan antusias.

"Iya, Pak Haji. Nyoba dulu saja, usaha dulu."

"Kebeneran, Wan! Saya mau tahlilannya Ibuk. Karena masih disuruh jangan kumpul-kumpul, saya pesen... jajanan... ama makan siang kotakan...? Kamu besok mulai ke Taci Fang-Fang?"

"Iya, Pak Haji."

"Besok kamu ke sini sebelum ke Taci Fang-Fang. Catat pesanan saya, sama ambil uang. Kurang lebihnya sisanya, nanti kamu sama istri catat saja lah. Mau kirim ke Panti Kasih Bunda yang di Coblong Jaya."

"Panti asuhan Katolik, Pak Haji?" tanya Iwansani dengan tatapan wajah bingung.

"Memangnya kenapa? Ahahahaha..." beliau tergelak dengan tawa khasnya sebelum melanjutkan perkataannya. "pesenan Mas Fauzi, kalau ini sih. Teman SMA Mas Fauzi ada yang jadi pastor penjaga di sana. Ya, bukan berarti karena dia yang mengurus pembiayaannya sih. Menghargai anak, saya sih mikirnya."

Iwansani hanya mengangguk mendengar penjelasan beliau.

Mereka pun berpisah, seiring gelap yang mulai merayap menyingkirkan semburat senja.

Lampu-lampu luar mulai menyala. Iwansani mantap melangkahkan kakinya dengan penuh rasa syukur.

Terkadang, hidup memang seajaib itu.


=== Bawah Pohon Mangga Depan Teras, 20062020 ===

Labels: , ,

MENJADI AYAH

Ibadah Menulis Ke-19 ~ ngedongeng sih yang ke-18


“Kenapa ga mau punya anak lagi? Ga penasaran? Siapa tau nanti dapat anak laki-laki.” ucapnya sambil lalu. Yang diajak bicara mulai menyalakan rokoknya.
“Nanti kayak siapa yaaaaa… anaknya tiba-tiba sudah empat trus” ujar salah seorang lainnya.
Empat orang bapak-bapak yang saling selisih beberapa tahun asyik merokok bersama setelah makan siang.
Kayak orang yang penasaran itu lah! Kayak siapa lagi?” sahut si Mandul.
“Daripada situ, mandul…” kilah dia yang merasa disebut-sebut sebagai yang penasaran.
Ga coba kawin lagi? Siapa tau kalau dengan istri baru, bisa dapat anak.” lanjutnya.
“Kalau memang benar mandul, ya sudah. Gapapa. Istri tetap asyik, ranjang tetap goyang.”
Mereka saling sindir tetapi akhirnya tertawa-tawa bersama jua.
Kebersamaan dalam sesi makan siang sudah tiga bulan terakhir ini hilang. Tak ada lagi, sama sekali. Begitulah. Akibat sang virus zombie korona yang membawa wabah.
“MBAK! SINI BANTU MAMI MASAK. BELAJAR SINI SAMA MAMI…” teriakan wanita dari arah dapur memecah suasana.
“Mi, jangan kenceng-kenceng gitu. Ini Papi bentar lagi mau ngajar. Kalau kedengeran mahasiswa, bagaimana?”
Dua perempuan asyik berkutat di dapur, Sang Papi mempersiapkan diri untuk mengajar dari rumah.
Yang mengajar sudah selesai, yang memasak pun sudah selesai.
Mereka lalu makan siang bersama.
“Papi sih, manjain Mbak terus.”
“Lho, kok Papi sih?”
Udah anak kita ini cuma satu, susah banget kalau ama Mami gak pernah nurut. Nanti kamu gede, gak bisa masak, mau jadi apa rumah tanggamu.”
“Mami kenapa, thoh… Papi gak pernah nyuruh Mami masak lho ya dari dulu kan Mami tau kalau Papi gak rewel-bawel makannya.”
“Ya kan Mami sudah bisa masak duluan sebelum ama Papi.”
“Sudah-sudah, Mami ama Papi jadi mau makan gak sih?” tanya anak perempuan mereka.
“Oia, kan Papi sudah kelaparan ini…”
Aktivitas makan siang berlanjut dengan pemandangan sepasang ayah dan anak perempuan yang bahu-membahu membereskan peralatan bekas makan.
“Tenang. Nanti kamu gede, kamu akan belajar dan mengalami lebih banyak hal. Kelak, kamu seharusnya bisa dapat yang minimal sama baiknya dengan Papi.”
“Lhoh, aku Pi. Mami gitu, lho. Nyuruh aku terus.”
“Ya Mbak dengarkan saja, maksud Mami sebenarnya kan baik. Lagian, memasak itu gak ada hubungannya dengan kamu perempuan atau laki-laki. Memasak bisa membantu, misalnya hemat pengeluaran daripada makan beli terus di luar… lebih sehat pula, bisa…”
“Kalau misalnya dapat, trus dia juga cinta banget sama aku Pi?”
“Ya lihat orang tuanya. Papi anak yatim piatu, diasuh sama Eyang Uyut.”
“Uuuuuu, Papi…” sang anak perempuan merengkuhkan diri ke tubuh bapaknya, memeluknya hangat.
“Papi mau bilang, kalau Mamimu aman damai bebas dari gangguan mertua. Lhah pas menikah sama Papi, Eyang Uyut gak banyak rewel kok.”
“Kenapa sih Mami gitu terus ke aku. Masih SMA gini, kan risik dengernya.”
“Karena itulah yang Mami dapat dari ibunya. Ibunya Mami, dapat itu juga dari neneknya Mami. Saling mewarisi. Sekarang, kamu yang seharusnya mengubah itu semua. Bahwa kalau anak perempuan harus ini itu, kelak jadi menantu jadi istri harus begini begitu.”
Si anak yang diajak bicara hanya manggut-manggut.
Nikah lagi. Menambah istri. Penasaran tambah-tambah anak hanya untuk mendapat anak laki-laki. Semuanya itu dia tepis.
“Apalagi kalau misalnya, nanti yang jadi suamimu mendadak menjadi sangat alim agamais tetapi berakhir dengan dia ingin menambah istri. Jangan mau…” lanjut pria itu sambil menatap anak gadisnya yang masih SMA.
“Kalau akunya terlalu cinta, Pi?”
“Ya jangan goblok, gitu lho…” balas Sang Papi.


[ 600 kata menurut Word Count ]
Jumat menuju Sabtu 19-20, Juni 2020

Labels: , ,

Friday 19 June 2020

Kelaziman Baru JULYD Sih Tetap Lama

Sesi Kedelapanbelas ~ Cerita Ketujuhbelas

#IbadahMenulis di Sepanjang bulan Juni


"Ya, haloooo..." ucap Lydia pada panggilan telepon di ponselnya. Pemilik suara dari nomor tak dikenal di seberang sana rupanya suara laki-laki.

"Maaf, Bu. Boleh minta waktunya sebentar?" balas suara tersebut.

"Kasih gak, yaaaaaa..." sahut Lydia santai setengah iseng.

"Kami dari Bank Satu Nusa Satu Bangsa ingin menawarkan kartu kredit, atau barangkali pinjaman dengan cicilan ringan." Suara di seberang sana tetap stabil, terasa bahwa pemiliknya hanya diam bergeming pada candaan Lydia.

"Wah, belum butuh kartu kredit, nih...."

Belum sempat Lydia meneruskan ucapannya, suara itu meneruskan celotehnya.

"Baik, Ibu. Bagaimana dengan pinjamannya. Bisa langsung cair, dan segera. Barangkali Ibu perlu untuk kembali beraktivitas selepas Pembatasan Sosial selesai. Kami ada dua tenor untuk maksimal pinjaman seratus lima puluh juta ya, Ibu. Kalau tenornya enam puluh bulan, setiap bulannya Ibu hanya perlu melakukan pembayaran sekitar tiga jutaan saja yaitu tiga juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu dua ratus empat puluh enam rupiah..."

"Itu sih bukan tiga jutaan, Mas!" sergah Lydia sebelum suara di telepon menyelesaikan penjelasannya.

'Nyaho, lu...' pikir Lydia. 'Gantian, gue sabotase dialognya...'

Namun, suara itu tetap bergeming; terasa seperti tak ada perubahan nada atau intonasi.

"Kalau Ibu ambil yang tenor empat puluh delapan bulan, setiap bulannya Ibu hanya perlu melakukan pembayaran sebesar empat jutaan saja yaitu empat juta lima ratus empat puluh empat ribu lima ratus sembilan puluh delapan rupiah saja. Bagaimana, Bu?"

Lydia lantas bertanya, "Itu ketemu bunyanya berapa ya Mas, per tahun?"

"Per bulan nol koma sembilan puluh lima persen saja, Bu. Murah sekali bukan, di bawah satu persen. Selain itu, kalau Ibu mulai mendaftar pinjaman sebelum akhir Juni ini maka Ibu akan otomatis diikutsertakan dalam undian kami kali ini yang diselenggarakan dalam rangka..."

Suara selanjutnya tak lagi menembus telinganya.

Lydia tiba-tiba berkutat dengan perhitungan kelebihan uang yang didapat oleh pihak yang meminjamkan ini, alias si Bank Satu Nusa Satu Bangsa. Hingga akhirnya sapaan yang menuntut perhatian di ujung sambungan telepon membuyarkan lamunan perhitungan Lydia.

"Halo, Bu Lydiawati Sirait. Jadi bagaimana Ibu?"

"Nanti deh ya, saya baru selesai mudik alias pulang kampung. Eh, sedang maksudnya. Entahlah apa bedanya, mudik dan pulang kampung ini. Nanti saya pikirkan lagi. Bedanya dan perhitungan bunganya..." sahut Lydia dengan suara menggantung di bagian terakhir omongannya. Dalam selang beberapa detik, dia menutup panggilan telepon tersebut tanpa tedeng aling-aling.

'Sudah waktunya buat Facebook dan Instagram LIVE Story, nih. Mana dulu enaknya', Lydia sibuk menimbang-nimbang. Selain itu, dia pun mencoret-coret daftar hal yang hendak disampaikan di dongeng media sosialnya itu.

...

"Halo halo halo semuanya. Apa kabar, mudah-mudahan tetap sehat. Tetap di rumah aja, kalau bisa. Kayak aku, nih."

Lydia mulai mengoceh sembari berputar di depan layar ponselnya yang sudah siap dalam mode Kamera Depan aktif.

"Karena melakukan perjalanan selama New Normal sebaiknya mematuhi protokol, mulai dari pra-perjalanan, di antaranya, dan pasca bepergian, sampai empat belas hari ke depan aku bakal ngonten Outfit of The Day dari rumah aja. Padahal, sudah gak sabar banget ingin keliling Medan."

Lydia sejenak melirik ponselnya, membaca pertanyaan salah satu yang turut hadir mengikuti LIVE-Show yang dilakukannya.

"Apa? Bahasa Batak? Oke, aku nanti ingat-ingat dulu ya..."

Dan pertanyaan lain.

"Oh, iya dong. Dokumen penting dong, hasil uji Rapid-Test alias Pi Si aR."
Sambil sedikit menggerak-gerakkan kepalanya, Lydia tiba-tiba diserang lupa. Singkatan PCR yang tadi subuh dia sudah coba hapalkan.

"Selama bepergian, tetap pakai masker. Harus, itu. Juga jaga jarak aman..."

"Oh, jelaaaas, lapor kepala desa dulu."

"Iyaaaaaa, aku di desa ini. Hehehe. Jauh dari tengah kota pun."

...

Selang beberapa jam kemudian, sepupunya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lebih beberapa menit.

"Kau ini, gak kawin-kawin. Tinggal di kota lama, buat kau gak mau kawin rupanya. Tengok aku, di kota aku merantau gak lupa kawin aku ini. Lekaslah kau menikah, sebelum ayahmu keburu pergi juga seperti kakakku. Belum sempat menikah, keburu meninggal."

Lydia sudah tak kaget lagi dengan ucapan sepupunya yang satu ini, sepupu yang berasal dari garis Ibunya almarhumah.

"Apa masih bisa ada tambahan barang berapa ratus ribu atau sejuta? Si Bertha ingin sepatu baru, gara-gara itu Isak ingin pula diberi sepatu baru."

"Ayah bagaimana?" tanya Lydia tanpa merespons permohonan lebihan uang itu.

"Aman. Sudah tak separah dua minggu lalu, tapi masih tetap harus dirawat. Aneh pula itu padahal, ketularan siapa ya?"

Kembali Lydia diam membisu tak merespons ucapan-ucapan yang baginya tak penting. Sampai tiba-tiba, wanita yang sedang berbicara dengannya itu mual-mual dan bergegas ke kamar mandi.

"Hamil lagi?" seru Lydia.

"MUNGKIN. SUDAH BEBERAPA HARI INI MEMANG PAYAH BETUL AKU, GAK MENSTRUASI PULA INI TELATNYA INI." balas yang ditanya dengan volume suara cukup tinggi.

"Gak paham aku, kenapa urusannya aku harus kawin dan kemampuanku membayar biaya rumah sakit, dan segala macam kebutuhan keluarga ini." seru Lydia lagi.

"YA KAU HARUS KAWIN LAH, PUNYA ANAK. NANTI KESEPIAN KAU SENGSARA HIDUP KAU GAK KAWIN ITU. DAN KALAU KAU SAKIT SIAPA YANG AKAN RAWAT KAU."

"Walau suaminya pengangguran?" ujar Lydia tiba-tiba membuat sepupunya membanting pintu.

"Kau ada masalah apa rupanya dengan suamiku? Kan sedang pembatasan sialan itu, jadi gak ada kerja dia sekarang ini selama pembatasan sialan itu."

"Dari berapa bulan sebelum wabah ini pun bukannya sudah?" sahut Lydia sambil menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

"SUKA-SUKA HATI KAU AJALAH ITU. MENYESAL AKU BANTU RAWAT BAPAK KAU" balas sepupunya seraya nyelonong pergi, walau sambil tak melupakan amplop coklat berisi uang bulanan bulan ini.

Lydia menengadah, menatap kepergian sepupunya dengan tatapan statis.



=== dalam ruang peralihan antara rindu dan amarah,
dini hari tanggal 18 menuju 19, bulan Juni 2020 ===

Labels: , , ,

Thursday 18 June 2020

Suatu Ketika di Rumah Syiwa

ibadah menulis sesi ketujuhbelas bercerita sih yang keenambelas


"Mahasiswa pada di mana memangnya?" tanyanya sambil lalu.
"Biarkan saja,"balasku singkat.
"Asyik, ya. Study tour menengok candi segala. Lintas provinsi." sahutnya.
"Kalau kamu sudah menyumbang poin banyak untuk akreditasi jurusan dan kampus, usulanmu kemungkinan akan lebih mudah didengar." ucapku sambil menoleh padanya.
Yang kutatap sibuk celingukan. Kemudian berseru, "Yuk! Nengok Dewi Durga!"
Kami beranjak dari bengong-bengong di bawah pohon. Terlihat masih saja ada pengunjung-pengunjung tolol yang tak membaca pedoman 'DILARANG DUDUK'. Mereka meletakkan pantat sembarangan, selain memanjat-manjat serampangan.
"Sudah, abaikan saja. Terkadang, kita perlu menerima yang tak terbantahkan." ucapnya sambil meraih lenganku, mengajak agar lekas-lekas ke candi tertinggi di kompleks Candi Prambanan. Candi Syiwa.
"Jadi, kita ini memutar searah jarum jam, kan?" tanyanya dengan ekspresi wajah antusias.
"Iya... kan..."
Belum sempat kuselesaikan ucapanku, dia sudah menyela.
"Sebenarnya ini menarik, untuk pola-pola Virtual Reality. Sudah pernah terpikirkan itu?"
Kami dari satu instiusi yang sama tetapi beda lapak. Aku di Seni Rupa dan Desain, dia di Teknologi Informasi.
Simpang siur obrolan di antara kami berlanjut hingga sampailah kami di ruangan Sang Dewi.
Dia menaiki tangga, dan memasuki ruangan Sang Dewi. Dewi Durga.
"Fotoin, dong!" pintanya manja.
"Kamu gak takut?" ucapku mencoba menakutinya.
"Kenapa takut, kan aku gak salah?"
Saat hendak memotretnya, aku tiba-tiba tak dapat menahan diri untuk berkata, "Kita nikah aja, yuk!"
Dia terkaget dan tanpa sengaja tangannya menepis bagian dari arca Sang Dewi.
Tiba-tiba ada secercah kilat cahaya memancar selama beberapa detik hingga akhirnya redup kembali.


[ ... bersambung ... kalau ingat ]

17 menuju 18 Juni, 2020 --- teuteup

kisah ini super super super lampau, alias Very Past Tense sebab latar waktunya adalah saat sebelum wabah zombie korona menyerang.

Labels: , ,

Wednesday 17 June 2020

Biro Jodoh Digital

Ibadah Menulis di tanggal syantiek, 16 Juni 2020
Tulisan keenambelas, bercerita yang kelimabelas.


Hari ini adalah jadwal Renny ke Markas. Karena sekarang adalah tugas bagiannya untuk berbelanja kelengkapan kebutuhan sehari-hari di Markas. Selama sedang musim Wabah Zombie Korona, walau kini sudah memasuki babak selanjutnya yaitu Si Normal yang katanya Baru, Markas ditutup aksesnya bagi siapa saja kecuali bila ada keperluan darurat. Jadi, sekali di setiap minggunya, salah satu di antara kami bertugas seperti yang tadi di awal kujelaskan.
Sebenarnya yang dimaksud Markas ini hanyalah sebuah unit apartemen di Kalibata City… betuuuuuul, di Jakarta yang penuh keriuhan dengan atau tanpa Virus Zombie Korona akibat padatnya manusia menghuni jakarta.
Sebuah unit yang sebenarnya mungkin hanya sangat sedikit lebih luas dari unit apartemen ukuran studio, tetapi ajaibnya dapat terbagi menjadi 3 ruangan. Penghuninya ya hanya Sang Paman seorang. Baik aku, atau Renny, atau Katie, tidak menghuni tempat itu sebenarnya. Walau seringnya, bila kami sedang diburu waktu, berakhir dengan bermalam selama beberapa hari di sana. Tak melulu harus kami berempat, kadang hanya dua di antara kami. Tepatnya, yang kebagian jatah jadi asisten Sang Paman.
Lhoh, ngapain?
Iri bilang, bos!
Esalah…
Kerja, bos!
Jauh sebelum Wabah Zombie Korona memaksa orang-orang bekerja dari jauh, alias Remote Working, Sang Paman sudah bertahun-tahun melakukan pekerjaan semacam itu. Terkadang, dia pergi keluar Markas sesuai panggilan.
Entah sejak kapan mulanya, dan siapa pencetusnya, tetapi kami sudah terbiasa menyebut lokasi tujuan itu Markas. Kami itu isinya ya aku, Renny, dan Katie. Dan sejumlah orang-orang yang datang dan pergi, atau saling terhubung di antara kami masing-masing. Adapun kami bertiga, satu sama lain akhirnya saling terhubung, adalah karena awalnya terhubung oleh Sang Paman. Sang Paman, alias Paman, adalah nama panggilan yang biasa ditujukan padanya. Panjang dongengnya, asal usul nama ini. Asal mula dia dipanggil Paman.
Singkat cerita, kami berempat ini bagaikan Charlie dan The Three Angels di Charlie’s Angels. Sang Paman adalah Charlie, kecuali bunuh orang, yang sebenarnya tentu tak pernah ada pesanan demikian, bila Sang Paman memanggil kami bertiga senantiasa bisa menyanggupinya. Apalagi kalau ada duitnya. Alias, proyek berbayar.
Nah! Begini, ceritanya.
Beberapa jam silam Renny meneleponku dan meminta bantuanku untuk menggantikan tugasnya kali ini. Aku menyanggupi permintaannya.
Aku tak tahu apa saja yang diobrolkan antara Renny dan Paman, atau Katie dan Paman. Yang jelas, kalau aku dan Paman sih seringnya terlibat obrolan nirfaedah. Kadang membahas mengenai apakah lalat yang ada di dalam gerbong kereta tetap terbang seperti helikopter atau bisa diam saja tanpa perlu menggerakkan sayapnya. Kadang membahas prosentase kandungan keju dalam keju yang serius, atau kandungan cabe dalam saus sambal botolan.
Pun kali ini, seperti biasa.
“Pernah tahu MIRC?” tanya Paman padaku.
“A.S.L., please…” balasku sambil tertawa kecil.
“Kamu tahu, ASL itu apa?” tanyanya lagi masih dengan intonasi datarnya yang khas.
Owh, jelaaaaas…” ketauan deh umurnya, yekaaaaan.
Age, umur. Sex, jenis kelamin. Location, ya lokasi alias orang mana.” jawabku segera.
“Nah…”
Belum juga Paman memulai, aku sudah menyabot ucapannya.
“Lagi ngapain kamu, itu?”
Jadi, biro jodoh selepas era di koran-koran itu, kini banyak ragamnya.” tuturnya mulai menjelaskan.
“Dan lagi, kita ini sekarang sudah hidup di zaman teknologi. Tho…”
“Ada internet…” sahutku menyelanya.
“Betul. Internet. Yang mau aku bahas bukan hanya MIRC saja, tetapi kelanjutan dari yang pola-polanya seperti MIRC.”
“Heh?” Aku berujar dengan ekspresi bengong.
“Ada Bee Talk, ada Tinder, ada WeChat, ada Grindr. Mungkin masih ada lebih banyak lagi, yang semalam aku coba hanya BeeTalk, WeChat, dan Tinder. Karena aku ingin mencoba menjadi perempuan di layanan-layanan itu sehingga bisa mendapat respons dari cowok-cowok, jadi aku tak mencoba Grindr. Itu pun sebelumnya aku sudah browsing, tentu saja. Nah. Kesemuanya ini berupa aplikasi, dan kita bisa mengaktifkan fitur pencarian dengan menyalakan lokasi kita.”
“Oh! Teman ada yang pernah pakai Tinder. Aku pernah mencoba main BeeTalk.” sahutku menambahi.
“Sebenarnya, aku memang sedang suntuk aja. Yang dari UNICEF Indonesia belum ada kabar. Tadinya, kalau semalam sudah ada jawaban, aku ingin meminta Renny untuk tukar jadwal denganmu kali ini. Jadi, aku bisa sekalian bahas denganmu. Seperti yang waktu itu kita kerjakan untuk HIVOS. Tapi memang aku gak ajak Katie, dia masih sangat sibuk dengan pacar barunya.”
“Ini UNICEF mau ngapain lagi, sih?” tanyaku penasaran, walau selang berapa detik kemudian aku menatapnya dengan wajah haus gosip.
“BARU LAGI?”
“Mereka sekarang sedang mencari kesibukan, seperti kita ini… UNICEF… dan ya, benar. Lagi. Baru lagi. Sekarang sih berondong, tapi.” balas Paman dengan wajah datar tanpa tawa.
“Maksudmu agar hidupnya jadi sibuk, selain bernapas ya… kayak Katie. Sibuk. HAHAHAHA!”
Kami tertawa lepas bersama. Tak ada yang lucu, mungkin. Namun, rasanya saat itu sungguh melegakan. Bisa tertawa lepas tanpa beban, pada hal yang sebenarnya entah lucunya di mana bila diceritakan ulang.
Kami tak peduli dengan urusan Katie. Maka, obrolan selanjutnya ya tentang keisengan Sang Paman semalam.
Mengapa?
Sebab kami saling peduli, tetapi sekaligus juga saling tak peduli.
Selagi tak membuat miskin, atau masuk penjara, kenapa harus pusing dengan apa yang dilakukan orang lain. Bahkan atas nama sayang atau pertemanan sekali pun, anti omong kosong adalah kesepakatan tak tertulis yang berlaku di antara kami.
“Oke. Aku lanjut, ya…” ucapnya selepas kami selesai tertawa lepas bersama.
“Bukan, UNICEF kabarnya sedang mau mengurusi persoalan kekerasan pada anak selama instruksi perbanyak diam di rumah. Juga ada kaitannya dengan kecurigaan pada tren peningkatan jumlah perkawinan anak.”
Aku menggut-manggut sambil berkata, “Asyik nih. Seru. Semoga dananya seru juga.”
“Sampai di mana tadi ceritaku? Oh. Karena aku semalam suntuk berat. Nah. Di semua yang aku coba itu, aku masuk jadi cewek kan. Lalu, cowok-cowok mulai menyerbu, tentu saja. Aku pasang dong, fitur pencarian berdasarkan lokasi. Macam-macam itu, yang menyapa. Dari mulai sekadar menyapa hingga meminta foto. Tentu tak luput dari yang mengajak ngobrol mesum.”
Aku memicingkan mataku dengan ekspresi, ‘sudah kuduga’.
“Sebentar Pam,” selaku, “apakah kamu mengetahui sesuatu tentang Carl Jung? Apakah Jung memiliki pendapat menarik pada urusan purbawi persebodian?”
“Aku belum banyak membaca Jung. Tapi kita bisa selidiki itu setelah ini.”
Okesip. Lanjooooot.” sahutku antusias.
“Seperti biasa, di jam tengah malam, ucapan sapa klasiknya adalah ‘lagi ngapain’ disusul dengan ‘kok belum tidur’. Ya kujawab saja, aku sedang anu anu anu. Bekerja. Mengetik. Menerjemahkan. Menyusun laporan tetapi masih menunggu data lanjutan. Dan sebagainya. Beda-beda lah, sekenaku saja. Lalu kutanya balik dong, mereka. Kalau kamu, kok jam segini belum tidur?”
Aku menyeringai lebar dan Sang Paman masih asyik bercerita.
“Beberapa cowok menjawab hendak menunggu malam; katanya, mau ibadah dini hari.”
Seringaiku semakin lebar. “Padahal sedang wabah begini, ya. Sempat-sempatnya mereka itu.”
“Aku juga ga paham.” ucapnya merespons celetukanku.
“Kan aku sih hanya sedang suntuk. Kelanjutannya, beberapa di antara beberapa yang tadi itu, ada yang bertanya apakah aku juga sama seperti mereka yang hendak ibadah dini hari. Kujawab lugas, ‘tidak’. Masih ditanya lagi. Kenapa? Memang agamanya apa?”
Trus?” sergahku tak sabar.
“Kujawab, aku non-believer.”
Tawaku pecah.
Di sela tawaku, dia melanjutkan, “JREEEEEENG! Lalu suasana berubah…”
”HAHAHAHAHAHAA”
“Sebagian ada yang mulai mengajak untuk ikut agamanya, sebagian lagi ada yang mulai berkhotbah. Namun, ajaibnya adalah, nyaris sebagian besar dari mereka sama-sama meminta nude-picture.”
Tawaku semakin lepas. “YA LAGIAN, JAM SEGITU. KAYAKNYA SIH KAMU DIKIRA CEWEK DARI ENTAH BERANTAH YANG SEDANG NGE-LONTE.” seruku di sela-sela tawa sambil tak menyadari bahwa volume suaraku sudah meningkat.
“Iya… kasihan ya, mereka…” ujar Paman dengan suara yang sudah tak terlalu datar. Ada senyuman iseng di wajahnya.
“Kamu minta duit ga, ke mereka yang mesum-mesum itu?” tanyaku masih cengengesan.
“Wah… kok aku ga kepikiran…” jawabnya dengan ekspresi polos.
“HAHAHAHA! Yasudah, nanti malam coba lagi. Ingat! Sambil usaha minta duit, ya!” sahutku sambil beranjak ke wastafel untuk mencuci peralatan bekas makan siang kami.
“Kalau mereka ga mau, gimana…” tanyanya. Kali ini ekspresi bengong yang tampak.
“Ya coba saja. Kan usaha, namanya juga…” balasku sambil senyum-senyum ke tumpukan peralatan makan yang hendak kucuci.



[1370 kata menurut WORD COUNT, dengan segala absurditas di dalamnya]

=== Di Sudut Gelap Kepala Manusia,
Diselesaikan pada 17, bulan Juni, tahun 2020 ===

Labels: , , ,